Penulis dan Popularitas

Penulis dan popularitas adalah satu tema yang selama ini menjadi unek-unek diri sendiri dan you know what lah, mengapa sekarang banyak orang yang menambah embel macam-macam di belakang atau di bawah namanya saat mempublis sesuatu.

Direktur lah, aktivis literasi lah, pegiat filsafat lah, aktivis gender lah, ini lah, itu lah, yang bisa jadi hanya ikut-ikutan trend. Belum tentu juga embel-embel itu dapat dipertanggungjawabkan. Apalagi jika embel macam-macam itu tidak signifikan mengubah keadaan dirinya, atau syukur-syukur bisa memberi sumbangsih bagi komunitas dan kehidupan sekitarnya.

Di suatu grup Wa, kadang saya jengkel sendiri menemukan seseorang memosting link tulisan entah apa, yang kemudian memajang status sebagai direktur, lembaga apa gitu, yang tidak pernah saya tahu kiprahnya dan tidak pernah saya dengarkan (atau mungkin saya yang kuper, ya?). Seolah-olah penyematan itu adalah haknya dan dengan enteng saja melakukannya tanpa ada prosedur panjang dalam sejarah pengalaman keilmuannya. 

Itu satu soal, yang berkaitan pula dengan kualitas tulisannya. Anda akan beruntung jika membaca suatu tulisan—meski si penulisnya sudah membubuhi berbagai macam status—tapi membuat Anda menemukan kebaruan dalam ulasannya. Di kasus ini tidak jadi soal panjang jika si penulis dengan gagah menempel gelar selaku pimpinan, atau aktivis suatu organisasi dan tulisannya ternyata oke punya.

Tapi, bagaimana jika yang terjadi sebaliknya? Menemukan tulisan yang masih susah membedakan kapan ”di” dipisah atau tidak pada kata sifat atau kata tempat. Berabe, kan!

Oke, itu dapat Anda katakan hanya masalah teknis, dan kedudukan komunikasi intinya adalah bagaimana seseorang dapat menangkap makna, bukan ingin melihat seperti apa teknisnya. Anda di satu sisi benar, tapi ini bukan komunikasi lisan yang lebih cair dan fleksibel saat digunakan. Saya kira keinginan Anda tidak berlaku di dalam dunia tulisan yang bukan mengandalkan bunyi tapi teks, yang memiliki aturan berbeda.

Sering kali saya menemukan kasus lebih parah dari hanya masalah teknis seperti di atas. Yaitu, tulisan yang tidak nendang dari segi tema, tidak koheren, tidak sistematis, dan asal nulis. Kalau soal tema bisa dimaklumi ya, karena sekarang banyak orang ingin menulis tapi kemampuan membacanya masih minim. Referensi bacaannya itu-itu saja karena hidupnya bagai katak dalam tempurung.

Baiklah, pengalaman bisa digali dan dicari, tentu Anda mesti mencari dan menemukan lingkungan yang cocok untuk ini, tapi bagaimana dengan struktur pikiran, kemampuan berargumentasi? Daya analitis, dan logis? Ini nih, masalahnya mengapa membaca seperti tulisan di atas seperti masuk dalam gang-gang perkotaan yang bercabang-cabang, tapi di ujungnya menemukan lorong buntu.

Membaca tulisan yang mirip lintasan gang-gang yang semrawut dan berkelok-kelok akan membuat kemampuan berpikir Anda seperti jalan di tempat. Menulis itu satu cara bagi penulis menurunkan kemampuan logikanya ke dalam teks, yang berbeda dengan kemampuan intuitifnya, yang lebih langsung dan sekejab. Menulis jika tidak sistematis, teratur, dan logis, hanya akan menunjukkan kebodohan si penulisnya.

Suatu waktu yang lain, di WAG yang lain lagi, seseorang kelewat percaya diri dengan tulisannya yang penuh dengan bahasa ”tingkat tinggi”, saking ketinggiannya saya menduga hampir sebagian besar penghuni grup itu tidak berhasil memahami apa yang sudah ditulis oleh si penulis. Seandainya saja saya mengenalnya, saya akan bercanda untuk mengatakan sebenarnya tulisan Anda itu kasusnya sama seperti sebuah buku yang entah begitu saja tergeletak di dalam belantara hutan rimba. Tidak ada yang mengetahuinya apa sesungguhnya yang tertulis di dalamnya. Toh jika ia ditemukan, isinya hanya dipahami oleh si penemu yang saat itu juga sedang sendirian di dalam hutan. Tidak berguna sama sekali.

Lalu, apa yang saya maksudkan bahasa tingkat tinggi itu tiada lain adalah penggunaan gaya bahasa filsafat bercampur kata-kata yang tidak tepat guna. Alih-alih menghasilkan gaya kalimat yang kuat, gaya sok-sok ngilmiah itu membuat saya pribadi seperti sedang berhadapan dengan kode sandi morse.

Saya mencurigai semua orang dalam grup bersangkutan rada enggan menyampaikan bahwa tulisannya aneh, dan seperti sedang mengoceh sesuatu yang hanya ia sendiri yang paham apa maknanya.

Baiklah, saya tidak anti popularitas, tapi ya berisi sedikit lah. Berdaging matang lah daripada tidak sama sekali.

Bagi saya kualitas itu berbicara banyak hal. Dia berbicara pengalaman, jam terbang, tempaan keadaan, perjuangan, dan tentu di situ ada kerja keras. 

Artinya, jika Anda ingin jadi penulis maka gunakanlah waktu Anda untuk latihan sebanyak-banyaknya, membaca selama-lamanya. Punggung Anda harus tahan lengkung seperti pantat Anda yang sudah mulai kebas-kebas. Begitu pula mata dan sudah pasti otak Anda, manfaatkan itu untuk melihat dan berpikir tentang: huruf-huruf, kata, konsep, argumen, asumsi, dan kenyataan yang lebih luas… 

Sekarang publisitas jadi trend, dan saking inginnya bisa mendorong seorang doktor di Universitas Paramadina main asal comot tulisan para ahli agar ia bisa go publik dengan gelar mentereng: editor. Padahal yang ia lakukan sangat tidak prosedural dan tidak etis. Tidak meminta izin kepada penulis awalnya dan main asal menerbitkan saja menggunakan dalil-dalil upaya untuk menyemai ilmu seluas-luasnya.

Publisitas juga sekarang menjadi agama sehingga tidak sedikit orang melakukan apa saja agar menjadi populer. Kemarin-kemarin demi popularitas muncul kasus-kasus plagiarisme, semisal seorang penulis muda yang mencomot cerpen-cerpen beberapa cerpenis dan menerbitkannya ke suatu penerbit atas namanya, seorang anak yang mengaku-ngaku bagian dari anggota redaksi portal tulisan kreatif asal Yogyakarta, dan yang terakhir, ya kasus doktor di Paramadina itu, yang menerbitkan ulang tulisan-tulisan dari orang-orang terdekat Benedict Anderson tanpa izin dan cacat prosedural.

Teman Anda seorang penulis? Sudahkah meneliti tulisannya secara seksama? Jangan sampai teman Anda itu sebenarnya baru belajar menulis dan menggebu-gebu agar tulisannya dapat segera dipublish, yang tulisannya itu tidak ada apa-apanya? Tidak menarik sama sekali.

Itu sebab, setiap menemukan tulisan teman Anda, yang dipublish melalui status atau blog, respon Anda biasa-biasa saja. Bahkan mengabaikannya begitu saja tidak seperti saat Anda membaca tulisan sekaliber Eka Kurniawan atau Ernest Hemingway.  

Sudahlah, apa yang sebenarnya Anda inginkan dari popularitas? Apakah dengan menjadi populer akan membuat Anda seketika kaya raya, banyak pengikut yang selalu memanggil-manggil nama Anda sesuka hati mereka?

Popularitas itu tai kucing! Berkaryalah, itu yang penting, tentu karya yang berkualitas. Dan itu panjang, bung. Panjang.


Sumber gambar: www.fenesia.com/5-platform-menulis-yang-membayar-kamu/ilis/

  • Dalam satu dasawarsa terakhir, Kabupaten Bantaeng telah tampil sebagai barometer gerakan literasi, khususnya di Provinsi Sulawesi Selatan. Ketika kata “literasi” belum sepopuler hari-hari ini, pegiat literasi di Bantaeng sudah bergerilya menyebar benih gerakan literasi yang kini sudah tumbuh subur. Langkah-langkah gerilyanya ketika itu berupa pelatihan kepenulisan, diskusi buku, dan lapak-lapak baca. Di kemudian hari, langkah…

  • Adelio membuka mata ketika menyadari ombak Perairan Cempedak mengombang-ambing tubuhnya. Ia melihat ke bawah dan mendapati kedalaman laut yang tak terhingga. Ia mendongak ke langit, semburat cahaya matahari baru saja hendak menyapanya dari ufuk timur. Ia baru saja menyadari bahwa dirinya telah mengapung semalaman di tengah laut setelah mendapati sebagian kulitnya yang mulai mengeriput. Ia…

  • Buku terbaru Sulhan Yusuf, Gemuruh Literasi: Sederet Narasi dari Butta Toa boleh dibilang sebagai pembuktian, jika usia bukanlah aral melintang bagi seseorang untuk produktif dalam berkarya. Tapi, insight yang diwedarkan Gemuruh Literasi sebenarnya lebih dari itu. Buku ini adalah jawaban bagi rasa penasaran sebagian orang yang hendak mengetahui gerakan literasi Sulhan di Bantaeng. Kerja-kerja kultural yang…

  • Judul tulisan ini saya pinjam dari ungkapan Profesor Cecep Darmawan—dosen saya ketika studi magister beberapa waktu lalu. Beliau guru besar yang egaliter dan seringkali tampil di publik (media dan forum) untuk berbagi gagasan dan pencerahan. Seingat saya ungkapan itu beliau sampaikan saat kami kuliah “Pendidikan Politik Generasi Muda”. Saya terkesan dengan ungkapan itu, selain indah…

  • Membicarakan suatu topik, dalam hal ini filsafat Islam, maka rasa-rasanya kurang afdal apabila tidak memasukkan nama al-Ghazali di dalamnya. Akan tetapi bila seseorang mau menempatkan al-Ghazali dalam sejarah filsafat Islam, tentu ia harus membuat beberapa catatan. Poin utamanya bahwa al-Ghazali tidak menganggap dirinya filosof dan tidak suka dianggap sebagai seorang filosof. Ini tak hanya menjelaskan…


Kala Literasi

Jl. Pa’ Bentengang No.6, RT.01/RW.08, Mangasa Kec. Tamalate, Kota Makassar, Sulawesi Selatan 90221