Sahabat Kecil Di Kota Kecil Sentani

Tulisan ini adalah sepenggal cerita masa kecil, tentang sahabat kecil, di kota kecil, Kota Sentani Jayapura. Pada awal tahun 1990, dari tanah Sulawesi berangkatlah satu keluarga: ayah, ibu, dan kelima anaknya, menyeberangi pulau Sulawesi, hendak berlabuh ke Pulau Cendarawasih, Irian Jaya (kini Papua). Untuk sampai di tujuan, keluarga kecil itu menempuh perjalanan laut, lima hari lima malan lamanya,  dengan menumpangi KM Sirimau. Di semanjana waktu, di atas kapal, keluarga kecil itu bertemu dengan seorang yang berlaku baik, menawarkan bantuan apa saja termaksud mengajak keluarga itu menjajal seluruh venue yang ada di atas kapal. Belakangan, sehari sebelum kapal sandar di pelabuhan Jayapura, ternyata orang tersebut menghilang entah kemana,di waktu bersamaan pula, barang bawaan keluarga kecil itu pun lenyap entah kemana, ternyata baru disadari, orang tersebut adalah pencuri berkedok menawarkan jasa. Itulah pengalaman pahit pertama yang dialami keluarga kecil itu, yang baru saja menginjakkan kaki di tanah rantau.

Sandar di pelabuhan Jayapura, pelabuhan yang dikelilingi oleh tebing dan pepohonan rimbun nan hijau, membuat mata terkesima, anak kedua dari lima bersaudara, yang baru saya berusia tujuh tahun itu, lantas membatin, “Di manakah saya berada? Inikah negeri baru saya?” (merasa heran dengan kondisi yang beda dengan lingkungan asalnya). Turun dari atas kapal, tidak lantas keluarga kecil itu langsung meninggalkan pelabuhan, mereka mesti menunggu berjam-jam lagi, untuk menurunkan barang bawaan yang telah dipacking dalam peti besar yang terbuat dari kayu. Setelah semuanya beres, lalu mereka menuju ke rumah kerabat yang sudah lama bermukim di kota Jayapura. Dari rumah kerabat itulah, keluarga itu mendapat petunjuk, agar, untuk paruh waktu mereka  mesti ditampung  terlebih dahulu di wisma penampungan transmigrasi di daerah Sentani, yang jarak tempuhnya kurang lebih 60 kilometer dari kota Jayapura. Dengan menumpangi bus milik Departemen Transmigrasi (kala itu masih status Departemen), keluarga kecil itu dibawa ke tempat yang telah dijanjikan. Untuk sampai ke wisma Transmigrasi, meski memangsa waktu kurang lebih dua jam perjalanan. 

Kurang lebih  enam bulam keluarga kecil itu menetap di Wisma Trasmigrasi, sembari menunggu pemberian rumah oleh pihak Departemen Transmigrasi Irian Jaya (Papua). Selama bermukim di wisma, kelima anaknya yang masih berumur belia akan disekolahkan, kemudian, bapak dari anak-anak itu mencari tahu sekolah SD terdekat di mukim mereka, maka, di pagi hari diajaklah anak-anaknya untuk pertama kali meninjau sekolah yang bakal di tempatinya. Sekolah itu bernama SD Inpres  Abeale, letaknya berada di pusat ekonomi kota Sentani, tidak jauh dari pasar sentral Sentani. Kebetulan pagi itu sekolah lagi sunyi, karena bertepatan dengan waktu liburan sekolah. Setelah meninjau lebih dekat, bapak pun mengajak anak-anaknya ke pasar untuk melihat aktivitas jual beli, yang letaknya bersebelahan dengan lokasi sekolah. Di pasar tersebut bapak banyak berinteraksi dengan sesama paratauan dari tanah Bugis-Makassar, mereka pun senang bisa bertemu dengan saudara sekampungnya.

****

Waktu sekolah tiba, inilah hari pertama bersekolah, begitu pun anak-anak dari keluarga kecil itu. Di hari pertama, sang ibu mengatarkan anak- anak mereka. Hampir seminggu sang ibu mengantarkan anak-anaknya yang baru belajar menyesuaikan diri di lingkungan sekolahnya. Setelah seminggu bersekolah, lalu mereka dilepas.  Namun ada peristiwa menarik, selepas pulang sekolah, anak-anak itu berlarian ketakutan, sebab, mereka baru saja dikejar oleh suku setempat dengan mengunakan tombak dan panah. Sontak saja anak itu histeris ketakutan, ternyata, setelah diselidiki, orang tersebut mabuk setelah menenggak minuman keras terlalu banyak. Setelah tiga hari absen sekolah, karena memulihkan rasa trauma, anak-anak mulai bersekolah lagi, lambat laun rasa trauma itu hilang, anak anak pun sudah terlihat ceria bersama teman-temannya di sekolah.

Anak kedua dari lima bersaudara, sebut saja Apri, duduk di kelas dua, sedangkan adik ketiganya duduk di kelas satu dan kedua adiknya lagi belum sekolah, satu lagi kakaknya berada di kelas enam. Di dalam kelas Apri sebangku dengan Anto Serang dari namanya sudah bisa dikenali, dia anak perantauan dari tanah Makassar. Kelak, Anto Serang adalah sahabat sejati Apri. 

Waktu terus berjalan, setelah enam bulan berlalu, akhirnya keluarga kecil itu sudah mendapatkan rumah layak huni oleh pihak Departemen Trasmigrasi, tempat bapaknya bekerja. Meski  rumah sederhana, mereka sangat bersyukur, apalagi rumah itu sering dijadikan tempat persinggahan bagi para perantau dari tanah Sulawesi. 

Berawal dari teman sebangku di kelas dua SD. Di sinilah  bibit persahabat Apri dan Anto Serang tumbuh bersemai, sejak itu mereka selalu dekat, makin lama, mereka  makin tak terpisahkan, seakan jiwa mereka telah menyatu secara emosional, apalagi meraka punya hobi yang sama, yakni sepak bola. Hari-hari indah mereka lewati bersama,bermain bersama, mengerjakan tugas sekola bersama, pulang sekolah bersama, hampir seluruh aktivitas mereka lakukan bersama-sama. Kebersamaan mereka berdua terus berlanjut dari jenjang kelas dua hingga kelas lima. Sehari saja tak bertemu, ada yang kurang rasanya. 

Menaiki kelas enam, mereka berpisah kelas, Apri di kelas enam A, sedangkan Anto Serang di kelas enam B. inilah perpisahan mereka pertama kali, disebabkan keadaan sekolah. Sebenarnya perpisahan itu juga pernah terjadi di kelas empat, namun, karena Apri ngotot tak mau berpisah, akhirnya mereka disatukan kembali. Banyak siswa yang menghindari kelas itu, sebab, wali kelasnya terkenal galak dan suka ngamuk-ngamuk tanpa alasan. Meski begitu, Apri tetap ingin sebangku dengan Anto Serang. 

Selama mereka bersama di setiap jenjang kelas, prestasi mereka berdua tak pernah terkalahkan dengan siswa lainnya, faktornya, karena mereka selalu merasa happy bila mengerjakan sesuatu bersama-sama. Jika mengutip teori Happinness Inspire yang dipopulerkan oleh  Arvan Pradiansyah, seorang motivator nasional, mengatakan,  “Kinerja seseorang dapat maksimal hasilnya, jika, kebahagian menghidu dalam dirinya“. Sungguh kebahagianlah yang mengikat persahabatan mereka.

Kebahagian itu mulai surut, tatkala kedua sahabat kecil itu terpisahan secara fisik pada jenjang kelas enam, hari-hari mereka tidak seperti biasanya, mesti tiap harinya ketemu di sekolah, namun kebersamaan mereka mulai berkurang, tidak lagi belajar bersama, dan pulang sekolah pun tidak bersama-sama lagi. Keadaan ini berlangsung hingga mereka menamatkan diri di sekolah tersebut dengan prestasi yang kurang memuaskan. Dengan keadaan itu, sebenarnya, mereka berdua diam-diam menyimpan perasaan kurang nyaman, sehingga secara psikologis mempengaruhi buruknya prestasi belajar mereka. 

****

Cerita persahabatan dua anak kecil itu berlajut, manakala mereka mamasuki jenjang SMP. Kala itu, di Kota Sentani hanya terdapat dua SMP Negeri, sala satunya SMP Negeri 2 Sentani, letaknya berada di sebelah barat kota Sentani. Di sanalah Apri dan Anto Serang memutuskan pilihannya untuk bersekolah. Pucuk dicinta, ulam tiba, akhirnya alam pun menyatukan kembali dua sahabat kecil itu. Saat pertama kali mulainya proses belajar mengajar, Apri dan Anto berada dalam satu kelas yang sama, yaitu kelas satu E, dan kembali menjadi teman sebangku seperti masa SD dulu. Api semangat yang pernah redup, menyala kembali, kedua sahabat itu melakukan aktivitas bersama-sama lagi. 

Selama menjalin persahabatan, bukan berarti, karakter mereka berdua sama. Anto Serang  yang berasal  dari trah Makassar asli, mempunyai mental keberanian yang kuat, sedangkan Apri sedikit lembut, meski dia juga Trah Makassar campuran, keduanya saling melengkapi, ibarat sifat jalalliyah dan jamalliyyah ciptaan tuhan.

Keberadaan Anto dan keluarganya di Kota Sentani sudah cukup lama, bapaknya Dg. Serang adalah seorang tokoh masyarakat yang sangat disengani oleh warga lokal maupun pendatang, jika kita menyebut namanya, hampir seantero Kota Sentani mengenalnya, begitu juga anggota keluarganya.

Kebersamaan Apri dan Anto Serang selama di SMP, memangsa waktu tidak cukup setahun lamanya, kondisilah yang mengharuskan mereka berpisah selamanya, Apri dengan berat hati harus meninggalkan Kota sentani sebagai tanah rantaunya, kembali ke kampung asalnya, Kota makassar. Kebersamaan yang lagi hangat-hangatnya itu tercerai-berai bukannya tanpa alasan, ibu Apri yang sering sakit-sakitan selama di perantauan, menjadi sebab keluarga Apri memustukan kembali pulang ke asalnya. 

Mendengar rencana kepulangan keluarga Apri banyak orang menyesalkan, baik datang dari tetangganya, teman-teman sekolah Apri, hingga guru-guru SMP Negeri 2 Sentani, meraka berharap keluarga Apri tidak meninggalkan Kota Sentani. Dari semua orang yang menyesali, Apri dan Anto Serang lah yang paling merasakan kehilangan, mereka berdua pun hanya bisa pasrah menerima keadaan, meski sedih, mereka enggan mengungkapkannya.

Mendengar rencana kepulangan Apri ke Kota Makassar, diam-diam Anto Serang merencanakan rangkaian acara perpisahan, beberapa teman SD dan SMP diajaknya ke acara tersebut, acara perpisahan itu berlangsung di tempat wisata kolam renang yang berada di kaki gunung Cycloop Sentani. Di akhir acara itu, Apri sengaja membawa kamera untuk mengabadikan momen yang bersejarah itu, sayang, setelah hendak dicetak, ternyata rool film kameranya terbalik, sontak saja Apri sangat sedih, sebab foto-foto yang akan dijadikan kenangan tak bisa tercetak.

Akhirnya, hari perpisahan kedua sahabat kecil itu tiba, itulah hari yang menindih keduanya, sore itu, Anto Serang sengaja datang seorang diri ke mukim Apri, untuk melepas dan melihat terakhir kalinya sahabat kecilnya itu. Saat Apri sudah berada di atas mobil yang hendak mengantarnya ke pelabuhan Jayapura. Tetiba Anto serang muncul dari sela-sela para pengantar, dari balik jendela mobil, keduanya saling memandang penuh haru, tak senjaga bulir-bulit air mata menetas di pipih keduanya. Masih terpahat jelas, baju yang dikenakan Anto Serang kala itu, adalah baju pemberian Apri. Itulah hari perpisahan mereka selama-salamanya, setelah dua puluh tahun berpisah, beredar kabar Anto Serang telah kembali keharibaanNya, akibat kecelakaan maut yang dialaminya. 

****

Hari demi hari, tahun ke tahun berlalu, kini, Apri menjalani kehidupannya di Kota Makassar, begitupun Anto Serang di Kota Sentani. Kehidupan Apri di Kota Makassar, sangat berbeda ia rasakan tatkala masih berada di Kota Sentani, semenjak kedua sahabat itu terpisah, di waktu bersamaan, prestasi belajar Apri menurun drastis. 

Di Kota Makassar, Apri disekolahkan di SMP Negeri 2 Makassar, letaknya berada di tengah-tengah Kota Makassar, persisnya sebelah barat Kota Makassar. Sebenarnya Apri tidak terlalu nyaman belajar di sekolah tersebut, sebab, fasilitas olahraga untuk menyalurkan hobi Apri tidak tersedia, beda halnya sekolah- sekolah yang berada di Kota Sentani, sebagian besar mempunyai lahan yang luas, sehingga dapat digunakan untuk berolaraga, terutama sepak bola. Namun sebaliknya, sekolah-sekolah di Kota Makassar, kebanyakan berupa bagunan bertingkat yang luas lahannya terbatas untuk berolahraga.

Setelah lulus SMP, lalu Apri melanjutkan ke jenjang berikutnya, hingga meraih predikat sarjana di Universitas Muhammadiyah Makassar. Dari rentetan waktu itu, tidak sekalipun kedua sahabat itu saling berkabar, baik melaui surat, surel, maupun seluler. 

Setelah 20 puluh tahun berlalu, zaman berkembang pesat, jarak, waktu, dan tempat tak lagi menjadi rintangan sesama person saling berinteraksi. Dengan menggunakan gaway, Apri mencoba melacak keberadaan sahabatnya itu, namun sayang, usahanya itu kandas, Apri tidak menemukan jejak digital Anto Serang. Tanpa kehilangan aral, Apri tidak mau menyerah, terus mencari jejak digital sahabat kecilnya itu. 

Secercah titik terang mulai tersingkap, Apri menemukan seorang wanita yang mirip dengan nama marga Daeng Serang. Dalam term suku Makassar, Daeng merupakan nama yang diberikan orang tua kepada anaknya, sebagai penghambaan nama Allah Swt, dan pengharapan dari doa, agar anak tersebut menjadi manusia yang baik. Belakangan, wanita tersebut diketahui sebagai adik kandung Anto Serang, dari keterangan adiknya itulah, Apri mengetahui bahwa sahabat kecilnya itu telah meninggal dunia kurang lebih 10 tahun silam.

Mendengar sahabat itu telah tiada, seketika Apri terdiam, pikirannya menjajal 20 tahun silam saat masih berada di Kota Sentani, kenangan bersama Anto Serang sejak SD hingga SMP di kota kecil itu. Bulir- bulir air membentuk kristal di pelupuk mata apri, lalu jatuh membasahasi  pipinya. Dalam hati,  Apri menyesalkan dirinya, mengapa sejak berada di Makassar dirinya tidak pernah berkabar melaui surat-menyurat kepada sahabat itu.

Lanjut cerita, adik Anto Serang menerangkan lebih lanjut, Anto Serang mengalami kecelakaan bersama teman-temannya, namun kakaknya saja yang mengalami kematian. Kematian yang tiba-tiba itu membuat keluarganya sedih, dan beredar kabar, kematian kakaknya itu menimbulkan desas-desus. Tidak mau masalah itu berkepanjangan, pihak keluarga Anto Serang mengubur dalam-dalam persoalan tersebut, agar tidak menjadi polemik di kemudian hari. Begitulah keterangan adiknya kepada Apri.

Mendengar kronologis peristiwa tragis itu, kesedian Apri makin besar. Sejak mendengar peritiwa nahas itu, dalam hati, Apri meneguhkan dalam dirinya, bahwa, dalam setiap doanya selalu menyertai nama sahabatnya itu, agar mendapat ketenangan dan keselamatan di alamnya. Selain doa yang selalu dirapalkan, Apri mempunyai obsesi, jika kelak diberikan kesempatan dan kemampuan, maka dia akan menziarahi makam sahabat kecilnya, di kota kecil Sentani.  

  • Semuanya bermula dari kesepakatan. Sepakat untuk menamakan media Kelas Literasi Paradigma Institute, yang bentuknya berupa lembaran, dengan nama Kala. Sejak kelas literasi ini dibuka untuk gelombang kedua, di pertemuan perdana pun sepakat untuk melahirkan media Kala ini. Banyak nama yang diusulkan, tetapi yang disepakati adalah Kala. Sepenggal kata yang diusulkan oleh Rahmat Zainal. Kala, bisa…

  • Pada akhirnya, hanya dua hal; disiplin dan sikap gigih. Biar bagaimanapun jadi penulis harus disiplin. Ini berarti di situ perlu pola, suatu rencana. Agak susah mau sebut disiplin, kalau di situ tidak ada suatu rencana. Penulis, saya kira orang yang punya agenda; dia menghitung, merancang, menetapkan. Dia mengklasifikasi bacaannya. Menulis catatannya. Dan, menyusun tulisannya. Sikap…

  • Pekan ke tujuh, kelas menulis PI agak molor. Hampir dua jam. Kesepakatannya, kelas harus dibuka pukul satu siang. Minggu lalu masih menumpuk beberapa tulisan, makanya perlu tambah waktu. Tapi, kelas dimulai sekira pukul tiga. Kawankawan satu persatu datang. Kelas mulai ramai. Yang buka kelas Heri. Saya, yang diplot jadi ketua kelas memilih bagi tugas. Kebiasaan…

  • Ini pekan yang panjang, terutama Kelas Menulis PI. Sudah jauhjauh hari tulisan diposting, sudah jauh sebelumnya kritik diajukan. FB jadi media, untuk tulisan dapat masukan. Sebelumnya tidak ada macam begitu. Ini hal yang baru. Sudah dua pekan hujan urung berhenti. Langit jadi basah, hitam. Tak sering malah bikin waswas. Apakah kawankawan mau datang, biar pun…

  • Awalnya agak ragu kelas menulis PI tidak jadi digelar. Tibatiba hujan datang. Deras. Tapi, selama berlangsung, kelas PI tidak pernah bolong. Sudah hampir tujuh bulan kelas dibuka. Sekarang, yang diuji konsisten. Juga disiplin. Semangat bisa datang, bisa lapuk, bahkan hilang. Kali ini biar bagaimana pun kelas tak boleh gagal. Pasca hujan reda, gegas berangkat. Semangat…


Kala Literasi

Jl. Pa’ Bentengang No.6, RT.01/RW.08, Mangasa Kec. Tamalate, Kota Makassar, Sulawesi Selatan 90221