Pancasilaku Sayang, Pancasilaku Malang

Setiap tahun sekotah rakyat Indonesia memperingati lahirnya Pancasila. Setiap tahunnya pula, Pancasila menghadapi perkembangan dan persaingan zaman. Kiwari ini, Pancasila menghadapi infiltrasi nilai dan ideologi transnasional, hal tersebut disampaikan Joko Widodo dalam pidatonya di hari peringatan lahirnya Pancasila, selasa, 1 Juni 2021 di Istana Negara. “Pengaruh ideologi transnasional sangat cepat penyebarannya, sebab disokong oleh teknologi informasi yang makin pesat dan modern.” Terang Jokowi

Hemat saya, eksistensi Pancasila dipengaruhi oleh dua faktor. Pertama, faktor internal, yaitu pengayaan nilai-nilai Pancasila dan penerapannya ke ruang-ruang publik. Pancasila tidak lebih dari kodrat manusia, yang tersusun dari tiga unsur, rohani, sosial dan jasmani. Unsur rohani berpadu dengan watak ketuhanan.  Tuhan menciptakan manusia untuk  saling mengasihi dan menyayangi, bukankah ucapan basmalah agar setiap manusia memiliki watak ketuhanan, yakni Rahman dan Rahim.

Sedangkan unsur sosial, setiap invidu mutlak hidup bersama yang lain. Syaratnya, hidup bersama mesti dilandasi dengan cinta, kemudian, cinta itu termanifestasi di ruang pergaulan yang multi kultural, etnik  rasial dan agama. Sedangkan untuk menemukan cinta kebijaksanaan di tengah-tengah pergaulan sosial, maka, dibutuhkan musyawarah, dalam artian, kemampuan individu mengambil sari pati kebaikan dalam setiap entitas kehidupan sosial. Unsur jasmani dalam perpektif Pancasila, manusia tidak terlepas dari kehidupan materi, sehingga di kehidupan duniawi, mestilah dilapikkan keadilan sosial yang melingkupi seluruh kehidupan masyarakat.

Kedua, faktor eksternal, disebabkan adanya persaingan ideologi-ideologi multi transnasional. Pancasila sebagai ideologi terbuka, tentu tidak terlepas dari tantangan zaman, sebut saja ideologi liberalisme yang dibawa para agresor penjajah, kemudian komunisme yang mencoba menghilangka nilai-nilai eskatologi di kehidupan bermasyarakat. Selanjutnya, radikalisme agama yang menentang nilai-nilai toleransi dan menghalalkan kekerasan atas dasar agama. Kesemuanya itu menyata dalam kehidupan bermasyarakat. Penyebaran ideologi-ideologi tersebut dilakukan dengan masif melalui teknologi informasi dan edukasi formal maupun non formal

***

Di era ini, penyebarluasan nilai-nilai Pancasila belumlah maksimal dilakukan oleh pemangku kepentingan. Bila kita menelusuri Pancasila dari masa ke masa, tentunya Pancasila mengalami penyesuaian. Di era orde lama, adalah cikal bakal lahirnya dasar negara, tepatnya, 1 Juni 1945, dalam sidang BPUPKI, dicetuskan landasan berbangsa dan bernegara yang disebut Pancasila.

Di sidang BPUPKI tersebut, sejumput tokoh masyarakat mewakili setiap kalangan, sekotahnya menyepakati Pancasila menjadi dasar rancangan Undang Undang Dasar 1945. Menurut Seokarno, sari Pancasila dapat dipahami melalui dua variabel, trisila dan ekasila. Trisila terbagi atas, sosio-nasionalisme, sosio- demokrasi dan ketuhanan yang berkebudayaan. Sedangkan ekasila ialah gotong royong.

Penerapan Pancasila dalam kehidupan politik di era orde Lama, diejawantahkan ke dalam demokrasi terpimpin. Menurut Soekarno demokrasi terpimpin adalah demokrasi kekeluargaan, tanpa anarkinya leberalisme, tanpa otokrasinya diktator.

Ciri khas demokrasi terpimpin ialah, presiden selaku penguasa tunggal yang mengendalikan pranata sosial dan politik, demi menyatukan warga negara yang berbeda-beda. Demokrasi tersebut diakui oleh Soekarno sebagai jalan tengah untuk menyatuhkan wilayah nusantara yang masih terpecah-pecah, juga sebagai arus perlawanan ideologi liberalisme barat yang menurungku Indonesia berabad-abad lamanya

***

Di era orde Baru kepemimpinan berganti, kekuasaan Soekarno tumbang oleh kekuatan militer, hingga akhirnya Soeharto selaku pemimpin Pangkostrad saat itu  mengambil alih kekuasaan. Alih-alih menghidupkan nilai Pancasila, namun kenyataannya justru menerungku Pancasila. Di zaman orde Baru, nilai Pancasila direduksi menjadi otoritarianisme. Faktanya, seluruh pranata sosial, ekonomi, politik dan lainnya, notabenenya dikuasai oleh kroni-kroni Soeharto, untuk kepentingan kelompok dan golongannya, ditambah lagi, kebebasan hak dasar individu dan masyarakat dikerangkeng dengan cara subversif.

Dalam konteks politik, Pancasila dijadikan sebagai alat kelanggengan kekuasaan, bila tidak tunduk dan patuh kepada pemerintah, maka, dinggap tidak Pancasilais, hingga dalam kontestasi politik, hanya dibatasi tiga kekuatan politik, satu golongan, dan dua partai, yaitu PDI dan PPP . Alih-alih menjalani kontestasi politik secara demokrasi, (umum, bebas, rahasia) senyatanya hanya satu faksi yang berkuasa .

Hegemoni Soeharto selama 32 tahun berkuasa, tidak terlepas lakon kaum militer. Kaum militerlah sebagai tiang penopang kekuasaan Soeharto, hingga jabatan-jabatan strategis didudukinya. Kaum militer pula yang membungkam golongan oposisi dengan segala cara.

***

Di pertengahan bulan Mei 1998 akhirnya Soeharto dipaksa turun dari takhta kekuasaan. Setelah peristiwa panjang, baik itu aksi demontrasi mahasiswa di seluruh penjuru nusantara, hingga terjadinya kerusuhan massal di kota-kota besar.

Klimaks runtuhnya kekuasaan Soeharto saat kondisi ekonomi dalam negeri mengalami krisis moneter, kemudian berkembang menjadi krisis multidimensional. Dengan krisis tersebut menyebabkan rakyat menuntut perubahan kepemimpinan, gayung pun bersambut, wacana reformasi mulai di dimotori oleh kalangan mahasiswa dari berbagai kampus, hingga melakukan aksi terbuka di jalanan.

Tokoh-tokoh reformasi pun bermuculan, sebut saja, Megawati Soekarno Putri, Abdurrahman Wahid, Amien Rais, Nurcholish Madjid, Sri Bintang Pamungkas dan sederet nama-nama besar lainya. Sedangkan di kalangan mahasiswa korban pun berguguran. Disematkanlah para korban sebagai pahlawan reformasi.

Pasca gawean reformasi, seluruh pranata berubah, misalnya saja, dominasi militer dihapus, kebebasan berpendapat dan berorganisasi di buka seluas-luasnya, dikotomi mayoritas minoritas diretas dan seluruh pranata-pranata lainnya yang dipasung di era orde Baru.

Di dalam bidang politik, estafet kepemimpinan pasca reformasi dibatasi menjadi dua periode saja, hal tersebut untuk memastikan distribusi kekuasaan jauh dari otoritarianisme. Di era reformasi ini, sudah lima kali berganti kepemimpinan, yakni, B. J. Habibi, Abdurahman Wahid, Megawati Soekarno Putri, Susilo Bambang Yudhoyono dan Joko Widodo.

Saat ini, di era presiden Jokowi , demokrasi makin berkembang, namun di lain sisi, nilai-nilai Pancasila sebagai falsafah kebahagian berbangsa dan bernegara, belumlah menjadi laku individu di ruang-ruang publik, ditambah lagi sejumput Kalangan elit mempertentangkan Pancasila dan agama.

Menurut seorang pakar fikih, KH. Afifuddin Muhajir, (tokoh NU) “Pancasila itu bukan agama. Agama sumbernya wahyu, Pancasila sumbernya akal sehat. Tidak ada pertentangan antara wahyu dan akal sehat”. Lain pula yang dibeberkan oleh Sujiwo Tejo, menurutnya, musuh terbesar Pancasila adalah agama sebabnya esensi agama melekat pula pada Pancasila, ibaratnya musuh terbesar manusia ialah dirinya sendiri.

Selain pengayaan dan laku Pancasila belum tercerminkan di kehidupan kita, ironisnya di kalangan elite, justru makin vulgar mempertontonkan laku tidak pancasilais, caci maki, hoaks , korupsi, sering kita temukan di kekinian  

Seyogianya Pancasila, tidak  menjadi kotak pandora, direduksi menjadi alat kepentingan, namun, menjadi falsafah kebahagian, selaku individu, masyarakat dan tujuan pembangunan bangsa. Menurut Henny Supolo Siteru. (Ketua Yayasan Cahaya Guru) berujar, ”pengetahuan Pancasila mesti dibarengi  dengan pelibatan kepada nilai-nilai Pancasila, sehingga kesadaran Pancasila  mengalir dalam setiap tubuh kita, karena kalau tidak, Pancasila hanya sebatas pengetahuan saja.”

  • Dalam satu dasawarsa terakhir, Kabupaten Bantaeng telah tampil sebagai barometer gerakan literasi, khususnya di Provinsi Sulawesi Selatan. Ketika kata “literasi” belum sepopuler hari-hari ini, pegiat literasi di Bantaeng sudah bergerilya menyebar benih gerakan literasi yang kini sudah tumbuh subur. Langkah-langkah gerilyanya ketika itu berupa pelatihan kepenulisan, diskusi buku, dan lapak-lapak baca. Di kemudian hari, langkah…

  • Adelio membuka mata ketika menyadari ombak Perairan Cempedak mengombang-ambing tubuhnya. Ia melihat ke bawah dan mendapati kedalaman laut yang tak terhingga. Ia mendongak ke langit, semburat cahaya matahari baru saja hendak menyapanya dari ufuk timur. Ia baru saja menyadari bahwa dirinya telah mengapung semalaman di tengah laut setelah mendapati sebagian kulitnya yang mulai mengeriput. Ia…

  • Buku terbaru Sulhan Yusuf, Gemuruh Literasi: Sederet Narasi dari Butta Toa boleh dibilang sebagai pembuktian, jika usia bukanlah aral melintang bagi seseorang untuk produktif dalam berkarya. Tapi, insight yang diwedarkan Gemuruh Literasi sebenarnya lebih dari itu. Buku ini adalah jawaban bagi rasa penasaran sebagian orang yang hendak mengetahui gerakan literasi Sulhan di Bantaeng. Kerja-kerja kultural yang…

  • Judul tulisan ini saya pinjam dari ungkapan Profesor Cecep Darmawan—dosen saya ketika studi magister beberapa waktu lalu. Beliau guru besar yang egaliter dan seringkali tampil di publik (media dan forum) untuk berbagi gagasan dan pencerahan. Seingat saya ungkapan itu beliau sampaikan saat kami kuliah “Pendidikan Politik Generasi Muda”. Saya terkesan dengan ungkapan itu, selain indah…

  • Membicarakan suatu topik, dalam hal ini filsafat Islam, maka rasa-rasanya kurang afdal apabila tidak memasukkan nama al-Ghazali di dalamnya. Akan tetapi bila seseorang mau menempatkan al-Ghazali dalam sejarah filsafat Islam, tentu ia harus membuat beberapa catatan. Poin utamanya bahwa al-Ghazali tidak menganggap dirinya filosof dan tidak suka dianggap sebagai seorang filosof. Ini tak hanya menjelaskan…


Kala Literasi

Jl. Pa’ Bentengang No.6, RT.01/RW.08, Mangasa Kec. Tamalate, Kota Makassar, Sulawesi Selatan 90221