Hidup memang berkalang ilalang, dari setiap persoalan anak manusia. Penghinaan dan hujatan itu begitu mudah terlontar, bagi manusia yang juga terlahir dari setetes air hina.
Kisah manusia yang umum terjadi. Syahwat dan martabat tak serakaat dengan tabiat. Cara berpikir yang amat pekat. Bertindak Tuhan saling melaknat.
Sepertinya tak tabu lagi, kisah anak lahir di luar nikah. Budaya tak bisa melerai, dia seperti mati suri dalam aturannya sendiri, manusia makin terbang dalam sensasi dan fantasinya. Agama hanya menakuti sesaat. Manusia hanya melihat satu titik saat itu saja. Tak menjadi perujuk serta perajut dalam satu tajuk, dengan petunjuk lainnya yang bisa lebih sejuk.
Dr. P. A. Van der Wij dalam buku berjudul Filsuf-filsuf besar tentang manusia. Pertama apakah hidup kita saat ini masih bermakna? Dan, kedua, jika masih bermakna yang bagaimana? Dua pertanyaan itu timbul dari kegelisahan eksistensial. Ketika manusia diperhadapkan bayang-bayang hari esok.
Pertanyaan itulah kemudian menjadi refleksi intensif. Sementara kita masih merasakan keresahan, kegelisahan dari setiap sudut pandang kita hadapi. Menjadi cermin bagi kita untuk memahami persoalan-persoalan yang pelik bahkan remeh-temeh. Tentunya secara manusia dimensi etis itu memberi pengaruh bagi setiap insan, untuk tidak saling mencacah, apatahlagi merampas hak-hak sosial.
Betapa renyah, dan jemawanya kita, melupakan ari-ari kita sendiri, saat pecahnya ketuban seorang perempuan, lalu dihinakan. Menyeretnya ke kubangan yang terasing. DR samuel Jhonson dalam buku La Tahzan pada tema Karunia dan Ganjaran mengatakan: “Bukankah kebiasaan melihat sisi baik dari semua peristiwa jauh lebih berharga daripada mendapatkan penghasilan seribu poundsterling dalam setahun”.
Terlahir Sulung dari keluarga sederhana, Anaknya baik, santun, pernah tadarusan dan belajar iqra dekat rumahnya. Di kelas dia tergolong anak pintar. Hanya saja kurikulum dan kompetensi guru yang gengsi megapresiasi. Jadah suka berkhayal, bermimpi ini dan itu. Hingga saat beranjak tumbuh menjalani hidup penuh kesepian. hidupnya terasing, dipandang sinis, oleh manusia sekitarnya, lingkungan, bahkan keluarganya sendiri.
Jadah, mendapatkan perlakuan setiap hari dengan perundungan. Kemudian mengajak Tuhan berdialog, atas kemalangan yang menimpa dan menanggungnya sendiri. Ia terlahir sebagai anak di luar nikah. Secara hukum sosial pasti berlaku secara kultur. Tetiba dia reinkarnasi, terbang menuju nirwana dengan suka cita. Akan tetapi apa daya, sayapnya ditembaki peluru makian hingga ke rongga dadanya. Bagai seribu anak panah menancap tak punya ampun.
Dia mengadu entah ke mana. Ibuku dipaksa, dibujuk serta dirayu untuk meladeni ayahku kala itu. Ia pasrah, oleh kecamuk ayahku yang mendidih. Pada akhirnya menemukan diriku dalam rahimnya.
Suara sesak Jadah menganulir perasaannya sendiri. Malang nasibnya, hajat kedua orang tuanya berakhir berubah menjadi hujat.
Lalu bagaimana nasab seorang Jadah? QS al- Ahzab:4-5. Dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu (sendiri). Yang demikian itu hanyalah perkataanmu di mulutmu saja. Dan Allah mengatakan yang sebenarnya, dan Dia menunjukkan jalan (yang benar). Panggillah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka; itulah yang lebih adil pada sisi Allah dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, maka (panggilah mereka sebagai) saudara-saudaramu seagama dan mawla-mawlamu.
Mengutip di halaman Republika.co.id. Imam Ibnu Hazm dalam kitab al-Muhalla menjelaskan, anak itu di nasabkan kepada ibunya. Jika ibunya berzina dan kemudian mengandungnya. Tidak dinasabkan kepada lelakinya. Beberapa pendapat lain, senada dalam hukum nasab anak di luar nikah; Anak hasil zina adalah anak yang lahir sebagai akibat dari hubungan badan di luar pernikahan, sah menurut ketentuan agama. Anak ini tidak mempunyai hubungan nasab, wali, nikah, waris, dan nafkah.
Majelis Ulama Indonesia (MUI) lewat Fatwanya. Nomor 11 Tahun 2012 menjelaskan, pemerintah berwenang menjatuhkan hukuman tazir kepada pezina yang mengakibatkan lahirnya anak dengan mewajibkannya mencukupi kebutuhan hidup anak tersebut. Memberikan harta setelah ia meninggal melalui washiyyah wajibah. Hukuman ini bertujuan untuk melindungi anak. Bukan untuk mengesahkan hubungan nasab antara anak tersebut dengan lelaki yang mengakibatkan kelahirannya. (Republika.co.id)
Secara hukum di dunia, tak seiring bagaimana perasaan yang dirasakan Jadah, atau mungkin saja manusia makin hari makin menjadi teroris secara psikis, mental, ataukah kepunahannya manusia dalam memahami agama yang menyejukkan, budaya mengasah akal, terjungkal dalam kedangkalan.
Nasib dan nasab sang Jadah, bukan hanya menjadi perenungan semata, sebab kita kadang abai. Jadah merasakan bagaimana perlakuan terhadapnya. Manusia makin pemarah, tak ada lagi yang ramah. Jadah memunguti ranting lukanya, dia jadikan pena, di atas tanah kehinaannya, menulis namanya dengan huruf kapital. Air matanya jatuh berderai, luruh tak bertenaga. Dan, pada akhirnya rubuh di pelukan ibunya.
Dia berbisik dengan suaranya yang parau. Aku melahirkanmu sebagai anak yang baik, dengan santun, beradab. kutimang dengan segenap doa, Saat orang-orang memamah dengan anak panah sinis kehinaan kepadaku, ibulah yang hina. Mereka memang jahat Jadah. Sungguh.
Dengan terisak, tangisnya ringkih membubung ke langit. Dia memeluk Jadah, yang kini terbaring hening.
Sumber gambar: www.idntimes.com/science/experiment/abraham-herdyanto/hari-genetika-sedunia-manfaat-mengenali-keturunan