Setidaknya, beberapa kali dalam fase kehidupan. Kita mungkin pernah berpikir hidup jauh dari rumah. Jauh dari kampung halaman. Bukan karena rumah tak lagi ramah, atau kampung tak lagi menawarkan kenyamanan. Kita hanya ingin pergi saja, melakukan perjalanan ke sebuah tempat, di mana kita tak mengenal orang-orang, juga tak dikenal oleh mereka. Memulai hidup dari awal. Tak ada gawai, media sosial, dan kebisingan lainnya. Kita ingin hidup dengan diri sendiri saja, mengenalnya lebih dekat.
Rasa-rasanya, selama ini kita semakin jauh saja, tak lagi bisa menemukan sari diri. Justru, di saat kita benar-benar membutuhkannya. Masa di mana semua hal terasa begitu hambar, miris, dan melankolis.
Akuilah! Kita sering lelah dengan kehidupan, pada kemunafikan orang-orang—juga kemunafikan diri sendiri. Dalam sehari kita bisa berganti topeng sekian kali, hanya untuk terlihat baik di mata orang lain.
Di media sosial, kita bisa menjelma apa saja dan siapa saja, kecuali diri sendiri. Sebab, barangkali diri yang sebenarnya tak disukai orang lain, sedang kita sungguh membenci itu. Selalu ada hasrat dalam diri manusia untuk disukai dan diakui. Walau nisbi dan rapuh. Padahal, sisi jujur itulah mungkin satu-satunya hal yang membuat kita nyaman dan bahagia. Tapi kita lebih suka berbohong untuk disukai, dari pada jujur demi kebahagiaan diri.
Dalam banyak kasus, perasaan begini sungguh tak enak. Kita mesti berkali-kali menjadi “munafik” hanya agar diterima orang lain. Tak mau mengatakan “tidak”, bahkan untuk hal-hal yang memberatkan dan merepotkan diri. Kita sungguh takut mengecewakan, justru di saat orang lain begitu tega berlaku semena-mena. Memerintah ini dan itu atas dalih minta tolong.
Barangkali Sartre benar, “Hell is other people.” Orang lain adalah neraka. Manusia tak pernah dalam posisi egaliter dan saling memahami. Yang satu selalu berstatus “menindak”, lainnya berposisi “ditindak”. Manusia jenis ini, sebangun dengan pandangan Sartre yang memosisikan orang lain di bawah dirinya. Yang di atas memakan yang di bawah. Tak heran jika homo homini lupus, manusia adalah serigala bagi sesamanya, kian menggema di kekinian. Dalam bahasa Jalaluddin Rakhmat, kita menjadi modern dengan mengorbankan nilai-nilai kemanusiaan. Demikianlah adanya. Begitulah faktanya. Dalam terungku modernitas, manusia menjadi individualistik. Gagap memanusiakan manusia.
***
Haruskah kita melawan modernitas? Apakah menolak modernitas berarti menolak kebaruan? Apakah baru selalu bermakna baik? Itulah teka teki yang seringkali berkelebat di kepala. Yang selalu merindukan jawaban.
Di kekinian, modernitas yang diciptakan manusia, justru membenamkannya sendiri pada kegamangan hidup. Terbebasnya manusia dari mitos-mitos zaman purba, justru menariknya ke dalam mitos-mitos baru bernama modernitas. Kita tidak akan dianggap cantik jika tidak putih. Tidak ganteng jika belum punya perut kotak-kotak macam Roti Maros. Kita tidak akan bahagia jika belum punya ini dan itu. Modernitas memproduksi semua mitos-mitos itu. Dan, sialnya kita mengamininya tanpa sikap kritis sama sekali. Akhirnya kita kehilangan diri sendiri. Kadang kamajuan dan kejumudan bedanya amat tipis. Lagi dan lagi. Manusia lupa menjadi manusia.
Manusia modern hidup dalam pusaran krisis identitas. Tak mampu lagi mengenali dan menerima dirinya sendiri. Padahal, dulu, kini, dan nanti, penerimaan diri akan tetap sama. Menjadi diri sendiri, berarti siap tidak disukai. Mencintai diri, adalah berani mengatakan “tidak”. Mengakui diri berarti mau menanggung risiko apa pun. Itu adalah pilihan sadar yang seyogianya tidak bisa dimanipulasi dan didikte siapa pun.
Sayangnya bagi sebagian kita, menjadi diri sendiri bukanlah pilihan mudah. Tak selalu mudah. Terdengar ironis dan paradoks memang, tapi jika menjadi diri sendiri adalah semudah mengatakannya, manusia pasti akan memilih menjadi diri sendiri, iya kan? Kehidupan “modern” boleh membenci kita karena itu, tinimbang melakukan sesuatu yang berlawanan dengan keyakinan sendiri. Seringkali, apa yang kita anggap baik, tak dipandang baik oleh orang lain. Sedang kita selalu kalah dalam pertarungan itu. Kita lelah berpura-pura. Lelah mengalah. Lelah sekali.
Hidup seperti ini sungguh tidak enak. Rasa-rasanya semakin kita melangkah ke depan, semakin muram pula kehidupan. Waktu tak menawarkan apa-apa, kecuali perasaan lelah, usia yang bertambah, dan hati yang makin gundah.
Kita benar-benar merasa terasing, terkucil, dan kecil. Dalam ikhtiar menjadi manusia, justru kita kehilangan hal paling esensial: diri sendiri. Barangkali Eric Form benar, kita telah menjadi manusia automotan. Manusia yang terlanjur terjebak dalam rutinitas yang mengaburkan identitas. Menjadi manusia robot. Kita adalah robot. Lebih robot dari robot itu sendiri.
Dalam konteks lain, kita coba memanusia dengan memutus hubungan dengan orang-orang dekat. Lalu berusaha menjalin hubungan dengan orang-orang jauh. Kita berharap bisa menemukan kehidupan lebih baik di dunia maya yang sebenarnya berbahaya. Bisa menemukan ketenangan pada musik yang sejatinya berisik. Atau menghidu kebahagiaan di mal yang hakikatnya mahal. Tapi di sana tak ada apa-apa. Kebahagiaan tak dapat tumbuh di tempat kering.
Kini, kehidupan jauh lebih mudah karena modernisasi, katanya. Tapi kemudahan bukan berarti kebahagiaan. Teknologi membikin kita punya banyak waktu luang, tapi mengapa kita lebih sering merasa kekurangan waktu? Lebih banyak hiburan yang bisa kita nikmati, tapi bukanlah itu justru menegaskan tingkat stres yang dialami? Kita lebih banyak tertawa dengan segala hiburan itu, tapi sangat sedikit kebahagiaan yang bisa diresapi. Senyum hanya terasa di bibir, tapi tak pernah menyentuh hati. Lebih banyak foto, tapi hanya sedikit sekali momen yang dinikmati. Begitulah paradoks kehidupan modern.
Noval Yuah Harari, dalam Sapiens: Riwayat Singkat Umat Manusia dengan gamblang menjabarkan bahwa revolusi pertanian merupakan bencana mengerikan, bagi sebagian hewan yang diproduksi. “Keberhasilan” evolusi secara kuantitatif mereka tidak bermakna sama sekali. Badak yang langka dan hampir punah itu, barangkali hidup lebih bahagia dibanding sapi yang menghabiskan waktunya dalam kandang untuk menghasilkan daging lezat. Sedang, dalam asumsi saya, keberhasilan revolusi industri 4.0 justru menjadikan kita macam sapi-sapi dalam kandang yang kehilangan kebebasan dan kebahagiaan. Barangkali, justru orang utan di Kalimantan itu lebih bahagia tinimbang manusia yang kehilangan sari diri.
Maka, mari lepaskan headset di telinga kita, simpanlah sekejap telepon genggam itu, nikmati waktu sebaik-baiknya, masukkanlah senyum ke hati kita dan orang sekitar, sapalah teman duduk di samping kita, kurangi berfoto dan nikmatilah momen itu, peluklah orang-orang yang kau sayangi, cobalah memahami orang lain. Waktu terbaik adalah kini. Mulailah menjadi manusia kembali.
Ilustrasi: pinterest.com