Andai setiap orang dewasa dapat disodori dua pilihan, yang mesti mereka gunakan ketika memberikan komentar pada perilaku anak-anaknya, maka pilihan diam terkadang lebih baik. Karena pengetahuan dan kesadaran betapa berartinya setiap kata yang diucapkan orangtua, belum umum diketahui. Kata-kata masih dimaknai sebagai sebuah dorongan alamiah manusia yang muncul spontan tanpa perlu dipikirkan sebelumnya. Ditambah lagi dengan pahaman yang keliru, yang menganggap tugas orang dewasa melulu seputar memberitahu, mendikte, menasihati, menyuruh, memaksa, dan seterusnya. Berlapik-lapik generasi terus-menerus melakukan hal yang dianggap benar ini. Ibarat sebuah warna, kebenaran dan kepatutan mengalami degradasi menjadi abu-abu. Kita sudah kesulitan mengetahui warna aslinya.
Seringkali ketika menghadapi perilaku anak yang bermasalah, orangtua, guru, atau orang dewasa lainnya akan sibuk mencari penyebab dari luar dirinya. Orangtua akan mengecek siapa teman-teman bergaulnya, seberapa perhatian dan pedulinya pihak sekolah pada pertumbuhan kecerdasan kognitif anak. Guru pun akan melakukan hal yang sama. Mencari hubungan peristiwa dengan kondisi sehari-hari anak di rumah, bagaimana interaksi yang terjalin antara anak dan orang-orang dewasa yang tinggal serumah dengannya. Demikian pula lingkungan masyarakat tempat anak-anak tumbuh besar. Tatkala sesuatu yang buruk menimpa seorang anak, semisal terlibat dalam perkara kriminalitas, maka sasaran yang pertama sekali dicari biangnya adalah keluarga dan sekolah tempat ia menimba ilmu selama ini.
Demikianlah hukum kehidupan berlaku. Hal tersulit untuk diterima dan diakui ketika muncul masalah adalah melongok ke dalam batin, mungkinkah penyebabnya berasal dari sana? Ahwal ini mengemuka karena manusia memelihara obsesi dan kecenderungan ingin menampilkan citra diri yang baik, tanpa cacat atau cela kepada orang-orang dan lingkungan luarnya. Sesuatu yang paradoks, karena kondisi batin, pikiran, dan jiwanya tidak selaras dengan nilai-nilai yang ingin ditampilkan. Sebuah fiksasi omong kosong yang akan kembali menampar wajah sendiri.
Seyogianya hanya hati yang dipenuhi nilai-nilai kebajikan yang mampu memancarkan kebaikan yang sama pula. Apa yang terjadi di dalam, itu pula yang akan tampak keluar. Jika kita tidak pernah menanam padi, jangan berharap ia akan tumbuh. Berbeda dengan rumput liar, tanpa kita tanam pun ia selamanya akan tumbuh dengan mudah. Maka mengusahakan dan merekayasa perilaku baik pada anak-anak wajib dilakukan. Jika orangtua tidak pernah melakukan itu, maka batin anak akan terisi oleh nilai-nilai yang sebaliknya. Seperti rerumputan yang tumbuh liar.
Salah satu kunci rahasia bisa mengendalikan anak kendati ia berjarak ribuan kilo dengan orangtuanya adalah membangun harga dirinya. Dengan memiliki harga diri yang kuat, anak-anak tidak perlu diawasi sepanjang masa hidupnya. Sayangnya, harga diri bukanlah sesuatu yang bisa diturunkan, seperti halnya warna rambut, kulit, bentuk hidung, mata, dan sebagainya. Ia pun bukan ramuan ajaib yang dapat dicampurkan ke dalam minuman atau makanan mereka.
Harga diri adalah mengenai cara kita memperlakukan anak-anak sejak lahir, bahkan beberapa bulan sebelumnya. Bagaimana kita sebagai orangtua mampu menempatkan mereka di atas segala urusan penting lainnya. Hanya karena seorang bayi dan batita (bawah tiga tahun) belum dapat berbicara, kita lantas mengira mereka belum memiliki kemampuan merekam dan mengamati. Padahal perkembangan bayi sudah dimulai saat usianya masih sekitar lima bulan sebelum dilahirkan. Melakukan beberapa stimulus pada janin dalam kandungan, terbukti sangat bermanfaat dalam turut membentuk fondasi perilakunya kelak setelah lahir.
Membangun harga diri sejak masih dalam kandungan
Sebagaimana dijelaskan dalam buku Cara Baru Mendidik Anak Sejak dalam Kandungan karya F. Rene Van de Carr, M.D. dan Marc Lehrer, Ph. D., ada delapan prinsip dasar yang membentuk fondasi filosofis dan prosedur Pendidikan Pralahir.
Pertama, Prinsip Kerja Sama. Orangtua dan anggota keluarga lain perlu belajar bekerja sama untuk mencapai kesejahteraan bayi sebelum ia dilahirkan, sehingga mereka akan mengetahui bagaimana bekerja sama setelah bayi lahir.
Kedua, Prinsip Ikatan Cinta Pralahir. Latihan-latihan Pendidikan Pralahir membantu mempersiapkan untuk menerima kehadiran sang bayi. Stimulasi gerakan dan sentuhan membantu bayi belajar memberi dan menerima kasih sayang.
Ketiga, Prinsip Stimulasi Pralahir. Dengan memberinya aneka ragam stimulasi indra pendengaran seperti suara ibu, stimulasi indra penglihatan, dan indra peraba seperti gelitik akan memberikan stimulasi sistematis bagi otak dan perkembangan saraf bayi sebelum dilahirkan. Semakin banyak bukti ilmiah menunjukkan bahwa kegiatan semacam itu membantu otak bayi menjadi lebih efisien dan menambah kapasitas otak bayi sebelum kelahiran sampai ia berusia kira-kira dua tahun.
Keempat, Prinsip Kesadaran Pralahir. Latihan-latihan ini memiliki potensi mengajarkan bayi untuk menyadari bahwa tindakannya mempunyai efek. Dalam permainan bayi menendang, misalnya, ketika ia menendang perut ibunya di satu tempat, tangan si ibu membalas menekan di tempat yang sama. Kenyataan bahwa bentuk stimulasi lingkungan ini dapat diajarkan sebelum kelahiran mempunyai potensi besar dalam mempercepat bayi belajar tentang sebab akibat setelah ia dilahirkan.
Kelima, Prinsip Kecerdasan. Albert Einstein dikabarkan telah menjawab sebuah pertanyaan mengenai kecerdasannya bahwa “Rahasia kecerdasan saya yang tinggi adalah bahwa saya belajar sesuatu yang baru setiap hari dalam hidup saya.” Dalam Program Pendidikan Pralahir mencakup latihan-latihan untuk menarik minat bayi yang sedang berkembang terhadap sensasi dan urutan yang dapat dipahami sebelum kelahiran. Setelah lahir, bayi mungkin menjadi lebih perhatian.
Keenam, Prinsip Mengembangkan Kebiasaan-Kebiasaan Baik. Orangtua mulai mengembangkan kebiasaan-kebiasaan baik seperti berbicara dengan jelas kepada bayi, mengharapkan si bayi akan menanggapi, dan mengulang latihan-latihan dengan perasaan senang. Kebiasaan-kebiasaan ini kemudian dengan mudah diteruskan setelah bayi lahir.
Ketujuh, Prinsip Melibatkan Kakak-Kakak sang Bayi. Dengan ikut serta dalam latihan-latihan Pendidikan Pralahir, anak yang lain akan merasa penting dan tidak diabaikan. Mereka belajar berharap bahwa adik bayi akan belajar dari mereka. Anak-anak akan merasa yakin bahwa posisi mereka dalam keluarga aman sekalipun waktu ayah dan ibu untuk mereka berkurang.
Kedelapan, Prinsip Peran Penting Ayah dalam Masa Kehamilan. Penelitian telah membuktikan bahwa hubungan baik antara ayah dan bayi sangat berkaitan dengan perkembangan kemampuan sosial anak. Karena banyak latihan Pendidikan Pralahir dapat dilakukan dengan mudah oleh ayah, dan sang bayi akan lebih menanggapi nada dalam suara ayah.
Anak-anak, remaja, dan orang dewasa setiap hari, setiap waktu, berpotensi mengalami penggerusan harga diri. Gesekan-gesekan antarsaudara di dalam rumah, selisih paham dengan orangtua, konflik dengan teman atau guru di sekolah, atau masalah-masalah lain yang kerap muncul dalam pergaulan sehari-hari. Namun jika harga diri seseorang cukup besar, maka kesemuanya itu tidak akan memberikan pengaruh yang berarti pada dirinya.
Pesan-pesan cinta yang kita berikan setiap hari pada anak-anak akan mampu meningkatkan stok harga dirinya. Banyak melakukan perbincangan dan diskusi terbuka dengan mereka. Berfokuslah pada kekuatan tinimbang kelemahannya. Bimbing mereka melalui pertanyaan alih-alih banyak memberitahu. Gigit lidah kuat-kuat setiap kali ingin menasihati. Karena belum tentu apa yang kita pikir bermanfaat buat mereka, sama dengan yang mereka rasakan saat menerima pesan tersebut. Harga diri perlu dibangun dan dikuatkan, bukan dihancurkan dan dilemahkan.