Ilustrasi yang berbeda dalam praktik ibadah ritual sehari-hari. Orangtua seringkali mewajibkan anak-anak untuk melakukan salat, puasa, dan mengaji tanpa membekalinya dengan penjelasan atau dialog yang mencerahkan dengan mereka. Membangunkan paksa di subuh hari, bahkan seringkali terjadi anak-anak yang diangkat dalam keadaan masih tidur ke kamar mandi untuk berwudu, lalu dalam keadaan mata masih setengah terpejam, ia diharuskan menyentuh air di tengah dinginnya hawa. Terkadang anak menangis atau menolak, namun tidak berdaya di bawah kendali kekuasaan orang dewasa.
Niat dan tujuan yang baik apabila tidak didukung oleh metode yang tepat akan memberikan hasil yang sebaliknya. Ibarat melemparkan makanan ke hadapan seorang peminta-minta. Makanan tersebut enak, tidak basi, tetapi diberikan dengan cara yang jauh dari standar kesantunan, tentunya akan melukai perasaan. Walaupun makanan tersebut boleh jadi sangat dibutuhkan.
Anak dan orangtua terikat dalam sebuah relasi kuasa yang mengharuskan pihak anak tunduk dan patuh pada perintah orangtuanya. Terlebih saat mereka masih usia kanak-kanak. Kala perimbangan tenaga dan materi dari pihak orangtua jauh melampaui kemampuan anak. Maka mereka mau tidak mau, suka atau tidak suka, harus menuruti segala hal yang sifatnya perintah dari pihak orangtua, jika tidak, hidup mereka akan terancam menderita. Kurang lebih seperti itulah situasinya.
Dalam jangka pendek, metode yang dilakukan terlihat berhasil, terlebih lagi jika anak bungkam dan tertekan oleh kegarangan dan sifat-sifat kasar orangtua lainnya. Tentulah mereka akan memilih menurut dan patuh meskipun di dalam batinnya berontak dan tertekan. Cepat atau lambat, dampaknya akan terlihat. Ada yang baru muncul belasan tahun kemudian, ada yang hanya mampu bertahan dalam hitungan tahun atau bulan. Tergantung daya tahan batiniah setiap anak. Bentuknya pun bisa bermacam-macam. Ada anak yang bawaannya sering sakit disebabkan melemahnya tubuh, efek psikosomatis dari psikis yang terganggu. Ada pula yang sering berbohong pada orangtua demi menyelamatkan diri dari kemarahan mereka. Atau jika sudah jelang remaja, mereka mungkin akan lebih senang berkumpul dengan teman-teman senasib dan sepemahaman di luar sana, jauh dari pantauan orangtua. Teman-teman yang akan menerima mereka apa adanya, tidak banyak menuntut dan mengharuskannya selalu bersikap baik namun penuh kamuflase. Selanjutnya, apabila tekanan dari pihak orang dewasa atau orangtua dalam hal ini semakin kuat, mungkin saja mereka akan melakukan perlawanan secara lebih terang-terangan dan berani.
Kembali pada tujuan pendidikan kita dalam keluarga masing-masing. Apakah kita menginginkan hasil jangka pendek yang akan menetap selamanya dalam sanubari anak-anak ataukah yang sifatnya jangka pendek? Ingin terus-menerus berada di samping anak untuk bisa mengontrol semua perilakunya, ataukah menanamkan program-program pendidikan yang akan memberinya kemampuan melakukan pengawasan dari dalam dirinya sendiri? Yang mana terasa lebih ringan, dan yang mana terasa lebih melelahkan? Mari kita sesekali melakukan introspeksi ke dalam diri masing-masing.
Dampak lain yang biasanya akan terlihat setelah anak dewasa dan membentuk keluarga sendiri adalah munculnya trauma-trauma atas peristiwa-peristiwa menekan yang terjadi di masa lampau. Yang mana hal tersebut akan sulit dideteksi jika tidak melibatkan para ahli di bidangnya. Seperti psikolog, psikiater, hipnoterapis, atau mereka yang bergerak di ranah terapi holistik dan healing mandiri. Bentuknya bisa bermacam-macam, seperti ada orang dewasa yang hidupnya justru berkebalikan 180 derajat dengan model kehidupannya ketika masih kecil. Ia yang dididik dengan disiplin dalam hal waktu dan ditanamkan keharusan berbenah nyatanya setelah dewasa justru tidak begitu menyukai kegiatan bersih-bersih dan cenderung mengabaikan soal kedisiplinan.
Barangkali itulah bentuk perlawanan yang baru bisa ia ungkapkan setelah dewasa, akibat tekanan yang tidak mampu ia lawan saat usianya masih sangat muda. Seperti cerita orang-orang yang mengalami masa kecil dalam kondisi serba kekurangan. Setelah ia mampu mengumpulkan materi yang cukup atau bahkan lebih, ia pun melakukan “balas dendam” dengan melimpahi anak-anaknya model hidup yang berkebalikan dengan apa yang ia alami pada masa kecilnya. Menyediakan kemudahan-kemudahan fasilitas serta menjauhkannya dengan berbagai persoalan kehidupan. Kondisi seperti ini berpotensi besar menjebak seseorang manakala ia tidak mempunyai pedoman atau arah yang jelas dalam menapaki hidupnya.
Tidak ada yang salah dalam soal pengajaran kedisiplinan dan berbagai ajaran mulia lainnya, baik dalam lingkup pembelajaran norma keagamaan ataupun norma kemasyarakatan. Yang menjadi soal jika semua hal-hal baik tersebut diantarkan dengan cara yang tidak tepat. Yang justru akan memunculkan banyak trauma, sehingga tertanam anggapan dalam pikiran anak, bahwasanya belajar agama dan etika lainnya sungguh menegangkan dan menakutkan. Akibatnya, proses pemahaman dan transfer pengetahuan kepada generasi berikutnya akan sangat rawan mengalami banyak masalah. Selanjutnya, siklus tersebut pun menjadi sangat sulit untuk diputuskan.
Anak-anak bukan lahan garapan kosong tak berjiwa.
Mereka memiliki hati yang menyukai kelembutan.
Maka hampirilah ia dengan wajah penuh cinta.