Apa makna keluarga bagi seorang anak? Mungkin baginya, keluarga adalah tempat menemukan dan berkumpulnya ayah, ibu, dan saudara-saudaranya. Boleh jadi juga keluarga adalah semua orang yang tinggal satu atap dengannya, ditambah sepupu-sepupu, tante, om, kakek, nenek, dan seterusnya. Keluarga bisa mencakup mereka yang tinggal jauh dari tempat ia berada. Yang jelas, anak-anak umumnya mengidentikkan keluarga sebagai rumah tempat bermukimnya orang-orang yang ia kasihi dan mengasihinya. Di dalamnya ada ayah, ibu, juga saudara-saudara yang bisa ia andalkan dalam menghadapi berbagai situasi.
Dalam bentala pikirannya, hidup adalah tempat bermain-main, bersenang-senang, dan bersenda gurau. Susah dan senang hanya penamaan, bukan kondisi permanen yang bisa mencampakkan ataupun melambungkan perasaan. Bahagia dan derita belum ada dalam kancah kehidupannya. Itulah mengapa anak-anak yang baru saja bertengkar atau berselisih, tak lama kemudian akan saling berangkulan dan bergandengan tangan.
Lalu dari manakah mereka belajar tentang beragam rasa dan peran yang mesti mereka lakoni? Tentulah dari lingkungan terdekatnya. Rumah dan semua orang yang berada di dalamnya. Produksi kata-kata dan perilaku dari orang dewasa yang terus-menerus pada akhirnya akan mencetak watak anak. Bukan hanya ibu atau ayah, namun kakek, nenek, kakak, adik, om, dan tante, bahkan asisten rumah tangga pun sangat kuat memengaruhi takdir dan nasib sang anak. Maka cara terbaik adalah orang dewasa sesekali duduk bersama, berbincang dengan tujuan menyatukan visi dan misi keluarga.
Memiliki sebuah keluarga biologis adalah anugerah terindah bagi seorang anak. Namun tidak semua anak beruntung memilikinya. Bahkan ada yang akhirnya tidak punya pilihan, hidup serumah dengan mereka yang bukan keluarga sedarah. Dikarenakan keterpisahan fisik yang sementara ataupun yang abadi. Lalu apa sesungguhnya fungsi keluarga? Jika merujuk dari laman resmi Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKN), terdapat delapan fungsi keluarga yang menjadi acuan bersama, di antaranya: fungsi agama, fungsi sosial budaya, fungsi cinta kasih, fungsi perlindungan, fungsi reproduksi, fungsi sosialisasi pendidikan, fungsi ekonomi, serta fungsi lingkungan. Kedelapan fungsi tersebut suatu saat akan kita bahas di lain kesempatan.
Pada kenyataannya, ikatan dan persaudaraan sedarah tidak menjamin ketersambungan hati dan perasaan. Justru kerap didapati ada segelintir orang yang begitu kuat pertaliannya dengan teman-temannya yang apabila ditelusuri tidak punya ikatan kekeluargaan, dibandingkan dengan mereka yang memiliki hubungan secara internal satu sama lain. Sehingga wajarlah jika masih banyak ditemukan institusi keluarga yang belum sepenuhnya menjalankan perannya sebagaimana mestinya. Masing-masing orang yang bernaung satu atap tidak memliki kepedulian satu dengan lainnya. Yang akhirnya merembet pada kerusakan hubungan antaranggota keluarga di dalamnya.
Dalam kebingungannya menghadapi masalah, anak-anak pun lari meninggalkan keluarga. Ada yang lari secara fisik, ada yang lari secara mental, atau ada bahkan yang lari secara keduanya. Antara dunia anak dan dewasa terbentang jurang yang teramat lebar untuk disatukan. Paradigma-paradigma lama bagaimana memandang hubungan keduanya perlu ditinjau kembali baik dalam konsep maupun dalam praktik sehari-hari. Tolok ukurnya adalah kebahagiaan, kemudahan, serta manfaat yang bisa dirasakan oleh masing-masing pihak.
Di tengah hiruk-pikuk dan kebisingan manusia dan segenap aktivitasnya, setiap kita memerlukan tempat untuk kembali. Pulang ke rumah untuk mengaso secara fisik dan mental. Saling bercerita mengadukan berbagai kisah kehidupan yang terjadi di luar sana. Merelakan telinga untuk mendengarkan serta menyodorkan hati sebagai tempat bersandar segala resah ataupun kesah.
Ingin mendapatkan dukungan? Berikanlah dukungan terlebih dahulu. Rambu yang berlaku dalam setiap lini kehidupan. Begitupun jika ingin didengarkan, diperhatikan, dihargai, dan seterusnya. Manusia memanglah makhluk egoistis. Segala-galanya ingin dipusatkan pada dirinya, pada kepentingan, dan kebutuhannya. Akan tetapi manakala setiap orang melakukan hal yang sama, lalu siapa yang akan memulai untuk merendahkan hati, menepikan ego, untuk mendahulukan orang lain daripada dirinya sendiri?
Harapan kita semua, tentunya pada diri orang dewasalah puncak seluruh kebaikan dan hulu segenap kebajikan. Merekalah yang semestinya memulai semua hal-hal baik di atas. Karena tingkat kematangan berpikir serta usia yang jauh melampaui kanak-kanak yang berada di bawahnya. Namun yang terjadi kadang berkebalikan, tidak sebagaimana yang diharapkan. Bahkan banyak kasus yang justru terjadi sebaliknya. Orang tua bersikap kekanak-kanakan, sementara pada sisi yang lain anak-anak malah menunjukkan polah dewasa.
Semua kesadaran akan perilaku baik di atas tidak hadir semudah membalikkan telapak tangan. Ia memerlukan waktu yang cukup untuk dipelajari, didalami, kemudian dipraktikkan. Dalam rangkaian proses tersebut akan dijumpai banyak kekeliruan, yang disebabkan oleh salah memahami atau berasal dari sifat dasar manusia yang memiliki kecondongan untuk tergesa-gesa dan tidak sabar dalam menjalani sebuah proses. Olehnya itu kekuatan niat dan kebulatan tekad untuk mau menempuh perjalanan ini sungguh sangat dibutuhkan. Dan Tuhan adalah satu-satunya kekuatan terbesar tempat kita bersandar dan memohon kekuatan.
Andai setiap keluarga di Indonesia mampu berkomitmen mendidik diri serta seisi rumahnya masing-masing, tentu akan berpengaruh positif pada wajah dan karakter masyarakat kita. Di samping itu, perlu ditanamkan pula perilaku altruisme timbal-balik, yang berarti kesediaan memberikan kebaikan kepada seseorang yang tampaknya siap memberikan kebaikan sebagai balasan (Barabara K. Given, Brain-Based Teaching). Karena efek resiprokal akan timbul dari perilaku mereka yang tekun dan gigih mengasah diri menjadi pribadi yang lebih baik dari waktu ke waktu.
Siapakah mereka? Mereka adalah saya dan Anda yang bersedia membaca tulisan singkat ini. Yang mau dan tergugah melakukan perubahan dari lingkungan terkecil masing-masing.