Sebagaimana biasanya, perhelatan Ramadan selalu disambut gegap gempita. Di Jeneponto, kampung saya, kaum perempuan sibuk menyiapkan sesajian doa bersama untuk menyambut malam pertama Ramadan. Letupan meriam bambu menambah kemeriahan di malam-malam Ramadan.
Namun, Ramadan kali ini ada yang berbeda. Dulu, selagi melaksanakan ibadah puasa, saya lebih banyak memperhatikan ritual ibadah, semisal, salat, membaca Al-Qur.’an, zikir, doa, dan lain-lain. Namun, pandangan saya berubah, tatkala membaca buku karya, Jalaludin Rakhmat, Islam Alternatif.
Di dalam buku itu Kang Jalal mendedahkan perspektif tentang ibadah dan muamalah. Menurut beliau, “Syariat Islam terbagi dua cakupan, pertama, ibadah mahdhah (ritual), dan kedua, ibadah al-adah (muamalah). Kedua ibadah ini berbeda secara ushul fikih, bahwa dalam urusan ritual, semua haram, kecuali, bila secara pasti terdapat dalil yang memerintahkan. Sedangkan dalam urusan muamalah semua boleh (mubah), kecuali bisa secara pasti terdapat dalil yang melarang.”
Lebih lanjut Kang Jalal membabarkan ibadah ritual hanya terdiri dari delapan hal: tahara, salat, saum, zakat, haji, mengurus jenazah, akikah, zikir, dan doa. Delapan hal ini kita tidak boleh mengembangkan hal-hal yang baru, kecuali ada dalil yang memerintahkan. Sedangkan muamalah, menuntut kita kreatif dan inovatif, Islam hanya memberi petunjuk umum, dan pengarahan. Sebagai contoh, Nabi saw memerintahkan memerangi kaum zalim dengan senjata dan kendaraan, tentunya yang dimaksud yakni menguasai ilmu dan teknologi mutakhir.
Islam ternyata lebih menekankan aspek muamalah ketimbang ritual, sebab ruangnya lebih luas dan universal. Ibaratnya, semua tempat adalah masjid, sebagai ruang pengabdian kepada Allah. Untuk membuktikan lebih pentingnya aspek muamalah, Kang Jalal beralasan pertama, di dalam Al-Qur.’an dan hadis, perbandingan ayat tentang muamalah sekaitannya dengan kehidupan sosial, lebih banyak satu banding seratus. Kedua, bila urusan ritual bersamaan dengan muamalah, maka muamalah lebih didahulukan. Sebagaimana diriwatkan Bukhari dan Muslim, dari Anas bin Malik, Rasulullah saw. berkata, “Aku sedang salat dan aku ingin memanjangkan, tetapi aku dengar tangisan bayi, aku pendekkan salatku, karena aku maklum akan kecemasan ibunya, karena tangisan itu.“
Ketiga, ibadah yang mengandung nilai kemasyarakatan lebih tinggi derajatnya. Karena itu, salat berjamaah lebih banyak pahalanya ketimbang salat sendirian. Keempat, bila ibadah ritual batal atau tidak sempurna, maka penggantinya ibadah muamalah. Misalnya bila tidak mampu bersaum Ramadan maka sebagai gantinya ialah fidyah. Atau bercampurnya suami istri di siang hari Ramadan, maka ganjaranya memberi makan orang miskin. Sebaliknya, bila seseorang buruk dalam urusan muamalah, maka urusan ibadah ritual tidak dapat dijadikan sebagai pengganti.
Kelima, melakukan muamalah pahalanya lebih besar. Sebagaimana disebutkan dari banyak hadis, “Barang siapa bangun di waktu pagi dan berniat menolong orang yang teraniaya, dan memenuhi keperluan orang Islam, baginya ganjaran seperti haji mabrur. Hamba yang paling dicintai Allah ialah yang paling bermanfaat bagi manusia, dan amal yang paling utama ialah mamasukkan rasa bahagia pada hati yang beriman, menutup rasa lapar, membebaskan dari kesulitan, atau membayarkan hutang.“
Namun, ada hal menarik dari goresan kata pengantar buku Islam Alternatif , oleh Muhammad Imaduddin Abdulrahim, lebih akrab disapa Bang Imad. Beliau membeberkan tentang sejarah sistem pendidikan Islam Indonesia. “Boleh jadi, sebelum Belanda datang, orang Islam Indonesia telah memahami Islam secara komprehensif, namun para scholar penjajah seperti Snouc Hurgronje dan Van der Plas, dengan kemampuan mereka yang mendalam terhadap bahasa Arab , bukan tidak mungkin menggendalikan kitab-kitab yang dibaca para kiyai di pesantren, sehingga yang diajarkan lebih banyak menekankan ikhwal ubudiah, ketimbang kehidupan sosial politik. Bila sekali waktu, ada kiyai yang mulai menyentuh masalah sosial politik, tangan-tangan penjajah mulai bertindak.”
Hingga kiwari dampak tersebut masih nyata dalam tradisi beragama kita. Lihat saja kita masih sering mengbidah-bidahkan sesama muslim karena perbedaan remeh-temeh. Sedangkan di luar sana, kaum Barat telah merebut pangsa-pangsa kehidupan manusia. Ibadah dan muamalah tidaklah mesti dinyatakan sebagai oposisi biner. Keduanya mempunyai proporsi masing-masing. Kecenderungan ini membuat sebagian umat Islam, lebih menekankan ibadah ritual ketimbang muamalah. Sering kali kita ribut hanya perbedaan salat sehingga mempertajam perpecahan di tengah umat. Dahulu di zaman Nabi, ketika sahabat Nabi menceritakan seorang perempuan yang kerjanya salat di malam hari, dan puasa di siang hari, namun lidahnya sering menyakiti tetangganya, Nabi Muhammad saw menjawab singkat, “Ia di neraka.”
Ada pula beredar kisah sufi ketika musim haji tiba, tentang seorang tukang sepatu diterima hajinya walaupun tidak berangkat ke Makkah. Sebabnya si tukang itu menyerahkan seluruh ongkos hajinya membantu keluarga miskin. Ada pula kisah seorang guru menolak muridnya, lantaran si murid tidak menggunakan ongkos keberangkatannya demi membela orang lemah di negerinya.
Ibadah dan muamalah seyogianya menjadi laku integral. Bukankah perintah salat untuk mencegah perbuatan keji dan mungkar? Bukankah puasa agar kita menjadi makhluk yang berempati? Bila demikian, ibadah dan muamalah ibarat kesatuan helaian napas.
Sumber gambar: www.republika.co.id/berita/okbuu7313/seni-lukis-di-dunia-islam