Sembilan puluh tiga tahun yang lalu, di gedung Dalem Jayadipuran, Yogyakarta. Dihelatlah forum Kongres Perempuan Indonesia pertama, digelar 22—25 Desember 1928. Kongres ini menjadi awal kebangkitan perempuan Indonesia. Kita tahu, saat itu adalah masa-masa kelam kolonialisme. Juga zaman di mana patriarki masih mencengkram kuat wajah pilu ibu pertiwi. Laki-laki berjuang melawan teror, sedang dunia perempuan benar-benar hanya selebar daun kelor: kasur, dapur, dan sumur. Perempuan-perempuan hebat, dari pelbagai organisasi kemudian berkumpul, berkonsolidasi, dan mengorganisasi diri. Mereka menyisingkan lengan baju, menceburkan diri dalam lumpur pembebasan bangsa, juga kaumnya.
“Zaman sekarang adalah zaman kemajuan. Oleh karena itu, zaman ini sudah waktunya mengangkat derajat kaum perempuan agar tidak terpaksa duduk di dapur saja. Kecuali untuk menjadi nomor satu di dapur, kita juga harus turut memikirkan pandangan kaum laki-laki sebab sudah menjadi keyakinan kita bahwa laki-laki dan perempuan mesti berjalan bersama-sama dalam kehidupan umum.” Begitu pendakuan R.A. Soekonto, selaku pimpinan panitia di kongres pertama itu.
Makin dalam, R.A. Soekanto juga mengingatkan, “Perempuan tidak lantas menjadi laki-laki, perempuan tetap perempuan, tetapi derajatnya harus sama dengan laki-laki, jangan sampai direndahkan seperti zaman dahulu.”
Di kongres ini pula, lahirlah Perikatan Perkoempoelan Perempoean Indonesia (PPPI), yang menjadi wadah berkumpul, sekaligus sebagai upaya perempuan melibatkan diri dalam pergerakan nasional.
Berdasar momentum inilah, Presiden Soekarno melalui Dekrit Presiden RI No. 316 Tahun 1953, menetapkan 22 Desember sebagai Hari Ibu.
***
Hari Ibu secara historis memang amat heroik. Di dalamnya, terdapat perlawanan, pendidikan, dan perjuangan perempuan melawan kolonialisme dan patriarki. Tak salah, berkenaan dengan perempuan, dalam setahun, ada dua peringatan yang merepresentasikan kegigihannya: Hari Kartini dan Hari Ibu.
Kini, peringatan Hari Ibu sepertinya mengalami deviasi makna. Saya sebenarnya tak pernah keberatan jika Hari Ibu kemudian berubah menjadi Ibu Hari, Ibu Siti, Ibu Mamat, dan lain-lain. Itulah mungkin cara kita memaknainya, dengan mengunggah foto bersama ibu, lalu memberikan caption pepatah petitih untuk ibunda tersayang. Tak salah. Namun, sepertinya ada kurang. Kita memberikan ucapan di media sosial masing-masing. Di mana ibu mungkin tak akan pernah melihat dan membaca ungkapan cinta itu seumur hidupnya, sebab ibu tak pernah hidup di sana. Ibu hadir di sisi kita saban waktu, tapi kita tidak.
Sebenarnya, jika ditilik lebih dalam, Hari Ibu berbeda dengan Mother’s Day yang dilakukan di negara-negara lain. Sejarah yang melatarbelakanginya pun beda. Dilansir Kompas.com, Mother’s Day pertama kali dimulai di Amerika Serikat, tatkala seorang wanita bernama Anna Jarvis menginginkan ada momen perayaan khusus, karena ibunya sendiri telah menyatakan keinginannya. Tiga tahun setelah ibunya meninggal, Jarvis berinisiatif mengadakan memorial untuk ibunya tahun 1908, dilakukan di Gereja Methodist St. Andrew di Virginia Barat.
Sedang Hari Ibu diperingati untuk mengenang, menjaga, dan mengobarkan spirit emansipasi dan perjuangan perempuan dalam perbaikan bangsa. Dalam konteks kekinian, perlawanan perempuan terhadap kekerasan, marginalisasi, dan diskriminasi. Termasuk pembangkangan terhadap standardisasi perempuan ideal yang diproduksi dan dijual oleh media: putih, mulus, langsing, tinggi, dan lainnya.
Termasuk dalam rumah tangga, ketika hak-hak perempuan dikebiri oleh suami berlapikkan dalil-dalil agama yang ditafsirkan semaunya, demi melanggengkan superioritas lelaki. Bahwa suami adalah raja yang mesti dilayani, sedang istri adalah budak yang mestinya patuh sepatuh-patuhnya. Ujungnya, terjadi distribusi beban yang tidak proporsional. Semua beban domestik, dikerjakan oleh perempuan.
Termasuk, yang menyesakkan kita beberapa waktu lalu, adalah kasus Novia, seorang anak gadis yang mengakhiri hidupnya di atas pusara ayahnya yang masih basah. Ia mati karena kealpaan kita memihaknya. Berdiri di barisan korban atas tindakan pemerkosaan kekasihnya yang bajingan. Sayang, banyak di antara kita yang bersikap egois seperti pamannya, melihatnya sebagai perempuan yang kehilangan kehormatan. Sebagian kita masih melihat kehormatan tak lebih dari gumpalan daging.
Termasuk ini dan itu di sekeliling kitakita, segala bentuk inferioritas perempuan. Ini tercermin di kedalaman laut sejarah, bahwa isu-isu yang dibahas di kongres pertama itu berkenaan dengan pembelaan hak perempuan: perdagangan anak dan perempuan; perbaikan gizi dan kesehatan bagi ibu dan balita; pernikahan dini bagi perempuan, dan sebagainya.
Memperingati Hari Ibu dengan mengunggah foto bersama ibu tidaklah salah. Sebab dalam realitas, ibu adalah perempuan paling hebat di mata anak-anaknya. Simbolisasi perempuan ideal. Namun, jangan mengagungkan abu, lalu melupakan api. Terjebak seremoni, lalu melupakan harmoni. Bahwa hakikatnya, setiap upaya perempuan untuk memberdayakan diri, melawan, dan berbuat untuk peningkatan kualitas hidup, adalah cita-cita luhur Hari Ibu yang mesti diperjuangkan. Tak cukup dengan ungkapan “selamat” semata. Dan itu bukan hanya tugas ibu, tapi juga tugas setiap perempuan. Dan menjadi amanah semua laki-laki. Kini, melawan sistem tidak adil terhadap perempuan menjadi tugas semua orang.
Izinkan saya, membeberkan pendakuan Mansour Fakih dalam agenda untuk mengakhiri sistem yang tidak adil bagi perempuan, sebagaimana dikutip juga oleh Dr. Hj. Eti Nurhayati, M.Si dalam bukunya Psikologi Perempuan.
Pertama, melawan hegemoni yang merendahkan perempuan dengan mendekonstruksi tafsiran agama yang merendahkan perempuan. Hal itu dimulai dengan mempertanyakan gagasan besar seperti kedudukan perempuan dalam hierarki agama dan organisasi keagamaan, sampai yang dianggap kecil seperti pembagian kerja dalam rumah tangga.
Harus diakui, bahwa secara natural, hanya ada beberapa hal yang hanya bisa dilakukan oleh perempuan dan tidak bisa dilakukan oleh laki-laki: hamil, melahirkan, dan menyusui. Jadi, hal selain itu sifatnya kultural. Cuci piring, memasak, dan mengganti popok sejatinya bisa dilakukan pula oleh laki-laki. Kerja-kerja rumah tangga sebagai tugas perempuan tidak lebih hanyalah produk budaya masyarakat saja.
Kedua, perlu kajian-kajian kritis untuk mengakhiri bias dan dominasi laki-laki dalam penafsiran agama dengan mengombinasikan studi, penelitian, investigasi, analisis sosial, pendidikan, dan aksi advokasi guna membahas isu perempuan. Termasuk kemungkinan perempuan untuk membuat, mengontrol, dan menggunakan pengetahuan mereka sendiri.
Harus diakui. Di peringatan Hari Ibu ke-93, masih banyak pekerjaan rumah yang belum selesai. Karenanya ikhtiar mesti terus digalakkan, perlawanan harus senantiasa digaungkan. Saya meyakini, setiap kita melawan segala bentuk kesewenang-wenangan terhadap perempuan, berarti kita merayakan Hari Ibu. Mari membela Ibu saban hari. Sebab, ibu kita semua adalah kesetaraan dan keadilan.
Sumber gambar: Kompas.com