Adalah terik matahari, berpiring-piring semangka, dan pagina buku-buku yang menjadi saksi persuaan siang itu. Di Rumah Baca Panrita Nurung, Maksim Daeng Litere dipercakapkan oleh penulisnya bersama para pesuluk. Mereka adalah lelaki dan perempuan dari pelbagai macam daerah di Sulsel dan Sulbar—menyata di rumah baca, guna melakukan perjalanan intelektual dan spiritual. Setelah sehari sebelumnya “disedekahi” buku oleh Sulhan Yusuf selaku Penulis, tibalah hari ini mereka mempertanggung jawabkan “sedekah” itu.
Buku Maksim Daeng Litere adalah buku keempat Sulhan Yusuf, bersampul hijau zamrud, dengan animasi tangga menurun ke sebuah ruangan yang penuh dengan buku, di sisi lain ruangan itu terdapat cahaya yang menyilaukan mata. Saya menafsirkannya bahwa setelah membaca buku ini dan mengamalkannya, maka Anda akan menjadi manusia yang “bermandikan cahaya”. Tercerahkan. Agak hiperbolis memang, tapi begitulah kira-kira saya memaknainya.
Buku ini berisi kumpulan petuah bijak yang dipahatkan Kak Sul—begitu sapaan akrab beliau—di dinding Facebook-nya selama lingkaran setahun penuh. Sebentuk ikhtiar menjawab pertanyaan Facebook, “Apa yang Anda pikirkan?” Bermula sejak 29 Februari 2020 dan berakhir pada 28 Februari 2021.
Total ada 366 quote dalam buku ini, yang oleh Kak Sul dinamai maksim. Ya, “maksim” dalam KBBI adalah pernyataan ringkas yang mengandung ajaran atau kebenaran umum tentang sifat-sifat manusia, aforisma, dan peribahasa. Pilihan judul tersebut hemat saya tepat dalam merepresentasikan isi buku ini.
Lalu, bagaimana dengan Daeng Litere? Oleh Kak Sul sendiri, dalam pendakuannya tentang Daeng Litere, menyebutnya sebagai saudara sesusuan. Sudah hidup bersama sejak masik menetek. Bahkan berbagi tetek, dari situlah berawal istilah saudara sesusuan dan penyatuan sari diri itu. “Mungkin terasa aneh, sebab aku telah menjadi dia dan begitu juga sebaliknya, dia mewujud aku. Dia dan aku bersetubuh dalam diri nomena sekaligus fenomena.” Begitu akunya.
Hemat saya, Daeng Litere adalah kawan imajiner Kak Sul. Manusia nomena. Serupa personalisasi gagasan manusia ideal. Manusia universal yang telah melampaui batas-batas manusia pada umumnya, sebab sejatinya Daeng Litere sudah sampai pada makam “tercerahkan” dan “moksa”. Katakanlah Daeng Litere ada karena Kak Sul, tapi Daeng Litere bukanlah Kak Sul. Bingung? Saya juga.
Jadi sederhananya, Maksim Daeng Litere sebentuk ikhtiar si penulis untuk “meminjam” lidah si tokoh ini untuk mengajukan gugatan, gugahan, dan tentu saja renungan dengan pilihan diksi indah nan dalam khas pesona persona Daeng Litere. Laiknya yang didakukan pula oleh Nur Jabir dalam pengantarnya, “Makna ibarat jiwa bagi kata-kata dan kata-kata seperti tubuh. Jiwa yang indah akan melahirkan kata-kata indah. Semakin indah dan lembut jiwa seseorang, semakin indah kata-kata yang keluar dari lisannya dan akan semakin dalam maknanya.”
Membaca buku ini akan membawa kita pada pengalaman personal Daeng Litere, sebab, bagaimana pun juga—hemat saya—maksim ini tak lahir dari ruang hampa. Ia lahir dari realitas dan ide yang dipercakapkan, lalu diikat oleh penulis dalam kalimat. Maksim tak bisa dilepaskan dari konteks yang melatarbelakanginya. Semua maksim punya “asbabun nuzul”. Sebagai amsal, coba kita tengok beberapa maksim di antaranya:
050320
“Wabah corona bertandang. Sungguh, ia mau mengecek kemanusiaan kita.” (Halaman 22)
200320
“Abai sewaktu ibadah normal. Tiba-tiba bersuara lantang, kala ibadah abnormal. Begitulah hamba nirnormal unjuk diri.” (Halaman 27)
140520
“Kunyahlah makanan sebelum ditelan. Begitu pun urita, pikirkan baru diterima.” (Halaman 46)
Maksim-maksim yang diujarkan penulis di atas, tidak bisa dicerabut dari situasi dan kondisi yang terjadi kala itu. Inilah yang menjadi kekuatan dari buku ini, bahwa apa yang menjadi isinya berangkat dari sesuatu yang dekat dengan kehidupan penulis. Membuat buku ini amat personal, sekaligus universal. Sebab apa yang penulis alami, sangat besar kemungkinannya dihidu pula oleh orang lain.
Bedanya Daeng Litere punya “piranti” intelektual dan spiritual untuk menangkap dan menerjemahkannya dalam untaian kata-kata. Kita akan dibuat manggut-manggut, mengerutkan dahi, dan sesekali menggaruk kepala tatkala membaca buku ini. Menandakan bahwa setiap maksim punya kekuatan “magisnya”.
Tak salah jika Kak Sul mewasiatkan pada pada pesuluk agar buku ini jangan dibaca, tapi dieja. Pilihan diksi “eja” tentu bukan dalam arti penjabaran KBBI, melainkan mengeja dalam makna praktisnya, yaitu membaca dengan pelan, kata per kata, dari kalimat ke kalimat. Hingga makna dapat diselami, sedalam-dalamnya. Hakikat dapat diungkap, seterang-terangnya. Tentunya sesuai interpretasi pembacanya. Sebab, maksim yang sama bisa jadi dimaknai berbeda oleh dua kepala. Sebab pengetahuan dan pengalaman setiap orang pasti berbeda.
Hal tersebut disadari betul oleh Kak Sul, karenanya sekotah maksim tak diberi judul, guna menghindari terungku imajinasi dan penafsiran tunggal. Bagi Kak Sul, cukuplah waktu “turunnya” maksim itu di gua pikiran dan hatinya yang menjadi pembeda antar maksim. Bukan yang lain.
Tidaklah mengherankan, dalam percakapan di siang hari itu, para pesuluk merasakan kekuatan dari buku ini. Dari pengakuan mereka, buku ini sebenarnya amat sederhana, namun di balik kesederhanaan itu tersimpan kemegahan makna. Butuh pikiran kritis membaca buku ini, karena maknanya yang tersirat, bahkan jika perlu harus dibaca berulang-ulang, begitu cakap salah seorang pesuluk.
Ya, membaca maksim mestilah bersayap kesabaran dan perenungan. Membaca dengan buru-buru akan sia-sia belaka. Tak menghidupkan jiwa. Tak menyalakan pikiran. Muaranya, maksim hanyalah kumpulan kalimat nirmakna semata. Ejalah maksim dengan takzim. Bacalah maksim dengan menyebut nama Tuhanmu yang menciptakan.