Tuhan Tahu, dan Ia Memang Mahatahu

”Jika diberikan kesempatan terlahir kembali, Anda akan memilih menjadi siapa?” Begitu pertanyaan retoris kerap dilemparkan naraacara kepada bintang tamunya, pada suatu acara talkshow di sebuah stasiun televisi, entah kepada artis rupawan atau kepada tamu undangan bernasib tragis yang diundang karena kisah perjuangan hidupnya yang mengundang decak kagum—tapi kadang demi rating tinggi.

”Saya akan menjadi diri sendiri”, ”saya akan memilih dilahirkan menjadi lebih baik”, ”saya akan menjadi sama seperti orang besar yang bisa berbuat lebih banyak”, ”saya akan dilahirkan menjadi…”

Berbagai jawaban kerap menarik, dan juga sering jauh lebih ekspektatif, berharap keadaan sekonyong-konyong akan berubah jika menjawab dilahirkan menjadi ini, atau akan menjadi seperti itu, atau ingin laiknya seperti fulan bin fulan…  

Anda bisa juga menjawabnya di sini, dengan jawaban ingin menjadi siapa sekehendak hati Anda, sesuai harapan dan cita-cita Anda yang saat ini belum kesampaian.

Tapi, hidup ini adalah apa yang sedang dan sudah terjadi, yang tidak sepenuhnya dapat Anda kendalikan. Toh, jika Anda sudah berharap, dan sedang memperjuangkan suatu keinginan dapat segera terpenuhi di masa mendatang, itu juga bukan sepenuhnya berada di dalam kekuasaan Anda.

Waktu adalah realitas misterius, yang menyembunyikan takdir hidup Anda. Dan, itu akan tetap seperti itu sampai ia benar-benar terjadi.    

Tuhan tidak sekadar bermain dadu, kata Albert Einstein, ia tahu segala hal tapi ia menunggu, kata Leo Tolstoy, pengarang kaliber Rusia. Barangkali setiap pilihan, rencana, atau harapan dicanangkan manusia tidak bertujuan agar diketahui dengan pasti akan seperti apa jalan ceritanya.

Apalah arti kehidupan ini jika semuanya telah gamblang dan sudah seperti harapan semula, tanpa teka-teki yang membuat dinamis gerak jantung Anda. Anda tidak sedang berhadapan dengan jin pasca menemukan lampu minyak, yang dengan mudah menyanggupi seluruh hajat hidup Anda.

Semua yang berada di luar kehidupan kita tidak pernah akan berjalan mulus, karena ia tidak seperti isi pikiran kita yang merupakan satu-satunya hal yang dapat kita kendalikan.

Ya, hanya pikiran, atau persepsi Andalah tepatnya, satu-satunya yang dapat Anda kendalikan sepenuhnya. Keadaan boleh berjalan jauh dari rencana, seperti bola liar tanpa arah yang pasti, tapi pikiran Andalah obatnya.

Pikiran satu-satunya yang bisa Anda kuasai dan hanya dengan Anda mengubah persepsi keadaan akan pelan-pelan menjadi sesuatu yang lain, sama seperti Aksionov tokoh sentral dalam salah satu karangan Leo Tolstoy, yang dengan ikhlas menerima keadaan meski awalnya tidak sesuai kejadian sebenaranya.

Aksionov adalah tokoh penceritaan Toltoy dalam God Sees the Truth, but Waits (Tuhan Tahu, tapi Ia Menunggu), yang awalnya merupakan saudagar kaya, korban salah tangkap karena dituduh membunuh kawan seperjalanannya dalam suatu penginapan. Ia dipenjara, yang meskipun itu keputusan tidak adil, membuatnya tidak bisa berbuat apa-apa. Sebilah pisau jadi bukti kuatnya—yang sebenarnya ia tak tahu mengapa bisa ada di dalam tasnya.

Bertahun-tahun Aksionov berat hati menjalani hukumannya, rindu anak rindu istri. Kekayaannya menipis dan membuatnya melarat. Di dalam masa yang panjang itu ia mempelajari Injil dan menjadi lebih saleh dari semua orang di dalam penjara. Suatu waktu datang rombongan tahanan baru, yang satu di antaranya adalah pembunuh sebenarnya pada kasus salah tangkap Aksionov. Setelah sebuah pengakuan dari pembunuh sebenarnya, Aksionov bisa saja menuntut peradilan agar ia dibebaskan.

Tapi, Aksionov telah menentukan pilihan.  Ia telah memaafkan si pelaku sebenarnya meski dirinyalah yang menanggung seluruh hukuman 26 tahun lamanya.

Selang berapa lama, masa tahanan Aksionov telah habis. Tibalah saat ia dibebaskan. Namun, apa boleh dikata, tidak ada happy ending dalam kisah ini. Sebelum Aksionov bebas, ia telah meninggal lebih dulu.

Jika Anda seorang yang tidak percaya Tuhan dan membaca habis kisah Aksionov dalam cerita Tolstoy itu, kesimpulan Anda akan membenarkan bahwa keadilan Tuhan itu tidak ada, dan nasib manusia tidak benar-benar sedang dirumuskan secara cermat olehnya. Ia bahkan dalam kisah Aksionov yang memilih berdamai dengan keadaannya, hanya melihat ketidakadilanNya bekerja tanpa sekalipun berkeinginan untuk ia ralat.

Tapi, jika Anda melihat dari kacamata religius, yang berarti Anda sangat mengyakini keberadaan Tuhan melebihi dari apa pun, kisah Aksionov dalam Tuhan Tahu Tapi Ia Menunggu  itubukan sepenuhnya kisah ketidakadilan akibat ”persidangan buta”, melainkan menyangkut transformasi kejiwaan Aksionov menuju kepasrahan tulus atas takdir Tuhan yang telah terjadi.

Singkatnya,  Aksionov dalam kisah itu, yang merupakan korban salah tangkap dan dijatuhi hukuman penjara bertahun-tahun lamanya, mengetengahkan bahwa nasib atau takdir kehidupan bukan apa yang ingin Anda capai, tapi sesungguhnya adalah apa yang sedang terjadi saat ini dalam hidup Anda.

Mengapa Aksionov dapat menjalani nasib yang sebenarnya bukan untuk dirinya—karena bukan ia lah pembunuh sebenarnya—dan tulus serta sabar menghadapi apa yang tengah terjadi dalam kehidupannya? Persepsi, ya, itulah kuncinya, sehingga ia bisa menanggung beban hukuman yang sejatinya maha berat itu.

Musibah memang objektif tak dapat lagi diubah. Kadang ia terjadi begitu saja di luar dari perencanaan dan keinginan, tapi dengan kekuatan persepsi kita bisa memilih menerima keadaan atau tidak.

Sekarang Anda dapat memilih mengubah persepsi alih-alih mengutuk keadaan yang sebenarnya di luar dari kendali Anda.

Masa sekarang di langit-langit dunia sedang menggelantung awan hitam membuat sebagian besar perencanaan kehidupan ini tidak berjalan sesuai keinginan Anda. Covid-19 biang kerok utamanya, membuat kehidupan di sekitar kita menjadi lebih suram. Situasi ekonomi makin sulit, sekolah makin mirip gedung kosong, dan suasana duka tidak berhenti berdatangan nyaris membuat jiwa kita menjadi meranggas dan kebas.

Tapi, sama seperti Aksionov, Anda bisa mengubah persepsi memilih tulus berdamai dengan keadaan, atau menderita melihat keadaan yang sama sekali berbeda dengan ego Anda.

Lalu apa jawaban Anda jika mendapatkan kesempatan sama seperti pertanyaan di atas?  Jenis kehidupan apa yang akan Anda pilih? Memilih menjadi siapakah diri Anda untuk saat ini?

Asal Anda tahu, jawaban seperti apa yang Anda pilih menyiratkan apakah Anda tulus menerima urusan Tuhan, atau rencana urusan Anda! Bukankah yang baik menurut Anda jangan sampai tidak baik menurut Tuhan. Begitu juga sebaliknya, bisa jadi nasib buruk Anda, justru itulah yang terbaik menurut keinginan Tuhan. Tuhan memang tidak sedang mempermainkan dadu nasib Anda. Ia tahu, dan orang-orang sabar sesungguhnya sedang bersama-Nya, begitu sabdanya dalam sebuah ayat suci


Sumber gambar: https://foreignpolicy.com/2021/06/14/nepal-vaccines-coronavirus-disaster/

  • Dalam satu dasawarsa terakhir, Kabupaten Bantaeng telah tampil sebagai barometer gerakan literasi, khususnya di Provinsi Sulawesi Selatan. Ketika kata “literasi” belum sepopuler hari-hari ini, pegiat literasi di Bantaeng sudah bergerilya menyebar benih gerakan literasi yang kini sudah tumbuh subur. Langkah-langkah gerilyanya ketika itu berupa pelatihan kepenulisan, diskusi buku, dan lapak-lapak baca. Di kemudian hari, langkah…

  • Adelio membuka mata ketika menyadari ombak Perairan Cempedak mengombang-ambing tubuhnya. Ia melihat ke bawah dan mendapati kedalaman laut yang tak terhingga. Ia mendongak ke langit, semburat cahaya matahari baru saja hendak menyapanya dari ufuk timur. Ia baru saja menyadari bahwa dirinya telah mengapung semalaman di tengah laut setelah mendapati sebagian kulitnya yang mulai mengeriput. Ia…

  • Buku terbaru Sulhan Yusuf, Gemuruh Literasi: Sederet Narasi dari Butta Toa boleh dibilang sebagai pembuktian, jika usia bukanlah aral melintang bagi seseorang untuk produktif dalam berkarya. Tapi, insight yang diwedarkan Gemuruh Literasi sebenarnya lebih dari itu. Buku ini adalah jawaban bagi rasa penasaran sebagian orang yang hendak mengetahui gerakan literasi Sulhan di Bantaeng. Kerja-kerja kultural yang…

  • Judul tulisan ini saya pinjam dari ungkapan Profesor Cecep Darmawan—dosen saya ketika studi magister beberapa waktu lalu. Beliau guru besar yang egaliter dan seringkali tampil di publik (media dan forum) untuk berbagi gagasan dan pencerahan. Seingat saya ungkapan itu beliau sampaikan saat kami kuliah “Pendidikan Politik Generasi Muda”. Saya terkesan dengan ungkapan itu, selain indah…

  • Membicarakan suatu topik, dalam hal ini filsafat Islam, maka rasa-rasanya kurang afdal apabila tidak memasukkan nama al-Ghazali di dalamnya. Akan tetapi bila seseorang mau menempatkan al-Ghazali dalam sejarah filsafat Islam, tentu ia harus membuat beberapa catatan. Poin utamanya bahwa al-Ghazali tidak menganggap dirinya filosof dan tidak suka dianggap sebagai seorang filosof. Ini tak hanya menjelaskan…


Kala Literasi

Jl. Pa’ Bentengang No.6, RT.01/RW.08, Mangasa Kec. Tamalate, Kota Makassar, Sulawesi Selatan 90221