Ibadah dan Berbenah Haruskah dengan Paksaan?

Saya ingin mengawali tulisan ini dengan sebuah kisah sebagai ilustrasi. Tentang sebuah keluarga terdidik yang menerapkan pola asuh penuh kedisiplinan dan keteraturan dalam banyak hal. Mulai soal waktu bangun di pagi hari, melakukan pekerjaan bersih-bersih rumah, belajar pada waktu tertentu di malam hari, hingga kembali tidur, semua ada aturannya. Sangat sedikit ruang untuk bisa berkompromi dengan hal-hal tersebut. Tidak diperkenankan meninggalkan tugas tanpa alasan yang dapat diterima. Tampak dari luar, anak-anak ini begitu tertib dan teratur, namun tidak banyak yang mengetahui apa saja yang telah bergejolak di dalam jiwanya.

Ilustrasi yang berbeda dalam praktik ibadah ritual sehari-hari. Orangtua seringkali mewajibkan anak-anak untuk melakukan salat, puasa, dan mengaji tanpa membekalinya dengan penjelasan atau dialog yang mencerahkan dengan mereka. Membangunkan paksa di subuh hari, bahkan seringkali terjadi anak-anak yang diangkat dalam keadaan masih tidur ke kamar mandi untuk berwudu, lalu dalam keadaan mata masih setengah terpejam, ia diharuskan menyentuh air di tengah dinginnya hawa. Terkadang anak menangis atau menolak, namun tidak berdaya di bawah kendali kekuasaan orang dewasa.

Niat dan tujuan yang baik apabila tidak didukung oleh metode yang tepat akan memberikan hasil yang sebaliknya. Ibarat melemparkan makanan ke hadapan seorang peminta-minta. Makanan tersebut enak, tidak basi, tetapi diberikan dengan cara yang jauh dari standar kesantunan, tentunya akan melukai perasaan. Walaupun makanan tersebut boleh jadi sangat dibutuhkan.

Anak dan orangtua terikat dalam sebuah relasi kuasa yang mengharuskan pihak anak tunduk dan patuh pada perintah orangtuanya. Terlebih saat mereka masih usia kanak-kanak. Kala perimbangan tenaga dan materi dari pihak orangtua jauh melampaui kemampuan anak. Maka mereka mau tidak mau, suka atau tidak suka, harus menuruti segala hal yang sifatnya perintah dari pihak orangtua, jika tidak, hidup mereka akan terancam menderita. Kurang lebih seperti itulah situasinya. 

Dalam jangka pendek, metode yang dilakukan terlihat berhasil, terlebih lagi jika anak bungkam dan tertekan oleh kegarangan dan sifat-sifat kasar orangtua lainnya. Tentulah mereka akan memilih menurut dan patuh meskipun di dalam batinnya berontak dan tertekan. Cepat atau lambat, dampaknya akan terlihat. Ada yang baru muncul belasan tahun kemudian, ada yang hanya mampu bertahan dalam hitungan tahun atau bulan. Tergantung daya tahan batiniah setiap anak. Bentuknya pun bisa bermacam-macam. Ada anak yang bawaannya sering sakit disebabkan melemahnya tubuh, efek psikosomatis dari psikis yang terganggu. Ada pula yang sering berbohong pada orangtua demi menyelamatkan diri dari kemarahan mereka. Atau jika sudah jelang remaja, mereka mungkin akan lebih senang berkumpul dengan teman-teman senasib dan sepemahaman di luar sana, jauh dari pantauan orangtua. Teman-teman yang akan menerima mereka apa adanya, tidak banyak menuntut dan mengharuskannya selalu bersikap baik namun penuh kamuflase. Selanjutnya, apabila tekanan dari pihak orang dewasa atau orangtua dalam hal ini semakin kuat, mungkin saja mereka akan melakukan perlawanan secara lebih terang-terangan dan berani.

Kembali pada tujuan pendidikan kita dalam keluarga masing-masing. Apakah kita menginginkan hasil jangka pendek yang akan menetap selamanya dalam sanubari anak-anak ataukah yang sifatnya jangka pendek? Ingin terus-menerus berada di samping anak untuk bisa mengontrol semua perilakunya, ataukah menanamkan program-program pendidikan yang akan memberinya kemampuan melakukan pengawasan dari dalam dirinya sendiri? Yang mana terasa lebih ringan, dan yang mana terasa lebih melelahkan? Mari kita sesekali melakukan introspeksi ke dalam diri masing-masing.

Dampak lain yang biasanya akan terlihat setelah anak dewasa dan membentuk keluarga sendiri adalah munculnya trauma-trauma atas peristiwa-peristiwa menekan yang terjadi di masa lampau. Yang mana hal tersebut akan sulit dideteksi jika tidak melibatkan para ahli di bidangnya. Seperti psikolog, psikiater, hipnoterapis, atau mereka yang bergerak di ranah terapi holistik dan healing mandiri. Bentuknya bisa bermacam-macam, seperti ada orang dewasa yang hidupnya justru berkebalikan 180 derajat dengan model kehidupannya ketika masih kecil. Ia yang dididik dengan disiplin dalam hal waktu dan ditanamkan keharusan berbenah nyatanya setelah dewasa justru tidak begitu menyukai kegiatan bersih-bersih dan cenderung mengabaikan soal kedisiplinan.

Barangkali itulah bentuk perlawanan yang baru bisa ia ungkapkan setelah dewasa, akibat tekanan yang tidak mampu ia lawan saat usianya masih sangat muda. Seperti cerita orang-orang yang mengalami masa kecil dalam kondisi serba kekurangan. Setelah ia mampu mengumpulkan materi yang cukup atau bahkan lebih, ia pun melakukan “balas dendam” dengan melimpahi anak-anaknya model hidup yang berkebalikan dengan apa yang ia alami pada masa kecilnya. Menyediakan kemudahan-kemudahan fasilitas serta menjauhkannya dengan berbagai persoalan kehidupan. Kondisi seperti ini berpotensi besar menjebak seseorang manakala ia tidak mempunyai pedoman atau arah yang jelas dalam menapaki hidupnya.

Tidak ada yang salah dalam soal pengajaran kedisiplinan dan berbagai ajaran mulia lainnya, baik dalam lingkup pembelajaran norma keagamaan ataupun norma kemasyarakatan. Yang menjadi soal jika semua hal-hal baik tersebut diantarkan dengan cara yang tidak tepat. Yang justru akan memunculkan banyak trauma, sehingga tertanam anggapan dalam pikiran anak, bahwasanya belajar agama dan etika lainnya sungguh menegangkan dan menakutkan. Akibatnya, proses pemahaman dan transfer pengetahuan kepada generasi berikutnya akan sangat rawan mengalami banyak masalah. Selanjutnya, siklus tersebut pun menjadi sangat sulit untuk diputuskan.

Anak-anak bukan lahan garapan kosong tak berjiwa.

Mereka memiliki hati yang menyukai kelembutan.

Maka hampirilah ia dengan wajah penuh cinta.

  • Dalam satu dasawarsa terakhir, Kabupaten Bantaeng telah tampil sebagai barometer gerakan literasi, khususnya di Provinsi Sulawesi Selatan. Ketika kata “literasi” belum sepopuler hari-hari ini, pegiat literasi di Bantaeng sudah bergerilya menyebar benih gerakan literasi yang kini sudah tumbuh subur. Langkah-langkah gerilyanya ketika itu berupa pelatihan kepenulisan, diskusi buku, dan lapak-lapak baca. Di kemudian hari, langkah…

  • Adelio membuka mata ketika menyadari ombak Perairan Cempedak mengombang-ambing tubuhnya. Ia melihat ke bawah dan mendapati kedalaman laut yang tak terhingga. Ia mendongak ke langit, semburat cahaya matahari baru saja hendak menyapanya dari ufuk timur. Ia baru saja menyadari bahwa dirinya telah mengapung semalaman di tengah laut setelah mendapati sebagian kulitnya yang mulai mengeriput. Ia…

  • Buku terbaru Sulhan Yusuf, Gemuruh Literasi: Sederet Narasi dari Butta Toa boleh dibilang sebagai pembuktian, jika usia bukanlah aral melintang bagi seseorang untuk produktif dalam berkarya. Tapi, insight yang diwedarkan Gemuruh Literasi sebenarnya lebih dari itu. Buku ini adalah jawaban bagi rasa penasaran sebagian orang yang hendak mengetahui gerakan literasi Sulhan di Bantaeng. Kerja-kerja kultural yang…

  • Judul tulisan ini saya pinjam dari ungkapan Profesor Cecep Darmawan—dosen saya ketika studi magister beberapa waktu lalu. Beliau guru besar yang egaliter dan seringkali tampil di publik (media dan forum) untuk berbagi gagasan dan pencerahan. Seingat saya ungkapan itu beliau sampaikan saat kami kuliah “Pendidikan Politik Generasi Muda”. Saya terkesan dengan ungkapan itu, selain indah…

  • Membicarakan suatu topik, dalam hal ini filsafat Islam, maka rasa-rasanya kurang afdal apabila tidak memasukkan nama al-Ghazali di dalamnya. Akan tetapi bila seseorang mau menempatkan al-Ghazali dalam sejarah filsafat Islam, tentu ia harus membuat beberapa catatan. Poin utamanya bahwa al-Ghazali tidak menganggap dirinya filosof dan tidak suka dianggap sebagai seorang filosof. Ini tak hanya menjelaskan…


Kala Literasi

Jl. Pa’ Bentengang No.6, RT.01/RW.08, Mangasa Kec. Tamalate, Kota Makassar, Sulawesi Selatan 90221