Sebelum membaca tulisan ini lebih lanjut, jika saja tertarik. Lakukanlah percobaan sederhana ini! Di tempat kamu sekarang, cobalah melihat sekeliling, adakah kucing yang sedang kamu lihat? Atau kalau tidak ada, cobalah mencari kucing. Lalu lakukanlah ini, tatap kucing itu selama semenit. Apakah ia balas menatap? Atau mengeong? Atau mencoba pergi? Selanjutnya, pikirkanlah judul tulisan buku ini, Jika Kucing Bisa Bicara dan Esai-Esai Lainnya.
Bagaimana? Apakah sudah ada kalimat yang sekiranya mampir di kepalamu dari seekor kucing? Kalau belum, satu hal yang akan kamu ketahui terlebih dahulu, kamu miskin imajinasi, hehe. Canda, miskin. Maka ada baiknya kamu melanjutkan membaca review ini, dengan harapan kamu akan membaca buku ini dan buku-buku lainnya.
Bagi kamu yang telah mendapatkan ilham sebentuk imajinasi, mari kita lanjutkan imajinasi itu. Saya membayangkan kucing kami si Mirah akan berkata, “Tenang, rahasia kalian akan aman bersamaku”. Bagaimana tidak, si Mirah, kucing kampung jantan (bahkan, kucing pun punya kampung!) senang sekali ikut nimbrung mendengar orang-orang ngobrol. Jika ia sendirian di entah ruangan mana di rumah kami. Ia akan mencari sumber suara, lalu duduk di depan kami dengan posisi setengah berbaring dan mendengarkan, bahkan sampai ia tertidur. Mungkin ia merasa apa yang kami obrolkan tidak bisa pula ia imbangi, kemampuannya hanya sebatas mendengarkan. Kemampuan yang sangat jarang orang miliki.
Sebelum mengajak kamu untuk merasa yakin membaca isi buku ini, saya ingin menceritakan pertemuan saya dengan buku ini. Mengutip perkataan Adjie Santosoputro, panutan dari kawula muda yang sedang quarter life crisis, penulis dari buku, Mengheningkan Cinta, “Enggak ada pertemuan yang kebetulan. Justru di setiap pertemuan, selalu ada pesan dan alasan kenapa pertemuan itu tak terhindarkan.”
Berikut adalah kebetulan-kebetulan yang saya pikirkan, endapkan, hingga hikmah pun bisa dipetik.
Kebetulan pertama
Kebetulan bapak saya atau saya akrab panggil Abi selaku editor di buku ini. Saya mendengar informasi dari “orang dalam” dari kebetulan itu, jika ada anak kelas menulis yang akan menerbitkan bukunya. Kumpulan esai dari tulisan-tulisan di Kalaliterasi.com. Percakapan itu berupa potongan-potongan pembicaraan tentang judul buku ini hingga perencanaan terbitnya.
Kebetulan kedua
Masih kebetulan juga saya mendengar dari percakapan via handphone dan masih pula, itu hasil dari potongan percakapan. Si penulis “mengeluh” jika banyak yang ingin diberikan buku perdana yang ia lahirkan, walaupun pada saat itu belum di-aqiqah. Si editor-konsultan-penasehat-mentor, atau kita sebut saja si bapak paket komplit nan hemat, menyarankan jika ada baiknya karena buku tersebut dicetak terbatas, maka buku yang diberikan benar-benar untuk orang yang tepat. Setidaknya buku itu memang akan dibaca. Syukur-syukur bisa dipertukarkan dengan hasil bacaan buku ini. Tapi, dasar si penulis adalah tipikal people pleasure, demikian pengakuannya yang ia legitimasikan melalui tulisannya. Buku-bukunya sepertinya telah habis ia bagikan, seumpama kupon undian.
Kebetulan ketiga
Melanjutkan kebetulan kedua, saya menyarankan kepada si bapak editor, jika ada baiknya setiap orang yang meminta buku itu, mustilah menjanjikan sebentuk review buku. Hitung-hitung sebagai hadiah, penggembira hati si penulis. Namun, kata si bapak editor, mengingat iklim literasi di kampung belum se-massive di kota, sulit untuk membuat orang-orang mau menukarkan pemberian buku dengan hasil tulisan mereka.
Kebetulan keempat
Entah apa yang merasuki diri saya yang sedang senang bermalas-malasan untuk menulis, malah menggerakkan jempol mengetikkan saran dari kebetulan ketiga itu langsung kepada penulis.
Kebetulan kelima
Menanggapi kebetulan keempat, si penulis pun menciptakan kebetulan kelima. Ia menyisakan satu biji buku, melihat ada seorang anak nan polos bisa ia berikan dan dipertukarkan dengan bentuk review. Peluang ini pun ia lakukan secara gesit! Alhasil, buku sebiji itu pun sampai di pagi hari, dibawakan langsung selagi hangat oleh sang editor. Dengan titipan ucapan, “Untuk Miss Aqilah, ditunggu review positifnya, ya.” *insert emoticon smile, dan diakhiri dengan ucapan selamat membaca.
Itulah sekumpulan kebetulan dari pertemuan saya dengan buku ini. Marilah kita ulas secara jujur dan penuh suka cita isinya. Sebelum itu, saya hendak menitipkan kepada calon pembaca, “Barangkali saja esai-esai dalam buku ini ada kebetulan-kebetulan yang memang untukmu.” Sama halnya yang saya rasakan ketika membaca buku ini. Mengutip perkataan Gobind Vashdev dalam buku, Happiness Inside, “Bukan kejadian yang mengubah seseorang, tapi orang tersebut yang mengubah dirinya sendiri dengan mengambil sesuatu pelajaran dari kejadian itu. Begitu pula bukan buku atau orang lain yang mengubah seseorang. Namun, pelajaran yang diambil dari buku yang dibaca atau orang lain yang ia kenalinyalah yang mengubahnya.”
Buku ini terbagi atas lima bagian (kependidikan, kedirian, kemasyarakatan, keberagaman, dan keliterasian). Bagian kedua menjadi hal pertama, saya memulai penjelajahan. Entah mengapa, ketika membaca bagian ini, saya begitu relate. Sangat cocok dengan backsound tiktok, relate gak? Relate-lah! Haha. Membacanya seperti saya diberitahukan jika saya tidak mengalami itu sendirian. Walaupun di luar sana, sebagian manusia yang sedang berusia 25-30 tahun pasti akan merasakan hal ini juga. Rasanya dengan membaca bagian ini, kita tahu ada teman yang juga sedang berusaha menjalani hal itu dengan sebaik-baiknya. Bagian ini terdiri dari 10 esai. Cukup sulit untuk menentukan esai mana, menjadi favorit saya.
Bagian selanjutnya, saya membaca bagian kependidikan. Di bagian ini pula, saya masih merasakan, jika esai-esai yang terdiri dari 11 ini telah menjadi teman saya. Terkhusus teman berpikir. Hal paling menyenangkan dari bagian ini, ada suatu kisah tentang seorang anak meminta maaf kepada guru. Ia meminta maaf dengan penuh kesadaran, hasil dari refleksinya sendiri. Bukan karena kewajiban ataupun paksaan. Di bagian ini, bagi orang-orang macam saya yang terkadang pesimis dengan pendidikan di Indonesia, akan merasakan cahaya ilahi. Pencerahan. Di luar sana, ada manusia-manusia sedang bergerak secara pelan namun konsisten untuk suatu perubahan. Dan itu adalah suatu kabar baik.
Teruntuk esai, “Jika Kucing Bisa Bicara”, karena esai itulah saya berjanji tidak akan rasis dengan kucing hitam walau terlihat keji yang datang untuk makan bersama si Mirah dan esai tentang bunga, telah membuat saya sadar jika hendak memetik daun mati, akan begitu pelan, karena tahu bunga itu bisa saja sedang menahan sakit.
Esai “Tentang perundungan: Belajar dari kasus Ferdian dan Rizal”, membuat kita memikirkan kembali kemanusiaan dan timbullah pertanyaan, tipe manusia apa kita? Esai “Layang-Layang, Kenangan dan Kasih Sayang”, menarik kita untuk datang ke Bantaeng dan melihat secara langsung, dengan membawa harapan lebih tinggi akan menerbangkan layangan. Esai terakhir dan menjadi favorit saya ialah, “Pada Sederet Ketika di Semesta Paradigma”, merupakan cerita personal untuk memahami proses si penulis dalam menemukan dirinya di antara kata. Teruntuk esai-esai lainnya, saya sedang menikmatinya
Terakhir, kepada calon pembaca buku ini. Pertemuanmu dengan tulisan ini percayalah tidak sia-sia. Apakah akan menjadi lesson or blessing? Sila dipilih dan dinikmati dengan americano. Kepada penulis, terimakasih telah membuat buku ini menjadi kawan baru saya. Kawan yang sepi namun setia, siapa lagi selain buku? Selamat membaca dan semoga kalian tergugah untuk membelinya!
Judul Buku: Jika Kucing Bisa Bicara dan Esai-Esai Lainnya. Penulis: Ikbal Haming. Penyunting: Sulhan Yusuf. Penerbit: Liblitera dan Boetta Ilmoe-Rumah Pengetahuan, Oktober, 2021. Tebal: xvi + 255 hal. Ukuran: 14 x 21 cm. ISBN: 978-602-6646-38-5.