Setiap waktu kita melakukan aktivitas mengajar. Ia perilaku yang lumrah dilakukan oleh semua kelompok umur. Orangtua mengajar anaknya. Anak-anak mengajar teman sebayanya, pemimpin mengajar bawahannya, suami mengajar istrinya, begitupun sebaliknya. Ia bukan hanya menjadi pekerjaan guru di sekolah atau lembaga pendidikan lainnya. Meskipun begitu kita masih saja kesulitan dalam menjalani prosesnya. Tolok ukurnya di antaranya adalah belum jamak terbangun kerja sama yang baik dan hubungan yang harmonis di antara keduanya. Apalagi jika membahas interaksi guru-murid di sekolah-sekolah. Naluri keingintahuan anak yang besar tidak mendapat dukungan positif dari pihak pengajar di kelas.
Salah satu contohnya, jumlah murid yang sangat banyak dalam satu ruangan, sehingga jumlah guru dan murid tidak sebanding. Yang mana idealnya satu guru hanya maksimal menghadapi belasan siswa saja. Terlebih lagi jika guru tidak mampu mengatur atau mengelola kelas dengan baik. Berbagai tipe karakter dan kepribadian anak dikumpul jadi satu. Satu atau dua anak yang dominan bisa menjadi ancaman bagi murid-murid yang pembawaannya kalem dan pemalu. Sehingga sewaktu-waktu akan menghambat proses transfer pengetahuan di dalamnya. Anak-anak yang merasa diri tertinggal pelajaran, lalu mencoba mengejarnya dengan bertanya pada guru perihal materi yang belum dipahaminya. Bapak atau ibu guru yang sementara kesulitan menenangkan murid-muridnya, yang beberapa di antaranya mungkin mulai merasa bosan, tidak siap dengan pertanyaan si anak. Dijawablah dengan nada suara sedikit tinggi, “Bagian mana lagi yang belum kamu mengerti?” Atau, “Alamak, soal segampang itu belum paham juga? Harus berapa kali lagi saya mesti jelaskan!” Masih banyak jenis-jenis komentar dari guru yang sangat berpotensi menjatuhkan mental siswa.
Kata-kata atau kalimat semacam ini mungkin saja tidak disadari oleh banyak pengajar di sekeliling kita. Karena semua itu umumnya kumpulan pengalaman dari sang guru ketika mereka dulu mengalami masa-masa menjadi murid. Sebuah siklus perilaku yang sulit diputuskan jika orang-orang yang terlibat di dalamnya tidak menyadari letak salahnya sehingga tidak muncul usaha sungguh-sungguh untuk memperbaikinya. Anak-anak yang diajar dengan gaya seperti ini sudah bisa ditebak sambungan ceritanya. Selanjutnya mereka akan lebih memilih bungkam seribu bahasa jika dalam proses pembelajaran berikutnya ada hal-hal yang tidak mereka pahami. Mereka “dipaksa” diam dalam kebingungan dan keputusasaan.
Hari-hari menempuh jalan pergi dan pulang sekolah, anak-anak ini selain membawa beban berat buku-buku di punggung, mereka juga akan sibuk menenangkan pikiran yang berkecamuk dalam kepalanya. Tentang materi-materi pelajaran yang masih sulit ia pahami. Sedangkan orangtua di rumah tidak mampu mengajari karena tidak menguasai materi. Tiba di sekolah, sesaat menghilangkan beban dengan cara bermain dengan teman-temannya. Keceriaannya sesaat tampak mampu mengusir kegalauannya. Hingga masuk kembali ke dalam kelas, ketegangan mulai menghampiri, kalau-kalau guru tiba-tiba akan menghardik seisi kelas gara-gara ulah satu dua anak saja. Bagaimana bisa materi pelajaran terterima dengan baik, jika otak tidak dalam kondisi rileks?
Daniel Goleman (1995) penulis Etmotional Intelligence, menyatakan bahwa orang yang mengalami gangguan emosional tidak bisa mengingat, memperhatikan, belajar, atau membuat keputusan secara jernih karena “stres membuat orang menjadi bodoh” (h. 149). Dan Candace Pert (1993), penulis Molecules of Emotion, menyatakan bahwa emosi menghubungkan tubuh dengan otak dan menyediakan energi untuk memacu prestasi akademis, juga kesehatan dan keberhasilan pribadi. “Semua yang kita lakukan,” katanya, “dikendalikan oleh emosi” (h. 187)
(Brain-Based Teaching, h. 80)
Contoh petikan-petikan komentar guru di atas ibarat noktah kecil di tengah hamparan bidang datar. Kasus-kasus lebih besar dan serius lainnya masih sangat banyak dan membelit kehidupan sehari-hari di lingkungan sekolah. Maka, akan sangat sulit berbicara kualitas anak didik, jika pintu untuk masuk ke sananya saja masih penuh perjuangan untuk membukanya. Bahkan boleh jadi monster-monster menakutkan seolah telah siap sedia berdiri di sana, siap memangsa anak-anak yang akan menginjakkan kakinya di sekolah.
Sekolah, guru, dan pihak-pihak yang terkait dengan dunia belajar-mengajar bekerja dan bergerak di bawah naungan sebuah sistem pendidikan yang berlaku menyeluruh sepanjang pulau-pulau yang membentang senusantara. Kurikulum yang setiap periode selalu berganti memunculkan target pembelajaran yang terus dipacu sepanjang tahun. Anak-anak dipecut bagaikan robot yang berpacu dengan waktu. Memburu kuantitas dengan mengabaikan kualitas. Menjadi aturan tak tertulis dan rahasia umum setiap kali masa ujian tiba. Nilai-nilai siswa dimanipulasi demi menjaga reputasi. Akankah kita akan tinggal diam, menyaksikan proses regenerasi yang kering dan gersang tanpa ruh?
Apabila kita termasuk di antara orang-orang yang mau peduli dengan kualitas dan masa depan anak-anak didik di sekitar kita, maka mari mengubah cara-cara yang selama ini kita gunakan dalam berinteraksi dengan mereka. Sistem pendidikan boleh mengatur kita dari luar. Akan tetapi kita bisa melakukan penyesuaian dan modifikasi dalam menerapkan metode-metode pendekatan yang kita gunakan sehari-hari. Karena menuruti sepenuhnya tuntutan-tuntutan dari pihak Dinas Pendidikan dan Kebudayaan secara apa adanya, akan mengorbankan banyak hak anak bahkan berpotensi besar menghancurkan masa depannya. Sungguh berkebalikan dengan tujuan utama pendidikan nasional bangsa Indonesia yang tertuang dalam UUD 1945 alinea ke-4, yakni “mencerdaskan kehidupan bangsa”.
Sementara itu fungsi dan tujuan Pendidikan Nasional terdapat dalam pasal 3 Undang-undang No.20 tahun 2003 yang berbunyi:
“Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.”
Semua poin-poin yang tersebut dalam Undang-undang di atas semestinya tercermin dalam perilaku dan interaksi kita dengan murid sehari-hari. Tolok ukurnya sederhana, murid-murid bahagia belajar.