Bulan melompat
Dalam arus Sungai Besar…
Mengapung dalam angin,
Menyerupai apakah aku?
—
Du Fu, “Kelana Malam”
(Tiongkok, Dinasti Tang, 765).
Dikutip dari The Demon-Haunted World, Carl Sagan.
Pernah ada pohon; namanya “filsafat”…
Anda bisa melanjutkan kalimat di atas dengan jalan cerita yang Anda sukai. Bahwa suatu masa—begitu biasanya suatu kisah dibuka—pohon pertama tumbuh saat kali pertama manusia menggerakkan akal budinya, saat ia melihat alam semesta; arak-arakan awan, pasir-pasir beterbangan; air sungai mengalir; dan menyadari dirinya yang sedang takjub.
Apakah semua itu? Yang bergerak, berpindah, terbang, dan mengalir. Air, udara, api….
Filsafat bukan dongeng. Ia adalah pohon—setidaknya seperti dinyatakan Stephen Palmquis. Seperti perkataannya yang saya kutip di atas, yang tumbuh seiring manusia membangun sejarah dan kebudayaan.
Filsafat adalah pohon yang statis tapi juga dinamis. Akar-akarnya tidak membuatnya dengan mudah dapat berpindah tempat, tapi justru karena itu membuatnya terdorong merangsang cabang-cabangnya tumbuh menjulur naik sampai tinggi. Radikal sekaligus progressif.
Rene Descartes, membagi bagian pokok pohon itu akarnya adalah metafisika, batangnya adalah fisika, dan cabang-cabangnya adalah apa yang berkaitan dengan ilmu-ilmu.
Belakangan, sebagian orang menuduh filsafat telah mencapai batas usianya. Dia dinyatakan sudah mati. Seperti sebuah pohon yang dipaksa ditebang karena desakan pembangunan. Diganti beton berisi besi-besi bernama sains, yang ditancap untuk mendirikan suatu peradaban baru.
Justru kematian filsafat sama halnya kematian manusia itu sendiri. Terutama menyangkut kemampuan manusia menggunakan akal budinya, untuk bertanya, refleksi, dan kritik. Dari sini filsafat merupakan ilmu paling praktis. Ia tidak membutuhkan alat-alat untuk mendukung seseorang dapat menggunakannya. Ia bisa dibawa dipakai di mana-mana, kapan saja, dan oleh siapa saja.
Jika memang filsafat membutuhkan alat seperti bagaimana ilmu-ilmu lain dapat berfungsi, itu adalah akal budi beserta metode berpikir logis; logika. Sehingga, siapa pun, tanpa mengenyampingkan keahliannya, ketika merunutkan alur berpikirnya dengan hukum berpikir logis, mendalam, dan sistematis, dapat dengan sendirinya berfilsafat.
Memang benar karena itu, seperti dikutip dari The Demon-Haunted World, Sains Penerang Kegelapan, Carl Sagan menyebut perbedaan paling mencolok antara filsafat (yang ia maksudkan di situ adalah metafisika), dengan sains (yang ia tulis fisika) adalah laboratorium.
Sains, terutama sains alam, akan terjebak kepada pseudosains, jika ia tidak memiliki metode ilmiah yang terbuka dan karena itu bisa dipertanggungjawabkan. Ia menurut, Carl Sagan, memiliki mekanisme builtin untuk mengkritik dirinya sendiri. Dan, fungsi laboratorium di situ adalah untuk menguji jalan kerja metode ilmiah, tentu dengan menggunakan alat-alat riset yang terbilang tidak murah.
Tapi, apakah karena itu filsafat mesti membutuhkan laboratorium, agar ia dengan meyakinkan dapat segera dibubuhi stempel legalitas ilmiah? Suatu anggapan juga sering dituduhkan kepada filsafat sebagai ilmu yang tidak memiliki metode kerja dan karena itu tidak memiliki pertanggungjawaban—konsekuensi dari tidak adanya metode ilmiah!
Jawaban ini dapat Anda tambahkan sendiri sesuai dengan kesukaan Anda, persis sama setelah Anda melanjutkan kalimat pembuka di atas: pernah ada pohon, namanya “filsafat”…
Filsafat dan sains, tentu berbeda dan mereka berdua merujuk kepada dua riwayat yang berlainan, meski sebelumnya filsafat menjadi asal muasal ilmu-ilmu yang di masa kini telah otonom dan otoritatif membidangi bidang-bidang tertentu.
Keketatan sains melalui metode keilmuannya, sampai hari ini membuatnya menjadi ilmu yang paling progress dikarenakan karakternya yang empirisistis. Setiap objek berubah dan fakta-fakta yang ditemukan atasnya dituntut untuk mengkuti hukum perubahan sehingga setiap teori datang silih berganti merevisi pandangan-pandangan sebelumnya. Thomas Khun menjelaskan sains merupakan bidang keilmuan yang tidak bergerak secara kumulatif melainkan lebih seperti entitas sejarah yang mengalami tahap-tahap dari pra paradigma, pra sains, normal sains, anomali, mengalami krisis, kemudian melahirkan paradigma baru yang merevolusi pandangan-pandangan sebelumnya.
Dari proses semacam itu, seperti juga filsafat yang sengit dan tanpa ampun saling kritik, sains juga mengalami pergulatannya sendiri. Para ilmuwan seolah-olah tidak dapat dihimpun ke dalam satu partai tunggal dikarenakan sangat ditentukan oleh paradigma yang menentukan konstelasi kepercayaan, nilai, dan teknik yang dimiliki suatu komunitas ilmiah, dalam memandang sesuatu tentang apa yang layak dipelajari, apa persoalan yang mesti dijawab, dan aturan apa yang harus diikuti dalam menginterpretasikan jawaban yang diperoleh.
Dengan model seperti itu, sains mengembangkan cabang-cabangnya, dan bukannya tanpa tantangan, yang menurut Carl Sagan, setiap dari itu memiliki pseudosains masing-masing sebagai lawannya. Ahli geofisika sampai sekarang masih menghadapi kaum bumi datar, ahli botani berhadapan dengan keyakinan pseudosains bahwa setiap tumbuhan memiliki emosi sehingga bisa dipantau melalui detektor kebohongan, astronomi melawan astrologi, ahli zoologi melawan orang-orang yang percaya dinosaurus masih hidup di suatu tempat, ahli metereologi melawan dukun cuaca, ilmu kimia dengan para alkemis…seterusnya, seterusnya, dan seterusnya…
Semua pseudosains itu kata Carl Sagan, saling bekelindan, berpotongan, ruwet dan entah dengan suatu alur berpikir membentuk keyakinan, semacam pentingnya kemajuan ekonomi suatu bangsa 20 tahun ke depan dapat ditentukan perkembangannya melalui ramalan astrologi, seperti ditemukan dalam majalah-majalah khusus remaja masa kini.
Di masa lalu, pada paruh terakhir abad ke-5 SM suatu gerakan skeptis bermunculan di Athena yang bergelar kelompok sofis, yang mengandung arti seperti ”professor”. Bertand Russell dalam Sejarah Filsafat Barat-nya, menuliskan dengan menarik bagaimana hubungan kelompok ini dengan kebudayaan Yunani yang dikatakannya lahir dari kelas elite kaya. Kelompok sofis barangkali adalah kelompok pertama di dunia ini yang berprofesi sebagai guru dengan menetapkan upah bagi anak-anak muda yang mengejar pendidikan. Karena di masa itu belum ada jaminan publik, maka jelas dengan siapa kelompok ini menghabiskan waktunya, yakni kepada kelas bangsawan, satu-satunya pihak saat itu yang mampu membayar upah mereka.
Sebagai suatu kelompok profesi, kaum sofis tidak sama dengan tradisi para filsuf saat itu, yang mendirikan sekolah-sekolah berciri paguyuban, dengan sejumlah aturan dan pada tingkat tertentu memiliki guru utama yang mengajarkan ilmu-ilmu rahasia yang tidak diajarkan secara luas. Filsafat yang lahir dari tradisi orphisme, yang ada sangkut pautnya dengan agama dan ajaran keutamaan, akan memandang gerakan sofisme ini sebagai ancaman yang tidak mengedepankan moralitas. Platon sendiri, yang mewariskan kepada kita pandangan negatif tentang mereka, kerap mengolok kelompok sofis sebagai orang-orang yang hanya mengejar uang dibandingkan keutamaan-keutamaan filosofis dalam filsafat. Socrates, bahkan menyebut kelompok ini sebagai pengusung filsafat palsu, dikarenakan tidak ada niat lain dalam diri mereka selain menjadikan kecerdasan berpikirnya sebagai mesin uang. Mereka dituduh pragmatis, dan sangat tidak bijaksana.
Di masa kini, kelompok sofisme merepresentasikan suatu motivasi berpikir yang dicap negatif selama orientasinya bukan demi kehormatan nilai-nilai kemanusiaan. Seperti di masa lalu, kelompok sofis mengembangkan suatu seni beretorika yang berkemampuan memutarbalikkan argumentasi sehingga kebenaran dan kepalsuan kehilangan kepastiannya. Dari segi moral, kelompok ini tidak sedang mengajarkan apa-apa selain kelihaian berkata-kata, sehingga jika tidak berhati-hati, seolah-olah mereka terlihat sedang mengajarkan filsafat.
Seperti sains, filsafat juga memilliki pseudo-filsafatnya sendiri, yang memalsukan suatu kepentingan seolah-olah adalah filsafat. Pseudo-filsafat dengan maksud tertentu merupakan sistem yang menyamar karena tidak signifikan memenuhi beberapa standar intelektual. Ia menggunakan pendekatan filsafat, berpura-pura berpikir bijak, sembari menuduh pihak lain sebagai orang yang tak tahu apa-apa dari pandangan sinikalnya dikarenakan motivasi ideologi pribadinya atau kelompoknya. Ia, dengan kata lain, terdorong bukan untuk memahami dan mendalami kebenaran, melainkan menyesuaikan kebenaran melalui seleranya.
Dalam arti harfiah, pseudo-filsafat dapat membuat seorang penipu dengan elegan tampil sebagai juru filsafafat bagi kepentingan publik di depan umum. Seperti saat Socrates dengan keras mengkritik pemikiran sofisme, yang secara politik ikut menyokong status quo kelas bangsawan dan demokrasi Athena saat itu.
Socrates, karena itu menjadi figur penting tentang kehormatan filsafat. Kisah akhir kematiannya yang ironik, disebut Alain Badiou, seorang filsuf politik Prancis, sebagai elemen filsafat yang mesti dicakup seseorang, yakni risiko. Setiap filsafat mengandung dan menuntut risiko dikarenakan sudut pandangnya menanggung kebenaran yang berbeda dari pandangan mayoritas.
Tidak saja risiko sebenarnya, filsafat inheren di dalamnya revolt (pemberontakan), logic (logika), dan universalitas (kemencakupan). Berdasarkan sifat filsafat yang disebut Badiou sebagai hasrat kebenaran ini, mengajukan bahwa tiada filsafat yang bukan merupakan pemberontakan logis melampaui paradigma berpikir sebelumnya melalui kerunutuan logis, dan universal.
Sampai di sini, saya ingin menyatakan bahwa rivalitas filsafat dan sains yang sengaja dibesar-besarkan belakangan ini hanyalah bias kesalahan pemahaman, bahwa lawan filsafat bukan sains,begitu juga sebaliknya. Musuh besar sains adalah pseudosains, yang memakai argumen-argumen sains untuk membenarkan ideologi tertentu, bukan filsafat. Sementara filsafat sudah pasti memiliki lawannya sendiri berupa pseudo-filsafat, yang kerap tampil sebagai ahli filsafat tanpa mengikatkan pemikiran dan kebijaksanaannya kepada keketatan kearifan tertentu.
Selamat hari Filsafat Sedunia, 18 November 2021.