Kemarin pagi, kesadaran saya kembali disentakkan dengan kedatangan ibu dari salah seorang anak didik kami. Kesadaran tentang hak-hak belajar dengan rasa aman dan nyaman pada diri setiap anak. Saya merasa diri lalai dalam menjaga perasaan salah seorang dari mereka.
Kejadian yang mungkin dianggap biasa dan banyak disepelekan oleh orang-orang. Sebuah lontaran kata “bodoh” atau “bodo’” (dialek Bugis-Makassar) yang seringkali sangat enteng diucapkan mulai anak-anak hingga usia dewasa, untuk menyatakan kekesalan seseorang pada pihak lainnya atas ketidakbecusan yang bersangkutan.
Saya pribadi seumur-umur tidak membolehkan digunakannya kata tersebut ataupun yang sejenisnya, seperti “tolo”, “dongok”, dll baik dalam lingkungan lembaga pendidikan maupun dalam lingkungan rumah. Walaupun masih sangat banyak orang yang dengan ringan dan mudahnya menyebutkan kata-kata itu pada anak-anak mereka sendiri atau anak-anak lain di sekitar mereka. Pada saat itu saya mencoba melihatnya dari tinjauan sosial dan budaya, kalau-kalau kata-kata ini mungkin menjadi salah satu wujud keakraban dalam obrolan sehari-hari masyarakat pada umumnya. Akan tetapi segera saya ketepiskan, bahwa apa pun yang menjadi alasannya, dalam koridor penggunaan bahasa yang baik dan benar, maka kata tersebut jelas-jelas memiliki makna negatif. Dan hal tersebut akan sangat berpengaruh pada kesehatan psikis, juga pada kepercayaan diri seseorang.
Pada praktiknya kemudian terbukti jika kata tersebut sangat melukai hati mereka.
Ibunya yang datang menemui saya kemarin pagi menguatkan semua dugaan saya sebelumnya. Bahwa telah terjadi sesuatu yang tidak beres pada kondisi kejiwaan sang anak. Untungnya pihak orangtua mau melakukan check and recheck dengan pihak kami sebagai pengelola lembaga pendidikan. Beliau menceritakan apa yang terjadi beberapa hari belakangan ini pada kedua putrinya yang sama-sama belajar mengaji di tempat kami. Bahwa si kakak seringkali dikatai “bodoh” oleh salah seorang temannya. Bahkan pada hampir semua yang ia lakukan, yang dianggap tidak becus, pasti berujung dengan lontaran kata tersebut di atas. Baik saat belajar maupun saat bermain.
Dalam proses belajar-mengajar yang terjadi selama ini, saya akui beberapa kali saya melihat langsung temannya tersebut melontarkan kata-kata itu, walaupun kadang sambil bercanda. Saat itu saya mencuri pandang mencoba membaca raut wajah si kakak saat temannya berkomentar seperti itu. Sambil tak lupa menegur temannya itu untuk menghentikan kebiasaan mengucapkan kata tersebut. Sayangnya, kejadian ini banyak terjadi saat mereka sedang bermain di area yang berada di luar jangkauan jarak pandang dan dengar saya.
Awal ia mendapatkan lontaran kata-kata tersebut, ia cuek saja, karena ibunya sering membesarkan hatinya, kalau temannya itu mungkin hanya bercanda. Ia pun menjalani hari-hari belajar mengaji seperti biasa lagi. Akan tetapi lama-kelamaan anak yang pembawaannya ceria dan cerewet ini berangsur-angsur berubah. Ia tidak lagi berteriak dari ujung lorong seperti kebiasaannya setiap kali pulang mengaji, memberitakan bahwa ia sudah naik juz atau berhasil menyelesaikan hafalannya dengan baik. Yang terlihat belakangan ini, wajahnya seringkali murung setibanya di rumah, si adik pun terkadang menjadi sasaran kekesalannya.
Secara berangsur-angsur, si kakak mulai mengalami krisis kepercayaan diri. Dua hari lalu, ia sudah menolak untuk datang mengaji pagi seperti biasa. Sambil menangis ia bertanya pada ibunya, “Ma, apakah benar saya bodoh?” Ibunya tentu saja kaget dengan pertanyaan anaknya yang tidak biasanya.
“Siapa yang bilang, Nak?” Ibunya balik bertanya tanpa mampu menyembunyikan ekspresi kekagetannya. Lantaran pertanyaan si anak yang tidak lumrah.
“Temanku yang bilang, Ma. Pernah beberapa kali ada bacaan yang saya tidak tahu, ia pasti langsung bilang saya bodoh.” Si anak melanjutkan keterangannya.
“Biasa juga kalau lagi main, saya tidak diajak, karena katanya saya bodoh, tidak tahu main. Adiknya lebih pintar.” Ia mulai berurai air mata.
Ibunya kembali memompa semangatnya dengan mengatakan, “Setiap orang butuh belajar, Nak. Bukan karena mereka bodoh. Tetapi karena ingin menambah ilmunya. Termasuk ustazah yang masih terus belajar dengan membaca buku. Banyak buku kan di rumahnya ustazah?”
Ibunya kemudian menawarinya untuk pindah jadwal mengaji ke sore hari, namun ia menolak. Ia lebih senang mengaji pagi hari. Di samping hawanya nyaman buat belajar, suasana tempat dan iklim belajar pun menjadi alasan ia lebih senang mengaji di waktu pagi. Lalu dibujuklah ia untuk kembali datang mengaji seperti biasa, tapi ditolaknya mentah-mentah sambil menangis. Akhirnya ibunya pun berjanji untuk menyelesaikan permasalahannya dengan ustazah.
Hari kedua setelah ia menangis dan menolak dengan keras untuk datang kembali mengaji, ibunya muncul menemui saya dan menceritakan kronologisnya dari awal hingga akhir. Saat si ibu bercerita, anak yang sering memberikan komentar tersebut bertepatan hadir saat itu. Ia ikut mendengarkan semuanya secara utuh hingga selesai. Sekali saja ia sempat berkomentar membela diri, dan kami mendengarkannya juga. Selebihnya ia tampak menerima semuanya sebagai sebuah kebenaran.
Saat si ibu bercerita kami berusaha tetap menjaga suasana hati tetap stabil, tanpa kemarahan yang diperlihatkan. Hanya ekspresi wajah menyimak cerita si ibu dan sedikit penekanan untuk mulai menghilangkan kebiasaan mengucapkan kata-kata seperti itu pada siapa pun temannya. Tidak lupa saya tetap menjaga harga dirinya dengan mengatakan, bahwa lingkungan kita dibesarkan selama ini, beserta keluarga pastinya sangat berperan dalam memberikan contoh perilaku sehari-hari pada anak. Sehingga mau tidak mau anak serta merta akan menirunya. Termasuk dalam memproduksi kata-kata dengan kategori buruk tersebut di atas. Tetapi setelah kita mengetahui dan menyadari bahwa ternyata sesuatu itu tidak baik, maka kita pun perlu mengubahnya.
Saya akan senantiasa memelihara prasangka baik pada setiap anak. Karena selamanya anak adalah produk dari kondisi riil orangtuanya. Mereka adalah pantulan wajah kedua orangtuanya beserta lingkungan keluarga dan masyarakat di mana ia dibesarkan. Sehingga menjadi sebuah ketidakadilan manakala seorang dewasa dengan semena-menanya menumpahkan kemarahan pada seorang anak atas perilaku salah yang diperbuatnya.
Saat saya menyuruh ia untuk meminta maaf nanti pada temannya, ia pun mengangguk dengan lega.