Beberapa minggu lalu saya berhasil menerbitkan buku, dan lega ketika itu terjadi setelah sekian lama memendamnya. Ini seperti suatu pencapaian yang tidak semua orang dapat lakukan, meskipun di era sekarang menciptakan sesuatu jauh lebih gampang karena kemajuan teknologi mutakhir dari masa sebelumnya. Kemajuan tekhnik percetakan membuat semua itu jauh lebih mudah. Keadaan sekarang tidak sesulit masa saat sebuah buku hanya menunjuk kepada gulungan-gulungan perkamen, yang membutuhkan banyak kulit binatang, atau kertas pohon hanya untuk menulis satu tema atau pembahasan. Tidak juga mengacu kepada kertas-kertas yang dijilid manual menggunakan perkakas seperti tukang sol sepatu. Masa itu, keadaan yang serba terbatas, dan seseorang bekerja lebih keras menyerupai seorang tukang daripada dapat layak disebut penulis buku.
Keberadaan badan-badan penerbit juga jauh lebih meringankan jika mesti sebuah buku dikerjakan melalui tangan sendiri. Badan penerbit, sama halnya seperti seorang bidan, yang membantu proses persalinan anak seorang calon ibu. Dengan lisensi dan otoritas tertentu, badan penerbit bisa menentukan dan memilih siapa yang sudah waktunya untuk melahirkan karya. Badan percekatan, suatu lini selain badan penerbit, juga menentukan kualitas lahiriah anak yang lahir.
Buku kumpulan esai saya (Kawan Rebahan: Eksistensialisme, Tubuh, dan Covid-19) diterbitkan melalui penerbit Makassar yang enggan disebut sebagai badan penerbit. Oleh pemiliknya “badan penerbitannya” diberadakan untuk membantu kawan-kawan seperkubuan agar dengan mudah menerbitkan naskah-naskahnya. Tentu penerbitannya ber-ISBN, yang berarti terdaftar sebagai badan penerbit. Satu hal yang membuat badan penerbitan ini masih eksis sampai hari ini, adalah loyalitas dan komitmennya yang besar terhadap naskah-naskah yang dilahirkan dari penulis asal Sulawesi, di samping secara organik dan visi berkelindan sedemkian kuat dengan beberapa komunitas literasi yang semakin banyak tumbuh di Kota Makassar.
Buku di masa lampau kerap identik dengan dua keadaan, keberanian dan spiritualitas. Era ketika para nabi dan imam, buku menandai suatu ekosistem kehidupan religi yang dekat dengan peribadatan atas suatu kepercayaan. Buku dan menulis menjadi kegiatan yang disebut juga sebagai modus eksistensi homo religiousa, yang berarti menulis dan membaca kitab secara intens adalah satu bagian dari laku spiritual.
Rene Descartes, konon menerbitkan bukunya yang berjudul Discours de la méthode (1637) dengan cara yang lebih berhati-hati mengingat ia tidak ingin diberlakukan sama seperti Galileo Galilei: dipaksa bersumpah bahwa bumi lah pusat tatasurya, sesuatu iskalan atas akal budi dan eksperimennya sendiri. Sejarah peradaban Eropa hanya di atas kertas saja namanya peradaban, suatu masa gemilang yang menggadang kesadaran dan paradigma baru. Di baliknya, ada martir-martir pencerahan seperti Giordano Bruno, misalnya, yang dicap bid’ah dan diberlakukan tidak beprikemanusiaan di bawah rezim inkuisisi gereja saat itu.
Itulah sebabnya, di masa dark age itulah, menulis suatu karya tidak semudah mengucapkannya, yang jauh lebih permanen hanya dari sebuah bunyi suara. Butuh keberanian lebih di saat itu agar dapat secara origin menulis satu pemahaman yang bertolak belakang dengan keimanan dogmatis gereja. Menulis, yang sifatnya permanen, melekat, dan visual, akan berisiko mudah ditemukan dan menjadi bukti jika saja suatu karya kedapatan melenceng dari konsensus iman dan imam gereja.
Kiwari, pasca Gutenberg berhasil memperbarui mesin cetak jauh lebih efisien beberapa abad lalu, cara masyarakat mengabadikan pemikiran dan perasaannya akan lebih hemat waktu, apalagi sekarang mesin cetak tidak lagi menggunakan kekuatan otot tangan hanya untuk mendapatkan kualitas terang tinta dan beberapa eksemplar jilidan. Anda hanya cukup memilih sekian banyak penerbit buku dengan kualitas cetak beragam, mulai dari yang medioker sampai yang berkualitas tinggi. Dari penerbitan indie sampai yang bermodal besar.
Era pasca Gutenberg disinyalir mengubah modus kerja pencatatan dan penulisan sebagai kerja tekhnik belaka, ketimbang sebagai pekerjaan yang berkaitan dengan sekte keagamaan tertentu. Itu artinya, bau pagina, amis tinta, dan menulis, tidak lagi menjadi pekerjaan terbatas hanya dialami golongan elite agama saja, melainkan meluas di luar dari profesi yang sehari-hari hidup di dalam tembok benteng menara-menara gereja (masjid) atau kerajaan.
Liberalisasi dan emansipasi memang meluas di Eropa setelah menulis dan penjilidan buku tidak semata-mata diterbitkan hanya melalui gudang-gudang kertas institusi agama juga kerajaan, tapi juga setidaknya, sebelum menjadi buku, dapat dipikirkan, didiskusikan, dan ditulis hanya dari rumah-rumah penginapan atau pondok-pondok di pinggir kebun warga.
Ambil contoh Karl Marx, menghabiskan banyak waktunya menulis catatan-catatan awal Das Capital-nya justru di rumah sewa tempat kelas pekerja Inggris tinggal. Suatu lokasi bernama Dean Street di London, letaknya di antara Oxford Street dengan Shaftesbury Avenue, yang tidak pernah masuk dalam imajinasi ruang kelas elite mengenai tempat tinggal layak. Meskipun saat ini lokasi itu sudah berubah menjadi pusat perbelanjaan paling padat di London—sesuatu yang dicela Marx— membayangkan suatu karya monumental yang lahir dari kondisi tempat tinggal melarat, dan membandingkan dengan cara kerja menulis seorang intelektual agama di ruang sejuk nan harmonis, rasa-rasanya Marx adalah kritik monumental itu sendiri, bahwa menulis dan semua usaha intelektual yang mengitarinya bisa lahir dari gaya hidup ala boheiman sekalipun, yang berasal dari pusat hunian buruh rendah dengan lokasi becek, bau, hina, dan kriminil.
Para freethinker, semacam Marx ini, tidak sama sekali memedulikan bahwa berpikir dan menulis adalah privilage yang hanya dimiliki suatu golongan, yang ketat mengedepankan kualitas moral dan spiritual sebagai syarat mutlak untuk berkarya. Justru, berpikir dan menerbitkan karya merupakan kerja semua pihak dengan syarat disiplin, ilmiah, dan berani, yang ikut bertanggung jawab demi kelahiran suatu masa lebih agung.
Di Indonesia kita pasti mengenal Chairil Anwar, penyair yang mendesak ”aku” sebagai subjek otonom dan berani di arena kesusastraan Tanah Air. Gaya hidup ala boheimannya, urakan dan bebas justru menjadi antitesis dari semangat kepenullisan yang semula hanya diperkirakan hanya bisa lahir dari iklim menulis akademik yang jauh dari denyut kehidupan golongan grass root.
Semalam, seseorang di WAG mengirim flyer mengenai 10 kota teratas terbanyak menerbitkan buku di Indonesia, dan dengan nada menyesal menyebut Makassar dengan kata ”Parah” karena tidak berderet dalam list yang ditempati Jakarta sebagai urutan pertamanya. Ia tidak menyebutkan dari mana sumber statistik itu meski tampilan flyer itu cukup meyakinkan. Saya cek kembali mencari dan menemukan dari mana sumbernya: isbn.perpusnas.go.id. Sebelum menulis bagian ini saya pastikan ulang dari situs asalnya, dan benar Makassar tidak ada dalam list.
Melalui buku Thinking Fast and Slow karya psikolog perain nobel di bidang ekonomi, Daniel Kahneman, saya menolak percaya data statistik semacam itu. Kahneman mengatakan, jangan mudah percaya statistik hanya karena angka-angka itu nampak menyakinkan seolah-olah telah menyatakan satu-satunya kebenaran yang sebenarnya. Anda menggunakan sistem berpikir cepat yang lebih irasional, intuitif, dan asosiatif sehingga membuat diri Anda segera memercayai data-data informasi tanpa mencernanya dulu lebih jauh. Data-data statistik, disebut Kahneman sering kali menjebak orang ke dalam pemahaman yang salah kaprah. Gunakanlah sistem kedua (slow) yang disebut Kahneman sebagai sistem otak yang bekerja lebih hati-hati, karena lebih rasional, logis, dan kompleks.
Banyak contoh dalam buku itu dinyatakan Kahneman sebagai jebakan-jebakan pikiran, yang sering membuat manusia dengan cepat secara asosiatif dan intuitif menarik kesimpulan atas informasi yang diterimanya, dan statistik salah satu dari sekian banyak jebakan pikiran diurai dalam buku itu.
Anda tentu masih ingat bagaimana ilmu statistik dipakai lembaga-lembaga tertentu untuk memanipulasi data dan sudut pandang seseorang. Jika dalam helatan pemilu Anda pernah bekerja dalam satu lembaga survei, Anda pasti sering menggunakan variabel, sampling, populasi, metode, dan tekhnik perhitungan yang disesuaikan dengan kepentingan tujuan penelitian Anda. Menyangkut tindakan Anda ini, dalam pemilu presiden tempo hari, membuktikan bahwa statistik dapat dipakai untuk berbohong.
Tapi, apakah karena itu perhitungan Perpusnas berbohong? Menggunakan statistik daripada laporan kualitatif mendalam seperti yang tidak pernah dilakukan lembaga-lembaga survei itu? Saya rasa tidak juga. Yang salah jika kita dengan cepat menelan informasi itu tanpa melibatkan critical thinking, atau dalam tilikan buku Kahneman sistem (berpikir) kedua.
Tidak lebih dari dua tahun saja, belakangan ini, penulis-penulis asal Makassar produktif menerbitkan bukunya. Saya bisa menyebut lima nama penulis Makassar (atau Sulawesi) baik medioker atau nasional yang dalam dua atau tiga tahun dari sekarang mencatatkan ISBN bukunya di bank data Perpusnas. Bahkan dua di antara sepuluh nama penulis asal Sulawesi itu bisa menerbitkan dua judul buku tidak cukup dalam satu tahun. Yang perlu dicatat, dari semua nama-nama ini, tidak semuanya menerbitkan bukunya melalui penerbit domisili Makassar (Sulawesi), karena telah lebih awal menerima Jawa sebagai pusat penerbitan yang jauh lebih mentereng dari Kota Daeng. Itu artinya, lebih setengahnya penulis Makassar ikut menyumbang angka grafik terbitan buku, yang membuat kota-kota di Jawa menduduki posisi urutan teratas.
Jadi, angka-angka grafik menunjukkan Makassar tidak masuk dalam sepuluh kota terbitan terbanyak, bukanlah suatu kebenaran mutlak sama sekali. Lagian, dari data yang sama, tidak dijelaskan jenis terbitan apa yang dimaksud dalam data itu. Karangan puisi sastrawan, novelis ternama, buku anak, agama, atau apa? Satu hal yang mesti diingat, di Pulau Jawa kegemukan kampus-kampus dari yang ternama sampai yang mahasiswanya kelak wisuda baru defenitif, dosen-dosennya pun melimpah, dari guru besar sampai asisten ahli. Nah, coba bayangkan jika semua itu dibebankan mesti mengejar target beban profesi dengan cara menerbitkan karya tulis ber-ISBN? Bandingkan kenyataan yang sama terjadi di Indonesia di kawasan Timur?
Tapi, dari situs yang sama, Anda tahu dari data dengan titel ”Penerbit Terbanyak” Makassar masuk urutan sepuluh sebagai kota yang memiliki penerbit terbanyak dibandingkan puluhan kota di Indonesia. Suatu data yang tidak koheren dengan data sebelumnya, yang melihat banyak tidaknya terbitan buku berdasarkan asal kota terbitan terbanyak, bukan dari penerbit apa dan penulis asal dari apa.
Konteks data di atas juga dapat digugat mengingat urusan cetak mencetak dan penerbitan selama ini terlalu Jawa sentris, yang membuat varibel atau sudut pandang lain tidak relevan dengan cara pandang ini. Ada kemewahan tersendiri dari penulis-penulis dari luar Jawa jika karya tulisnya dapat lahir dari mesin penerbitan bertinta Jawa. Cara pandang seperti ini selain melegitimasi ketimpangan literasi yang terjadi selama ini, juga mencerminkan kemana keberpihakan pangsa pasarnya, yang notabene ikut menentukan kemana dan di mana naskahnya akan berlabuh.
Distribusi bahan baku semisal tinta, kertas, alat cetak, pasar dan penjualan buku, dan model promosi juga ikut menentukan jenis data yang dirilis Perpusnas di atas. Itu artinya, mengapa kota-kota Jawa dalam hal ini menempati urutan teratas dari segi terbitan buku, karena sebagai daerah pusat, penentuan harga semua itu jauh lebih murah dari kawasan Indonesia lainnya. Itu salah satu yang mendorong mengapa banyak orang yang melabeli diri sebagai penulis berbondong ingin menerbitkan bukunya melalui penerbit di Pulau Jawa. Variabel-variabel ini, dengan kata lain, tidak ikut terbaca melalui data bersangkutan dibandingkan fenomena permukaan yang tidak memberikan gambaran spesifik keadaan sebenarnya.
Itu artinya bagi saya, yang mesti menjadi perhatian utamanya adalah konteks statistik data di atas. Datanya tidak apple to apple, membandingkan badan penerbit dan kota-kota yang tidak setara dari segi ekosistem literasi. Jawa selama ini menjadi pusat dan yang lainnya pinggiran belaka. Wajar jika datanya menempatkan kota di Jawa di urutan di atas. Kalau saya menerima data itu tanpa melihat konteks yang lebih spesifik sama saja melegitim ketimpangan selama ini. Itu sama artinya kita mengalami bias pemaknaan yang terlampau sentralistik menganggap capaian kemajuan literasi hanya ditentukan melalui kemajuan kota-kota di Pulau Jawa itu.
Jadi sebenarnya posisi Makassar (Sulawesi) tidak parah-parah amat. Ini hanya soal seperti melihat kasus gelas setengah berisi. Ada yang cemas melihat gelas telah kosong setengah, ada yang melihat optimis gelas masih berisi setengah. Keadaan di lapangan jauh lebih dinamis dari data statistik yang hanya menyebutkan satu titik tahun 2021 saja. Itu juga belum dikuak penulis berdarah Sulawesi yang belajar bertahun-tahun hidup beranak di perantauan Jawa yang tercatat ISBN bukunya melalui penerbit label Ibu Kota. Atau penerbitan-penerbitan di Tanah Jawa yang dikelola orang-orang berdarah pedagang asal Bugis-Makassar? Atau penulis-penulis musiman di Sulawesi yang menerbitkan bukunya di lapak-lapak fotocopyan tanpa ISBN? Eh..!
Sumber gambar: https://myrepro.wordpress.com/2017/08/08/karaeng-pattingalloang-ilmuwan-muslim-dari-makassar/