Hari ini, anak-anak sedang menikmati ulangan di kelas. Tetapi, di bagian lain sekolah, seorang anak di WC sedang panik dan khawatir: celana yang dipakainya terkena noda Tipp-Ex—banyak sekali. Dengan sedikit usaha, dia membersihkannya sendiri, tapi tak cukup. Melihat saya yang berjalan ke ruang guru, dia memanggil, menceritakan keluhannya. Saya coba membujuknya untuk masuk ke kelas dulu, menyelesaikan ulangan, baru lekas pulang untuk dicuci di rumah. Tapi bujukan saya justru dibalas sedu sedan, dengan suara parau dia bercerita, “Tidak mau, Pak. Saya takut dimarahi ibu.” Sembari butiran air mata, jatuh menuju pipinya yang resah.
Jujur, saya membujuknya karena tak tahu harus melakukan apa. Saya bisa saja memasang muka sangar dan memaksanya masuk kelas, tapi saya bukan tipikal orang macam itu. Kami berhadap-hadapan sejenak dalam diam—laiknya pasangan muda mudi yang lagi marahan. Saya coba meyakinkan, bahwa ibunya tidak akan marah. Tapi jawaban yang saya terima sama saja: ibu pasti marah, karena celana ini baru dibeli Ramadan lalu, katanya. Saya coba maklum, dan tidak memintanya lagi masuk kelas. Ada yang lebih penting dari ulangan, yaitu perasaan si Anak.
Dengan berbekal gawai, saya menjelajah peramban, mencari tahu cara menghilangkan noda Tipp-Ex. Hasilnya nihil. Saya kemudian teringat sabun cuci tangan di kantor, karena nodanya masih basah, barangkali masih belum terlambat untuk membersihkannya menggunakan sabun. Saya memintanya untuk melepas celana, karena rasanya sungguh aneh membersihkannya, kalau dia sambil memakai celana itu. Apatahlagi nodanya tepat berada di selangkangan. Saya khawatir dituduh macam-macam—takut dikira penganut aliran Saiful Jamil. Setelah melepas celana, saya memintanya “bersembunyi” di dalam WC. Pasalnya, saya tidak ingin dia dengan kondisi setengah telanjang jalan-jalan di sekolah. Dia tidak keberatan. Bersembunyi di WC, tidak ada apa-apanya tinimbang dimarahi ibu, mungkin begitu pikirnya.
Singkat saja, saya kemudian menuangkan sabun dan menggosok sekuat tenaga. Rasa-rasanya, celana saya pun tak pernah saya cuci sekhusyuk ini. Syukurlah, noda putihnya makin berkurang. Membikin saya makin khidmat menggosok. Hingga pada titimangsa tertentu, saya merasa gosokan saya sudah maksimal. Menggosoknya lebih keras, akan membikin celananya robek. Itu tentu akan membikin lebih ribet lagi. Soalnya untuk urusan menjahit, saya tidak bisa. Noda Tipp-Ex masih menyisakan bekas, tapi tidak separah tadi. Ketika saya perlihatkan ke anak, dia mengangguk setuju. Celana saya jemur, lalu saya serahkan lagi untuk dipakai seraya berdoa setengah yakin, “Semoga ibumu tidak marah.”
***
Ketakutan dimarahi dalam diri anak tak jatuh dari langit. Ia adalah buah busuk, dari pohon yang tumbuh, di tanah relasi dan komunikasi yang gersang. Di mana keduanya tak pernah berada dalam posisi egaliter. Orangtua selalu saja sebagai pihak superior, anak sebagai pihak inferior; orang tua yang selalu merasa benar, dan anak selalu salah; orangtua yang menjadi hakim, sedang anak selalu dalam status terdakwa. Relasi ini jika terus berlanjut, maka hanya akan menyisakan trauma bagi anak: fisik dan mental. Cerita di awal tulisan hanyalah satu contoh.
Mungkin, sebagian kita meyakini kurang sahih rasanya jadi orangtua, jika tidak marah kepada anak. Seolah orangtua memang ditugaskan oleh Tuhan untuk itu. Atas dalih mendidik, marah hingga mendidih seolah dipandang sebagai sesuatu yang lumrah. Padahal ini, justru menunjukkan kegagalan sebagai orangtua.
Dalam bukunya Metamorfosis Ibu, Mauliah Mulkin mengatakan bahwa orang tua yang mudah marah, terjadi karena kemampuan berkomunikasi dan bernegosiasi yang minim dengan anak. Hal ini diperparah dengan kondisi kejiwaan dan fisik yang letih sepulang bekerja, atau setelah seharian bergelut dengan tugas domestik, yang membuatnya butuh beristirahat, dan mengharapkan suasana kondusif. Bebas dari “gangguan” anak.
Lebih jauh, Kak Uli—sapaan akrab Mauliah Mulkin—menduga penyebab lainnya, yaitu karena orang tua mungkin hanya tahu satu-satunya cara mudah dan cepat, mengendalikan perilaku anak, adalah dengan memarahi mereka. Dan itu seringkali berhasil. Nahasnya, yang tidak disadari, luka di hati anak akibat marah, bisa menjelma trauma, yang dibawa hingga dewasa. Mungkin pula diwariskan ke generasi setelahnya. Hingga menjadi lingkaran setan.
Harus diketahui, anak yang berkali-kali dimarahi orangtuanya, cenderung menjadi anak yang kurang percaya diri dan emosional. Dalam beberapa kasus, anak-anak pun menjadi lebih mudah meledak kemarahannya, bahkan untuk hal-hal sepele. Dalam The Anger Habits in Parenting, Carl Semmelhort mengingatkan, bahwa sekali kemarahan ditanamkan dalam keluarga, maka frekuensi dan intensitasnya akan terus membesar. Sedikit demi sedikit.
Olehnya, rantai kemarahan mesti diputus sejak dini. Memang tidak mudah, tapi minimal frekuensinya makin lama makin sedikit. Hingga akhirnya, hilang sama sekali. Dibutuhkan kemauan dan usaha yang keras. Toh literatur yang mengabarkan cara mengatasi amarah sudah banyak bertebaran. Sisa dipraktikkan secara konsisten dan persisten. Yang repot jika orangtua tidak mau berubah. Lebih suka marah tinimbang menjadi ramah.
Mari kita merenungi surat dari seorang anak pada orangtuanya, sebagaimana saya sadur dari situs kepengasuhan, theasianparent.com.
Ayah dan Bunda berkomunikasi denganku dan juga berhubungan denganku melalui banyak cara, lebih banyak dari yang Ayah dan Bunda sadari.
Dengan matamu, saat kau melihat gambar ikanku yang berharga.
Dengan telingamu, ketika kau mendengarkan aku menyanyi tentang kadal.
Dengan sentuhanmu, apabila kau memberiku pelukan selamat malam, dengan pelukan yang erat untuk kesebelas kalinya.
Dengan suaramu saat kau memberitahuku betapa kau mencintaiku apa adanya.
Perhatianmu laksana obat bagiku. Aku mendambakan secara terus-menerus. Aku akan menerima apa pun pengakuan yang bisa kudapat, kapan pun itu.
Tapi aku ingin kau tahu bahwa reaksimu tidak selalu apa yang aku cari.
Aku mungkin merecokimu dengan gambar kehidupan laut, saat kau punya hal penting untuk dicari di internet.
Mungkin aku membuatmu kesal dengan lagu baruku, saat kau sedang bicara di telepon.
Mungkin aku membuatmu terganggu ketika aku meminta satu pelukan lagi untuk membantuku menghadapi malam yang panjang dan gelap.
Mungkin aku membuatmu frustrasi saat aku tidak mendengarkan permintaanmu untuk diam karena aku terlalu asyik menjadi anak-anak.
Lalu kau berteriak padaku…
Tapi aku masih kecil, dan aku masih belajar bagaimana caranya terhubung denganmu. Aku ingin melakukan yang terbaik semampuku, aku mati-matian berusaha menyenangkanmu.
Jadi aku mohon padamu…
Tolong jangan berteriak padaku
Karenan lengkingan suaramu membuatku bersembunyi ke dalam diriku, di mana aku merasa tenang dan aman. Di tempat paling dalam, di mana kata-katamu tak bisa menyentuhku.
***
Saya sadar diri, rasanya memang tidak adil. Saya yang notabene belum menikah berbicara hal-hal seperti ini. Mungkin ada di antara pembaca yang berpikiran bahwa saya bicara “sok menggurui” karena belum mengalami. Sehingga cenderung menggampang-gampangkan sesuatu yang kompleks. Tapi sungguh, saya bicara dalam konteks pengalaman saya, sebagai anak yang pernah dimarahi—orangtua dan orang dewasa. Juga sebagai guru yang kadang mendengar cerita “pilu” seperti keluhan murid saya di atas.
Saya meyakini hal-hal sederhana, bahwa tak harus menjadi orangtua untuk bisa bicara perihal anak. Cukup menjadi manusia. Karena anak-anak berada di sekeliling kita. Dan kita berada di tengah anak-anak. Dalam sosialisasi itu, sudah seyogianya hubungan dipulihkan. Bahasa dihaluskan. Dan cinta diperlihatkan. Anak-anak adalah generasi kita di masa depan. Sedang, kini dan nanti, amarah tak pernah menyelesaikan apa-apa. Dalam sejarah, di mana pun, hanya cinta yang sejukkan dunia.
Cinta pertama anak adalah orangtuanya, dan bukankah luka dari cinta pertama selalu menyisakan duka?
Sumber ilustrasi: hits.suara.com