Malam Hati dan Puisi Lainnya

Marga Berpeti

Suara tak kenal rupa

Bergema pada tiap tutur sapa

Namun mengusik tak apa

Hanya saja jangan berharap menyapa

Tak pernah kita meski kata berjumpa

Ketika kau tanamkan kenangan hampa

Sebut saja cerita kesakitan

Untuk tajamnya cacian

Meski abai adalah keinginan

Namun tuli tak kau sandangkan

Hanya gelar kau patrikan

Melekat bagai marga penolakan

Ketika rasa menyapa hati

Harapan terima tak lupa membuntuti

Namun sirna pada tatapan melucuti

Bahkan cinta tak berarti

Ketika rumah menggenggam belati

Untuk marga yang melekati

Dengar! Untuk kau yang menghadirkanku

Bolehlah kau siapkan petiku!

***

Pelayatmu

Mereka datang menyapa lelapmu

Seakan kau mengundangnya bertamu

Bertutur lembut, berbelas kasih

Padahal kau tak butuh

Kami saja yang meratapi

Kau acuhkan dan menyepi

Seolah senyum dan diam, menjamu

Terbujur kaku pilihanmu

***

Penjaja Nasi Santan

Keroncong panci memenuhi petak kecil

Bersautan bersama kokok ayam memanggil

Serta raungan pemilik kegelapan, berhasil

Jarum jam masih di sepertiga malam

Sosok ringkih sedang sibuk bersemayam

Di istana dapurnya mendekam

Harum bumbu memenuhi indra

Nasib penjaja nasi santan berbicara

Sekali lagi akan mengulang cerita

Fajar kembali menunggu berita

***

Bukan untuk Peduli

Kupejamkan mata dalam kegelapan

Meresapi dalamnya dingin malam merasukku

Saat mata buta, izinkan hati melihat

Logika benci keadaan namun jiwa tak menentang

Memaksakan senja saat hujan menyapa sore

Layaknya pengharapan tak kenal kenyataan

Berpikir salah pada sang mega

Nyatanya matahari turut andil meramaikan

Meneriakkan nama menjadi petaka

Lupa ada gema dalam ruang tak bercela

Menari tertawa dalam lekukan

Memaksa kerja setiap bagian tak bersalah

***

Dua Sisi Jalan

Terik sedang menguasai bentala

Kau duduk di batas jalan

Kurangmu kau jadikan perhatian

Seakan lemah bertumpuk pada jiwa

Matamu sayu yang disayukan

Rupamu sedang bertopeng kemalasan

Sedihmu tak lagi mampu digambarkan

Apatahlagi pikirmu yang melucutkan

Aku terpaku pada sisi terabaikan

Tubuh renta memikul perjuangan

Bulir lelah menyentuh sudut penglihatan

Sedang langkah tertatih masih berangan

Di manakah asa menemui tuannya?

Hadapku pada sisi permintaan

Bukan menarik keinginan

Hanya perih aku tujukan

Mengapa jalan aku di sepanjang kepedihan?

Telapak putih yang memalukan

***

Penikmat Baru

Tiap aku bersandang ke rumahmu

Kau suguhkan secangkir kopi hangat

Tapi mengapa?

Tak kau suguhkan pula

Senyum hangatmu yang meneduhkan rasa

Mungkinkah kau terpikat penikmat baru?

Bolehlah kau kenalkan padaku

Sang perebut cangkirku

***

Penarik Jalan

Kotak persegi beranyam bambu lusuh

Berjalan namun tak berkaki

Geraknya dari dia yang berpeluh

Tak luput pula langkah kecil mengikuti

Rongsokan yang tak tersyukuri

Menemani senyum bahagia sang dewi

Indahnya tidak pada paras biasa indurasmi

Namun pandangan yang mempermalukan keluh

***

Kemana Janjimu?

Ada nama pada secarik kertas lusuh

Berteman foto yang mulai memudar

Meramu kenangan menjadi luka

Bak racun berbingkai keindahan

Kata hanya sekadar pelipur lara

Es krim cokelat tak lagi semanis dulu

Lagu telah berubah menjadi tangis

Ketika gemuruh menggertak kejam

Langkahku tak seteguh pertemuan

Ku ketuk daun pintu cerita berasal

Namun yang ku temukan adalah undangan

***

IJABMU

Bintang tak menampakkan keindahannya

ketika hati sedang memanjakan perih

Sang bayupun bergerak sayu

seolah tahu lelah milik jiwa

Pohon berdaun kenangan

tak lagi sekokoh kesombongan

Janji tinggallah kata tak bernyawa

Bagaimana mungkin?

Teriknya sang penguasa siang

saksi bisu ijabmu

hanya saja,

tak kau peruntukkan untukku

Ketika rasa ku tempatkan

bertahta pada hati

Masihkah aku dapat pergi?

Cukup dengan utuh

***

Malam Hati

Mata nyalang memandang kesunyian

Jangan cari bintang yang enggan mempesona

Apatah lagi bulan yang bersembunyi

melenyapkan sinar megahnya

Kegelapan satu-satunya menemani

Layaknya hati yang sendiri

Berteman luka pada kepergian

Bersama cinta diatas nyaman

***

Kemelut Masa

Lembayung lagi meninggalkan cakrawala

Buih telah ribuan menyapa

Bak menenggelamkan sebagian cerita

Sedang jiwa dipenghujung asa

Langkah kaki melemahkan penungguan

Waktu mulai memupus pijakan

Namun bayangan bahkan tak menunjuk kehadiran

Bagai camar yang meninggalkan

Tak perlu menyebutnya

Tahta hati masih tetap meraja

Namun pertanyaan baik menghampiri rumah

Mengiringi kosakata teramat indah

Bagaimana aku menjawab?

  • Katakanlah: “Wahai Ahlul Kitab, marilah kita (berpegang) kepada kalimat yang sama (kalimat[in] sawa’[in]), yang tidak ada perbedaan antara kami dan kalian. Hendaknya kita tidak menyembah selain Allah dan hendaknya di antara kita tidak menjadikan sebagian yang lain sebagai tuhan selain Allah. Jika mereka berpaling, katakanlah, kepada mereka, ‘Kami adalah orang-orang yang berserah diri (muslimin).’” (QS…

  • Kami putra dan putri Indonesia mengaku bertumpah darah yang satu, tanah air Indonesia. Kami putra dan putri Indonesia, mengaku berbangsa yang satu, bangsa Indonesia. Kami putra dan putri Indonesia mengjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia. (Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928)   Sumpah di atas adalah bukti bahwa Indonesia sudah dibangun jauh sebelum Indonesia merdeka. Melalui sumpah…

  • Sejak semula kita meretas waktu, pertanda kita akan segera memulai kisah perjalanan sebagai manusia. Kisah monumental dan purba Nabiullah Adam, nenek moyang manusia telah memulai debutnya dalam mengarungi perjalanan hidup di permukaan bumi. Bahwa kejatuhan sering ditafsirkan sebagai kekalahan aql dari nafsu, yakni sebuah tafsir yang penuh dengan subjektivitas. Kenapa? Karena kejatuhan hanyalah merupakan akibat…

  • Gerilyawan pemberontak memasuki desa itu pagi-pagi sekali. Mereka membawa senjata, juga wajah yang murka. Langkah mereka tergesa menuju area persawahan. Di sana penduduk tengah menggelar upacara turun sawah, pertanda dimulainya musim tanam. Kali ini upacara digelar alakadarnya, lantaran sebelumnya telah ada perintah disertai ancaman dari gerilyawan untuk tidak menggelar upacara semacam itu. Gerilyawan menyebut ritual…

  • Surat kaleng yang terbilang sederhana ini begitu saja terlintas untuk aku tuliskan sewaktu pulang dari warung kopi. Keresahan yang bermula dari dominasi para ikhwan (laki-laki) yang buah pikirannya memenuhi hampir semua media cetak tulis. Meskipun beberapa terlihat coretan tangan dari kalian para ukhti (perempuan), tetapi tetap saja dominasi ikhwan–ikhwan ini menutupi suara-suara kalian yang minoritas…


Kala Literasi

Jl. Pa’ Bentengang No.6, RT.01/RW.08, Mangasa Kec. Tamalate, Kota Makassar, Sulawesi Selatan 90221