Tukang Sampah atawa Petugas Kebersihan

“Hari ini mengaduk sampah. Esok lusa akan menuai pupuk. Sampah diri pun bila diolah, akan jadi energi kehayatan.” (Maksim Daeng Litere, 210420)

Bagaimana selaiknya memperlakukan pengurus sampah? Mungkin pertanyaan tidak penting bagi sebagian orang. Apatah lagi jika sudah ada personil profesionalnya, secara rutin mengurus, mulai dari mengambil di rumah warga hingga ke tempat pembuangan akhir. Dan, lebih dari itu sudah ada imbalan gaji, plus mendapatkan keuntungan sampah sebagai bahan daur ulang. Nilai rupiahnya cukup menjanjikan.

Dari sekian banyak warga, mungkin saya salah seorangnya, ingin memperkarakan pengurus sampah. Mau mengacuhkannya, selaku makhluk paling berharga dalam siklus bermasyarakat. Satu pertanyaan sederhana saja, kalau saja pengurus sampah tidak ada, atau ada pengurusnya, tapi berhalangan beberapa hari, mau bilang apa anta?

Pangkalnya, sederhana saja. Di mukim saya, tatkala tidak pigi-pigi ke luar kota, biasanya urusan sampah, saya coba tangani. Paling tidak, membawa ke depan mukim, sebelum pengurus sampah menjemputnya. Sampah-sampah sudah tersortir dalam tiga katagori. Basah dan kering (kertas, kardus, dan plastik).

Nah, sekali waktu, pasangan saya meminta agar membawa sampah ke depan mukim. Saya lihat, sampah kemarin belum terangkut. Saya pun bertanya padanya, kenapa tukang sampah tidak datang? Bukannya dijawab,malah mengoreksi kata-kata saya. Tak baik bilang “tukang sampah”, sebaiknya gunakan kata-kata “petugas kebersihan”.

Semula, koreksinya saya mau perbalahkan. Namun, saya diam, lalu mengkhusyukkan diri, memaknai dua lema tersebut, tukang sampah atawa petugas kebersihan. Sejurus pilihan menohok pikiran, menghujam di batin. Satu cermin diri, buat berkaca di kejernihan dan kebeningan.

Memangnya, ada apa dengan dua penggalan kata itu? Maksudnya mungkin sama. Hanya akhlak memanggil pembedanya. Bukankah kesempurnaan seorang manusia ada pada akhlaknya? Bahkan, diperlukan seorang Nabi buat menegaskannya.

Sampah sering dikonotasikan dengan kotor. Tukang sampah, berarti tukang yang mengurus kotoran. Jorok, bau, dekil, dan sederet stigma lain. Buntutnya, tukang sampah menjadi serupa dengan pekerjaan kaum rendah. Kadang tidak dibutuhkan ijazah, cukup seseorang mau berkotor-kotor, lalu dapat imbalan gaji. Perlakuan terhadapnya pun terkadang kurang baik.

Sesarinya, tukang sampah, secara substansial memproses dari sesuatu yang kotor menuju bersih. Dialah mata rantai penentu berubahnya posisi dari tak bernilai mewujud bernilai tinggi. Kotor ke bersih. Sangat layak didapuk sebagai petugas kebersihan. Maka perspektif terhadapnya ikut berubah. Memandang pengurus sampah selaku sosok pembersih.

Cobalah singkap perubahan sikap ini. Akan lahir perlakuan pada pengurus sampah, bermetamorfosis sebagai petugas kebersihan. Memandangnya dalam suasana bersih, senyum selalu merekah, sapaan manusiawi mengemuka, penghormatan meninggi. Sudahkah kisanak dan nyisanak, tersenyum lalu menyapa, serta menghormatinya?

Jangan karena pekerjaan pengurus sampah tak berpendidikan tinggi, nyaris tak perlu ijazah, sehingga menyepelekannya. Apatah lagi berbanding lurus dengan penghargaan terhadap seorang berpendidikan tinggi, profesinya penuh tuntutan ijazah meski minim tuntunan. Profesi mentereng, tapi penghasil sampah terdepan.

Posisi sosial bagus, tapi buang sampah di sembarang tempat. Berpendidikan tinggi, walau sering menggerutu pada pengurus sampah. Manusia degil, sudah menghasilkan sampah, mengumpat pula. Paripurna sudah sepak terjangnya, memproduksi sampah, baik sampah jasmani maupun rohani.

Jagat sampah, mungkin bisa dijadikan analogi buat diri, kala diri kotor. Setiap diri berpeluang menjadi kotor: dosa. Jika berdosa, maka diri bersampah. Meninggalkan keburukan menuju kebaikan, sepadan dengan berjalan dari kotor ke bersih, setara maksud bersafar dari gelap ke cahaya.

Daeng Litere bertutur, dalam buku Maksim Daeng Litere, pada kode 220420, “Suluknya sampah, berkelana dari kotoran mewadak pupuk. Waima diri bersampah, bila safar niscaya sua takdirnya.” Mungkin takdir yang dimaksud, hadirnya seorang anak manusia sebagai makhluk citra ilahi. Sebentuk makhluk spiritual yang punya pengalaman memanusia.

Jika mendefinitkan pengurus sampah masih sebagai tukang sampah, maka diri pun belum berjalan. Diri sedang selaras dengan sampah. Lagi bersampah. Seperti stagnannya hamba sahaya, seonggok tanah lumpur yang belum terhidu ruh ilahi. Gelap bin nircahaya.

Padahal, Daeng Litere telah menegaskan di kode 190420, “Sahaya bersafari dari bahaya menuju cahaya. Hanya tiga kata. Sahaya-bahaya-cahaya.” Kegelapan hamba sahaya, penuh bahaya. Hanya cahaya kebutuhannya. Bermetamorfosis dari bahayanya kegelapan sahaya, menuju citra cahaya ilahi, demi bercahayanya kehidupan, untuk segenggam energi kehayatan.

Terkait safar spiritual atau perjalanan rohani, seorang penulis produktif kelahiran Inggris, Helen Luke, menyodorkan seikat quote, “Mencapai kesadaran bukanlah semacam penemuan baru; hal itu merupakan perjalanan kembali yang panjang dan menyakitkan, dan memang demikianlah perjalanan itu, dari dulu.”

Muncullah Mark Nepo, menerangkan maksud Luke, tersaji dalam bukunya, Kitab Kebahagiaan, setiap orang dengan titik tanpa beban—bebas dari: pengharapan, penyesalan, ambisi, rasa malu, ketakutan, dan kecemasan—titik pusat kasih, tempat setiap orang disentuh Tuhan untuk pertama kalinya.

Tempat sentuhan itu, beraneka istilahnya. Psikolog menyebutnya sebagai Psyche, teolog memaksudkannya serupa Jiwa, begawan Hindu mengatakannya selaku Atman, pengikut Budha menabalkannya sebentuk Dharma, Yesus menyabdakannya semacam Pusat Kasih, dan para sufi memadahkannya seturut Kalbu.

Memahami titik sentuhan, berarti mengenal diri. Bukan penanda permukaan, tiada pula sejenis identitas profesi, semisal di mana bekerja, apa yang dikenakan, atau bagaimana ingin disapa. Melainkan tempat merasakan hubungan dengan Yang Mahakuasa. Bila titik ini tersingkap, maka akan tiba pada pencerahan, dan bermuara di kesempurnaan selaku manusia terhidu cinta ilahi. Demikian tafsiran Nepo.

Seseorang mulanya hanyalah sampah, lalu menemukan titik sentuhan. Arkian, Tuhan menghidunya, ia pun mewadak sebagai pupuk kehidupan, mempersembahkan energi kehayatan.

Bergumul dari tukang sampah menuju petugas kebersihan, baik sebagai objek pengurus sampah, maupun selaku subjek yang berempati. Setidaknya, tindakan awal mengubah cara memanggil—tukang sampah menjadi petugas kebersihan—sebab sudah menandakan cara hidup bercitra ilahi.

Ilustrasi: kpantherrka.blogspot.com

  • Dalam satu dasawarsa terakhir, Kabupaten Bantaeng telah tampil sebagai barometer gerakan literasi, khususnya di Provinsi Sulawesi Selatan. Ketika kata “literasi” belum sepopuler hari-hari ini, pegiat literasi di Bantaeng sudah bergerilya menyebar benih gerakan literasi yang kini sudah tumbuh subur. Langkah-langkah gerilyanya ketika itu berupa pelatihan kepenulisan, diskusi buku, dan lapak-lapak baca. Di kemudian hari, langkah…

  • Adelio membuka mata ketika menyadari ombak Perairan Cempedak mengombang-ambing tubuhnya. Ia melihat ke bawah dan mendapati kedalaman laut yang tak terhingga. Ia mendongak ke langit, semburat cahaya matahari baru saja hendak menyapanya dari ufuk timur. Ia baru saja menyadari bahwa dirinya telah mengapung semalaman di tengah laut setelah mendapati sebagian kulitnya yang mulai mengeriput. Ia…

  • Buku terbaru Sulhan Yusuf, Gemuruh Literasi: Sederet Narasi dari Butta Toa boleh dibilang sebagai pembuktian, jika usia bukanlah aral melintang bagi seseorang untuk produktif dalam berkarya. Tapi, insight yang diwedarkan Gemuruh Literasi sebenarnya lebih dari itu. Buku ini adalah jawaban bagi rasa penasaran sebagian orang yang hendak mengetahui gerakan literasi Sulhan di Bantaeng. Kerja-kerja kultural yang…

  • Judul tulisan ini saya pinjam dari ungkapan Profesor Cecep Darmawan—dosen saya ketika studi magister beberapa waktu lalu. Beliau guru besar yang egaliter dan seringkali tampil di publik (media dan forum) untuk berbagi gagasan dan pencerahan. Seingat saya ungkapan itu beliau sampaikan saat kami kuliah “Pendidikan Politik Generasi Muda”. Saya terkesan dengan ungkapan itu, selain indah…

  • Membicarakan suatu topik, dalam hal ini filsafat Islam, maka rasa-rasanya kurang afdal apabila tidak memasukkan nama al-Ghazali di dalamnya. Akan tetapi bila seseorang mau menempatkan al-Ghazali dalam sejarah filsafat Islam, tentu ia harus membuat beberapa catatan. Poin utamanya bahwa al-Ghazali tidak menganggap dirinya filosof dan tidak suka dianggap sebagai seorang filosof. Ini tak hanya menjelaskan…


Kala Literasi

Jl. Pa’ Bentengang No.6, RT.01/RW.08, Mangasa Kec. Tamalate, Kota Makassar, Sulawesi Selatan 90221