Kewajiban jurnalisme adalah menyampaikan kebenaran. Hal ini penting diketahui oleh calon wartawan, bahkan wartawan sekalipun. Bill Kovach dan Tom Rosenstiel (2001) bahkan memasukkan kewajiban menyampaikan kebenaran sebagai poin pertama dari sembilan elemen jurnalisme, saking pentingnya variabel kebenaran dalam jurnalisme—belakangan Kovach dan Tom Rosenstiel memasukkan “Hak dan Tanggung Jawab Warga” sebagai elemen kesepuluh jurnalisme.
Lantas, kebenaran apa yang hendak dicapai dalam jurnalisme? Kovach dan Rosenstiel menyebutnya kebenaran fungsional. Suatu berita harus mengandung kebenaran yang bersifat praktis, berguna, dan bisa diandalkan. Misalnya, sang jurnalis menginvestigasi kasus korupsi. Berdasarkan hasil temuan sang jurnalis ternyata telah terjadi korupsi besar-besaran di tubuh pemerintahan.
Ketika KPK melakukan penyelidikan dan menjadikan sejumlah pejabat menjadi tersangka, itulah yang disebut kebenaran fungsional. Kebenaran yang membuat seseorang lebih berhemat lagi saat mengetahui harga bahan pokok di pasar sedang naik, kebenaran yang membuat masyarakat semakin berhati-hati karena mengetahui bahwa kelompok begal semakin menjamur.
Tapi jurnalisme sadar jika kebenaran tak selamanya bersifat mutlak. Informasi yang diberitakan wartawan bisa keliru. Sebenarnya hal tersebut bukanlah problem epistemologi yang serius dalam jurnalisme. Justru karena sifat kebenaran seperti itu, maka aktivitas kewartawanan menjadi menyenangkan dan penuh tantangan.
Kebenaran akhirnya seperti harta karun yang hendak ditemukan melalui proses pencarian terus menerus. Dan sang wartawan seperti petualang yang melakukan perjalanan mencari harta karun itu, dari satu jejak ke jejak lainnya, dari satu bukti ke bukti lainnya, hingga jejak dan bukti tersebut mengantarkan sang wartawan menemukan harta karun yang lebih banyak, meski melelahkan dan berisiko.
Mulanya, sang wartawan menulis berita tentang seorang pemuda yang mati dalam keadaan tergantung di rumahnya. Sehari setelah berita itu tayang, muncul perkembangan baru dari kepolisian jika pemuda tersebut dibunuh. Sang jurnalis akhirnya kembali turun ke lapangan untuk memeriksa informasi tersebut dari pihak kepolisian, saksi, keluarga korban, dan dari sumber-sumber primer lainnya.
Hingga sang wartawan menemukan data baru, dan merevisi kembali beritanya. Jika ditemukan lagi perkembangan baru, maka sang wartawan kembali memulai perjalanannya untuk menggali informasi hingga menemukan bentuk kebenaran yang lebih utuh lagi. Bukan hanya kuat secara nilai kebenaran, namun praktis dan bisa diandalkan: memberi informasi berguna pada publik, atau mungkin bisa membantu kepolisian untuk menemukan pelaku pembunuhan.
Ketidakmutlakan informasi dalam berita membuat kebenaran bisa berkembang melalui proses sorting-out: memilah data, mengeliminasi yang tak diperlukan lagi, dan memasukkan data baru yang bisa menambah nilai kebenaran berita.
Andreas Harsono (2010) menyebutnya sebagai “kebenaran yang dibentuk lapisan demi lapisan”. Kebenaran yang disusun dari satu lapisan, menuju lapisan kedua, ketiga, dan seterusnya, sampai kebenaran tersebut lengkap dan utuh. Sementara Kovach dan Rosenstiel mengibaratkan kebenaran dalam jurnalisme seperti stalagmit di dalam gua yang tumbuh setetes demi setetes hingga membentuk stalagmit besar. Proses tersebut membutuhkan waktu yang tak sebentar. Seperti para petualang yang mencari harta karun, butuh waktu panjang.
Tapi, bukankah wartawan adalah manusia biasa yang menyimpan elemen-elemen subjektif seperti ideologi, agama, ras, etnis, kepentingan politik, yang bisa saja mempengaruhinya dalam menulis berita? Kita tak bisa mungkiri bias dalam berita. Bahkan bukan rahasia umum lagi jika banyak media massa dan wartawan yang menulis berita berdasarkan pilihan politik, ideologi, dan kepentingan rasialnya. Sehingga laporannya justru mengaburkan kebenaran.
Namun bukan berarti kebenaran tak bisa direngkuh. Selama jurnalisme masih berurusan dengan fakta dan dunia “penampakan”, maka menemukan kebenaran masih dimungkinkan. Di sinilah pentingnya disiplin verifikasi. Metode dalam jurnalisme yang pelan demi pelan mulai ditinggalkan di era media baru. Era ketika kebohongan, prasangka, asumsi, begitu mudah ditemuka di antara tumpukan informasi di dunia maya.
Jika tak dilangsungkan verifikasi, maka bukan jurnalisme namanya. Laporan yang ditulis wartawan akhirnya hanya mengandung gosip, hoaks, propaganda, atau paling banter hanya berita sepotong- sepotong. Mungkin karena itulah Kovach dan Reosentiel menyebut verifikasi sebagai esensi jurnalisme.
Lantas bagaimana disiplin verifikasi dilakukan? Kovach dan Rosenstiel menawarkan sejumlah metode. Pertama, lakukan penyuntingan secara skeptis. Jangan cepat percaya. Karena sikap skeptis akan membuat sang wartawan bisa mengembangkan pertanyaan guna menggali fakta baru.
Kedua lakukan pemeriksaan akurasi dengan menguji kembali data, mengonfirmasi ulang narasumber, memeriksa kelengkapan narasumber yang terkait dengan isu yang diangkat, hingga memeriksa motif wartawan dalam laporan tersebut apakah memuat penghakiman dan keberpihakan.
Ketiga, jangan berasumsi. Apalagi mengarang informasi demi kepentingan tertentu. Keempat, lakukan pengecekan fakta dalam laporan mulai dari baris per baris, hingga kalimat per kalimat. Pengecekan fakta harus dilakukan secara detail agar laporan yang ditulis memiliki tingkat kepercayaan yang tinggi.
Jika seluruh prosedur verifikasi sudah dijalankan dengan baik, maka saya yakin informasi yang diproduksi oleh wartawan dapat dipertanggungjawabkan. Kita memang tak bisa melawan prasangka dan kecurigaan publik terhadap informasi yang kita produksi. Sehingga wajar jika bagaimana pun baiknya suatu informasi tersebut, tak semua orang bisa mempercayai kebenarannya.
Apalagi di era media baru, publik lebih senang membenarkan informasi jika sesuai dengan selera, keyakinan, dan pilihan politiknya. Tapi, selama wartawan menjalankan disiplin verifikasi dengan ketat, maka prosedur tersebut akan menjadi penyelamatnya jika kelak publik meminta pertanggungjawaban terhadap informasi yang diproduksinya.
Sumber gambar: https://www.searchenginejournal.com/