Ka’bah dan Gode

Ada dua jagat hidup dan kehidupan, bagai dua sisi mata uang: politik dan sepak bola. Keduanya amat atraktif. Satu urusan jiwa, lainnya perkara raga. Politik selaras jiwa, sepak bola seturut raga. Definitnya, politik merupakan olahjiwa, sedangkan sepak bola adalah olahraga. Dan, bila keduanya makin diminati, maka akan bermuara pada jargon, politik sepak bola dan sepak bola politik.

Gambaran pergolakan politik sangat mudah dijelaskan manakala diibaratkan dengan permainan sepak bola. Begitu pun sebaliknya, persepakbolaan bisa berjaya, ketika ada kebijakan politiknya. Sepak bola tanpa kebijakan politik sebagai payung kebajikannya, dipastikan persepakbolaan akan semrawut.

Aku ingin menukil gundah dua orang warga net, terkait politik dan sepak bola, saat ia ditanya oleh facebook, “Apa yang Anda Pikirkan?”

Syamsu Rijal Ad’han menorehkan kalimatnya, “Baliho politisi saat ini mulai semarak di mana-mana. Bak cendawan di musim hujan. Padahal 2024 masih jauh. Yang di depan mata adalah Indonesia sedang krisis akibat pagebluk. Banyak orang kehilangan kerja, anak-anak banyak yang jadi yatim bahkan yatim piatu. Politisi pasang baliho sebenarnya wajar saja. Mereka ingin populer. Mungkin juga di masa krisis ini mereka telah banyak berbuat, mungkin mereka telah nyumbang banyak. Tetapi rasanya tidak elok ya? Kurang etis. Foto foto di baliho itu tersenyum penuh semangat ingin meraih kekuasaan. Sementara di berbagai sudut Indonesia rakyat sedang menangis.Lagi pula jika dihitung hitung jumlah baliho di seantero Nusantara, biayanya tak sedikit. Kalau itu dikumpul, mungkin bisa meringankan mereka yang terdampak pagebluk.”

Lain halnya Saprillah Syahrir Al-Baycuni. Ia menjawab, “Setelah Messi memenangkan segalanya, Barca malah enggan memperpanjang kontraknya. Alasannya, gak ada duit. bukan. itu bukan alasan. Messi adalah pemain dengan masa depan investasi yang buruk. mmpertahankan Messi hanya akan menguras keuangan sedangkan semakin lama harganya semakin tergerus usia. bukankah lebih baik mencari pemain muda berbakat untuk melanjutkan sejarah kesuksesan Barca. pasca Messi. No legend in football. Just Capitalism!”

***

Dua pekan lebih aku menyata di Bantaeng. Agendaku beraneka rupa. Mulai dari hajatan keluarga, hingga helatan literasi. Kemeletaaanku di kampung kelahiran, tentulah selalu melibatkan separuh napasku yang menubuh ke Daeng Litere. Sebagai misal, di penggalan waktu, pada salah satu sudut perempatan kota, di Warkop 99. Aku dan dia sudah duduk lumayan lama. Entah kenapa, Daeng Litere, menarik napas lumayan dalam. Pertanda ada gelisah di hatinya dan gejolak di pikirannya.

Aku menatapnya, lalu kuajukan tanya , “Adakah?”

Nyaris tiada jeda, ia langsung bertutur, “Ente ingat dua kawan kita yang baru saja berpulang pada keabadian?”

“Ya, Nasrun Ka’bah dan Rustam Gode, bukan?”

“Betul sekali. Bukankah usianya sama dengan usia kita? Jangan-jangan berikutnya…” jawab Daeng Litere, yang segera kususul dengan ungkapan, “So pasti, kita-kitalah yang akan menysulnya.”

Suasana jadi hening. Nantilah susulan kopi memecahkan suasana, sehingga percakapan berlanjut. Daeng Litere memintaku untuk menghangatkan ingatan pada dua kawan yang baru saja wafat dalam dua pekan ini. Nasrun Ka’bah dan Rustam Gode.

Nasrun Ka’bah, lebih akrab dipanggil Ka’bah. Mengapa? Sewaktu masih bersekolah di SMP Neg 1 Bantaeng, kami semua memanggilnya dengan Ka’bah. Maklum, bapaknya, Mahmuddin Sinongko, adalah Ketua Partai Persatuan Pembangunan (PPP) berlambang Ka’bah. Kala itu, masih kuat-kuatnya rezim Orde Baru. Panggilan itu melekat, hingga kami lanjut di SMA Neg 1 Bantaeng. Dan, ia pun menegaskannya sebagai nama akun medsosnya.

Kesetiaan Ka’bah pada PPP, berlanjut semasa kuliah, hingga ia pernah duduk sebagai anggota DPRD Kota Makassar mewakili PPP. Setelah ia tidak lagi terlibat dalam politik praktis, ia tetap menjadi konsultan politik bagi warga PPP yang ingin mencalonkan diri menjadi wakil rakyat. Bagiku, sosok Ka’bah serupa persona pilihan. Tidak tergiur pindah partai. Bahkan, kala partainya dirundung perpecahan, dua kepengurusan, ia tetap di PPP. Ia seorang politisi yang setia pada partainya.

Begitu juga dengan Rustam Gode. Aku yakin nama lahirnya, Muhammad Rustam, tapi popular disapa Gode. Ia kawan SMP dan SMA-ku. Profesinya sebagai ASN di Bantaeng. Jabatan terakhirnya sebagai Kepala Seksi Bidang Olahraga Dispora Bantaeng. Gode, lebih dikenal oleh masyarakat Bantaeng sebagai pemain sepak bola. Bahkan, kadang sesama pemain memanggilnya sebagai kapten. Terakhir kali bertemu dengan Gode, sewaktu ada arisan para mantan pemain Persatuan Sepak Bola Bantaeng (Persiban), yang diadakan di mukim kakakku. Maklum, abangku mantan salah seorang pemain bola Bantaeng dan pernah mendirikan salah satu klub sepak bola di Bantaeng.

Ka’bah wafat pada 31 Juli 2021, karena sakit. Setelah dirawat beberapa waktu di Rumah RSUD Anwar Makkatutu Bantaeng. Dari unggahan facebooknya, ia pernah dibesuk oleh Bupati Bantaeng, Ilham Azikin. Sebagai seorang politisi, ia dikenal baik oleh bupati. Lain halnya dengan Gode. Ia wafat 7 Agustus 2021, saat ia bersama Bupati Bantaeng bertandang ke Kabupaten Maros guna bermain bola. Ilham Azikin adalah pecinta bola, sering bermain bola bersama pemain Persiban. Ia mengajak Sang Kapten ke Maros. Gode wafat masih menggunakan seragam bola.

***

Maraknya baliho para politisi dan hengkangnya Messi dari Barca, menubuhkan pelajaran berharga bagiku. Mungkin, Daeng Litere pun demikian. Pasalnya, tempat bercermin selaku politisi yang setia dengan partai, seperti yang dicontohkan oleh Ka’bah amat langka.

Bukankah setiap pemilu digelar, para politisi bak pemain sepak bola, senantiasa mengajukan diri untuk satu partai buat kendaraannya menuju gedung wakil rakyat? Kesetiaan pada partai, sulit ditemukan, sebab politik sudah jadi industri. Persis seperti klub sepak bola yang jual beli pemain, setiap pergantian musim.

Menjadi wajarlah celotehan dua warga net, yang mengkritisi laku aktor politik dan tingkah pemain sepak bola. Keduanya mendakukan campur tangan kapitalisme dalam politik dan sepak bola.

Jujur. Saya tidak hendak membandingkan para politisi berbasis baliho itu dengan kawanku, Ka’bah. Atau mengkritik klub sepak bola yang jual beli pemain dengan kawanku Gode. Sekali lagi, tidak. Aku hanya mengajukan peristiwa pembelajaran. Seperti juga Daeng Litere mengakuinya, “Mari kita belajar, pada dua sosok anak negeri yang punya kesetiaan. Satu bersetia pada partainya, satunya lagi berkomitmen pada lapangan hijau.”

Di sisa waktu, pada sisi pikiran masing-masing, aku dan Daeng Litere tertegun beberapa lama. Masih di Warkop 99. Merasakan aura panggilan berikutnya, akan menyuusul dua kawanku kelak. Namun, Daeng Litere, setengah berbisik di palung hatiku, “Sepak bola politik dan politik sepak bola akan sangat indah, seandainya dua kawan kita itu menuntaskannya di pikiran Bupati Bantaeng, sebelum keduanya berpulang.”  

Ilustrasi: Nabila Azzhra

  • Dalam satu dasawarsa terakhir, Kabupaten Bantaeng telah tampil sebagai barometer gerakan literasi, khususnya di Provinsi Sulawesi Selatan. Ketika kata “literasi” belum sepopuler hari-hari ini, pegiat literasi di Bantaeng sudah bergerilya menyebar benih gerakan literasi yang kini sudah tumbuh subur. Langkah-langkah gerilyanya ketika itu berupa pelatihan kepenulisan, diskusi buku, dan lapak-lapak baca. Di kemudian hari, langkah…

  • Adelio membuka mata ketika menyadari ombak Perairan Cempedak mengombang-ambing tubuhnya. Ia melihat ke bawah dan mendapati kedalaman laut yang tak terhingga. Ia mendongak ke langit, semburat cahaya matahari baru saja hendak menyapanya dari ufuk timur. Ia baru saja menyadari bahwa dirinya telah mengapung semalaman di tengah laut setelah mendapati sebagian kulitnya yang mulai mengeriput. Ia…

  • Buku terbaru Sulhan Yusuf, Gemuruh Literasi: Sederet Narasi dari Butta Toa boleh dibilang sebagai pembuktian, jika usia bukanlah aral melintang bagi seseorang untuk produktif dalam berkarya. Tapi, insight yang diwedarkan Gemuruh Literasi sebenarnya lebih dari itu. Buku ini adalah jawaban bagi rasa penasaran sebagian orang yang hendak mengetahui gerakan literasi Sulhan di Bantaeng. Kerja-kerja kultural yang…

  • Judul tulisan ini saya pinjam dari ungkapan Profesor Cecep Darmawan—dosen saya ketika studi magister beberapa waktu lalu. Beliau guru besar yang egaliter dan seringkali tampil di publik (media dan forum) untuk berbagi gagasan dan pencerahan. Seingat saya ungkapan itu beliau sampaikan saat kami kuliah “Pendidikan Politik Generasi Muda”. Saya terkesan dengan ungkapan itu, selain indah…

  • Membicarakan suatu topik, dalam hal ini filsafat Islam, maka rasa-rasanya kurang afdal apabila tidak memasukkan nama al-Ghazali di dalamnya. Akan tetapi bila seseorang mau menempatkan al-Ghazali dalam sejarah filsafat Islam, tentu ia harus membuat beberapa catatan. Poin utamanya bahwa al-Ghazali tidak menganggap dirinya filosof dan tidak suka dianggap sebagai seorang filosof. Ini tak hanya menjelaskan…


Kala Literasi

Jl. Pa’ Bentengang No.6, RT.01/RW.08, Mangasa Kec. Tamalate, Kota Makassar, Sulawesi Selatan 90221