Kelas Parenting (Lagi)

Kurang lebih lima tahun silam, kami pernah menyatukan diri dalam sebuah komunitas belajar yang pesertanya para orangtua dan calon orangtua, laki-laki dan perempuan. Mereka memiliki tekad dan keinginan besar untuk berubah. Bagi yang belum menjadi orangtua, mereka ingin melakukan persiapan dengan sebaik-baiknya agar siklus pengalaman buruk dalam hidupnya tidak berulang kembali. Di antara mereka bahkan ada beberapa yang masih berstatus lajang dan mahasiswa. Kami bertemu dan berdiskusi awalnya sebanyak dua kali sebulan. Perlahan ritmenya mengalami pelambatan. Jadilah sisa sekali sebulan. Kegiatan ini awalnya berjalan lancar dan cukup mengundang antusiasme dari para peserta, dibuktikan dengan banyaknya pertanyaan yang mereka lontarkan, serta tingkat kehadiran yang cukup tinggi setiap kali tatap muka berlangsung. Pernah di suatu ketika sebuah harian lokal mengangkat kegiatan ini sebagai salah tajuk beritanya.

Seiring berjalannya waktu serta tingkat kesibukan para peserta yang tak lagi dapat dikompromikan, berangsur-angsur peserta kelas pun mengalami penyusutan. Baik dari segi semangat maupun jumlah orang yang hadir. Mungkin ada prioritas lain yang menggantikan posisinya. Bagi saya pribadi, perubahan ini tidaklah jadi soal. Saya tetap akan mengisi diskusi tersebut walaupun jumlah yang hadir hanya satu orang. Tentulah suatu keberuntungan, kami bisa puas bercakap-cakap sepanjang pertemuan. Diam-diam saya mengamati keseluruhan proses yang berlangsung selama hampir setahun tersebut. Mencoba mempelajari di mana letak masalahnya, mengapa kegiatan baik dan bermanfaat seperti ini tidak mampu bertahan lama. Lambat-laun saya makin menyadari kebenaran petatah-petitih orang-orang tua dulu. Di antaranya yang berbunyi, memulai sesuatu lebih mudah daripada mempertahankannya. 

Dua tahun berikutnya, pasca membentuk kelas perdana tersebut, sekira tahun 2018, buku kedua saya, Metamorfosis Ibu terbit. Sebelumnya saya sudah sementara terlibat dalam proyek jangka pendek yang diprakarsai oleh Yayasan Hadji Kalla untuk melakukan touring of parenting (istilah saya) atau sosialisasi masalah kepengasuhan ke desa-desa selama kurang lebih hampir setahun. Dalam pemikiran saya saat itu, program yang mereka canangkan sungguh-sungguh bermanfaat dan mulia, kegiatan yang langka terjadi selama kurun waktu kehidupan saya. Mengingat masalah kepengasuhan jarang dilirik dan diangkat sebagai fokus kegiatan suatu perusahaan besar dan menyasar pelosok desa. Jujur saya angkat jempol untuk program yang mereka rintis.

Selepas menjalani rangkaian kegiatan parenting di atas, seorang teman tiba-tiba menghubungi saya untuk diminta memberikan materi kepengasuhan dengan sasaran warga menengah ke bawah. Tetapi kali ini untuk wilayah Kota Makassar saja. Setiap beberapa pekan sekali saya menjalani rutinitas tersbut. Berkunjung ke rumah warga yang tinggal di pesisir kota, berbicara sesuai standar pengetahuan dan pemahaman mereka selama ini. Sungguh suatu pengalaman baru bagi saya ketika itu. Sekaligus tantangan bagaimana mengemas dan berhadapan dengan para orangtua yang sehari-harinya sibuk menjalani tanggung jawab sebagai ibu sekaligus bapak rumah tangga. Mengasuh anak sekaligus menjalankan roda perekonomian keluarga.

Dengan terbitnya buku tersebut di atas, menjadi jembatan bagi saya untuk kembali menghidupkan kelas parenting yang pernah kami gagas namun berakhir sepi peserta. Tetapi kali ini modelnya lintas wilayah. Saya membentuk sebuah grup whatsapp yang berisikan orang-orang yang tertarik dan merasa butuh dengan ilmu-ilmu terapan ini. Saya menamainya grup Parenting for Family. Dan bukan hanya grup bagi mereka yang sudah berkeluarga atau berstatus orangtua, namun saya pun menyediakan sebuah grup khusus yang berisikan anak-anak muda, laki-laki dan perempuan yang masih lajang atau belum menikah. Nama grupnya Pra Family Class. Walhasil antusiasme peserta di awal sangat menggembirakan. Setiap hari jumlah peserta mengalami peningkatan. Silabus sebagai acuan materi pembelajarannya pun sudah saya buatkan untuk kedua grup tersebut. Lagi-lagi perjalanannya pun mengalami kelesuan semangat. Pada akhirnya grup-grup tersebut kembali sepi.

Sebagai seseorang yang berkepribadian melankolis dengan struktur belahan otak kanan dan kiri seimbang, saya senang merenung. Dalam setiap persoalan baik yang berskala ringan maupun berat, saya pasti melakukan evaluasi. Apa yang sesungguhnya telah terjadi dalam dinamika hidup manusia? Mengapa begitu banyak orang yang tampak membutuhkan keterampilan tertentu, namun dalam praktiknya mereka tampak tidak serius menjalani prosesnya? Dari sekian ribu loncatan-loncatan pikiran yang muncul dalam benak per detiknya, teringatlah saya pada beberapa kejadian serupa yang pernah berlangsung selama rentang waktu berkecimpung dalam dunia pemberdayaan manusia. Alam rupanya akan senantiasa melakukan proses penyaringan secara terus-menerus, dari segi kuantitas (awalnya banyak) hingga yang tersisa adalah kualitas (sedikit namun bermutu). 

Awal tahun ini setelah melewati masa dua tahun pandemi melanda negeri ini, sekelompok orangtua dari ragam usia dan latar belakang kembali menggagas sebuah kelas pengasuhan sebagai sebuah wadah belajar sekaligus tempat berbagi pengalaman di antara para peserta. Sungguhpun pada era teknologi digital seperti saat ini, bertebaran konten pembelajaran yang dapat diakses oleh siapa saja jika serius ingin mengetahuinya. Hanya saja pastilah berbeda jika kita dapat saling bertatap muka, melihat wujud satu sama lain, sehingga muncul kekuatan dari dalam batin, bahwasanya kita tidak sendirian dalam menjalani hari-hari penuh masalah tersebut.

Jika merunut ke belakang, hampir tiga dasa warsa kami berjalan beriringan dalam koridor kepengasuhan dan literasi, bukan karena profesi atau tuntutan pekerjaan dari lembaga tertentu. Yang mengharuskan kami terus belajar sepanjang napas yang menyatu dengan tubuh, melainkan karena kami sudah sangat merasakan manfaat dari keduanya. Betapa kami sadar, lahir dari keluarga yang masing sangat jauh dari prinsip-prinsip pengasuhan yang benar, maka belajar sungguh-sungguh dan terus memperbaiki diri adalah jalan terbaik dan bijaksana. Mengetahui hal-hal benar dan salah di masa lalu adalah penting, akan tetapi menyalahkan dan mengutuki hal-hal buruk yang telah kita lewati adalah tindakan sia-sia.

Banyak dari kita telah mengalami masa-masa kecil yang suram akibat kondisi orangtua yang minim pengetahuan dan tidak siap menjalani peran dan tanggung jawabnya sebagaimana seharusnya. Mengetahui dan menyadarinya adalah sebuah langkah awal yang sangat berharga. Bergerak untuk mengubahnya ke arah yang lebih baik adalah sebuah anugerah tak ternilai.

  • Dalam satu dasawarsa terakhir, Kabupaten Bantaeng telah tampil sebagai barometer gerakan literasi, khususnya di Provinsi Sulawesi Selatan. Ketika kata “literasi” belum sepopuler hari-hari ini, pegiat literasi di Bantaeng sudah bergerilya menyebar benih gerakan literasi yang kini sudah tumbuh subur. Langkah-langkah gerilyanya ketika itu berupa pelatihan kepenulisan, diskusi buku, dan lapak-lapak baca. Di kemudian hari, langkah…

  • Adelio membuka mata ketika menyadari ombak Perairan Cempedak mengombang-ambing tubuhnya. Ia melihat ke bawah dan mendapati kedalaman laut yang tak terhingga. Ia mendongak ke langit, semburat cahaya matahari baru saja hendak menyapanya dari ufuk timur. Ia baru saja menyadari bahwa dirinya telah mengapung semalaman di tengah laut setelah mendapati sebagian kulitnya yang mulai mengeriput. Ia…

  • Buku terbaru Sulhan Yusuf, Gemuruh Literasi: Sederet Narasi dari Butta Toa boleh dibilang sebagai pembuktian, jika usia bukanlah aral melintang bagi seseorang untuk produktif dalam berkarya. Tapi, insight yang diwedarkan Gemuruh Literasi sebenarnya lebih dari itu. Buku ini adalah jawaban bagi rasa penasaran sebagian orang yang hendak mengetahui gerakan literasi Sulhan di Bantaeng. Kerja-kerja kultural yang…

  • Judul tulisan ini saya pinjam dari ungkapan Profesor Cecep Darmawan—dosen saya ketika studi magister beberapa waktu lalu. Beliau guru besar yang egaliter dan seringkali tampil di publik (media dan forum) untuk berbagi gagasan dan pencerahan. Seingat saya ungkapan itu beliau sampaikan saat kami kuliah “Pendidikan Politik Generasi Muda”. Saya terkesan dengan ungkapan itu, selain indah…

  • Membicarakan suatu topik, dalam hal ini filsafat Islam, maka rasa-rasanya kurang afdal apabila tidak memasukkan nama al-Ghazali di dalamnya. Akan tetapi bila seseorang mau menempatkan al-Ghazali dalam sejarah filsafat Islam, tentu ia harus membuat beberapa catatan. Poin utamanya bahwa al-Ghazali tidak menganggap dirinya filosof dan tidak suka dianggap sebagai seorang filosof. Ini tak hanya menjelaskan…


Kala Literasi

Jl. Pa’ Bentengang No.6, RT.01/RW.08, Mangasa Kec. Tamalate, Kota Makassar, Sulawesi Selatan 90221