Pembalasan

Emosi saya ikut meluap saat seorang psikopat bernama Kyung Chul, dalam film I Saw the Devil (2010) menyiksa Joo Yeon dengan sangat kejam. Kepala perempuan itu dipukul. Tengkoraknya pecah. Membuat air matanya mengalir bersamaan dengan mengucurnya darah, melumuri tubuhnya yang mungil.

Siapapun akan merinding bercampur geram melihat penyiksaan yang menimpa Joo Yeon yang tanpa sebab, tanpa alasan pasti, tanpa tahu kesalahan apa yang sudah dilakukannya. Ia bahkan dimutilasi. Kepalanya dipisahkan dari tubuhnya dan dibuang ke sungai.

Sadis. Kematian yang mengundang air mata. Kematian yang membangkitkan iblis dalam jiwa rapuh Soo Hyun, suami Joo yeon. Hingga pria yang berprofesi sebagai polisi itu memutuskan untuk balas dendam. Saya pun merasa senang dan puas atas balas dendam dramatis yang dilakukan Soo Hyun kepada psikopat itu.

Pembalasan, dalamI Saw the Devil merumuskan dirinya sebagai lex talionis: mata diganti mata. Menghukum seseorang dengan luka dan kepedihan yang sama. Suatu konsep keadilan purba yang sudah diterapkan oleh umat manusia, sejak era Babilonia.

Lex talionis menjadi nampak jelas saat menyaksikan metode penyiksaan Soo Hyun kepada sang psikopat: melukai targetnya, membebaskannya, kemudian mencarinya lagi untuk disiksa, seterusnya demikian. Drama balas dendam itu diakhiri dengan pemenggalan kepala sang psikopat.

Satu kata: puas. Seolah-olah lex talionis adalah suatu hal yang sangat kuinginkan terjadi dalam tragedi balas dendam itu. Seolah-olah hati kecil saya berkata “itulah keadilan”. Saya menyadari respons saya saat menonton I Saw the Devil adalah suatu kekeliruan.

Namun tak bisa dimungkiri, secara psikologis manusia punya sisi schadenfreude yang membuatnya bahagia melihat orang lain menderita, apalagi jika penderitaan itu dialami oleh seseorang yang dibencinya.

Akhir-akhir ini, kecenderungan demikian semakin kentara pada kasus yang menimpa Ade Armando. Pengalaman menonton I Saw the Devil teringat kembali saat menyaksikan orang-orang berbahagia ketika Ade Armando disiksa dengan brutal, dan dilucuti atas nama balas dendam. Seolah-olah kejahatan, meminjam terminologi Hannah Arendt, dianggap sebagai kewajaran: banality of evil.

Ade Armando memang punya banyak musuh. Selama berkiprah sebagai pegiat media sosial, Ade Armando paling lantang mengkritik Habib Rizieq, FPI, dan cara pandang keislaman yang radikal.

Juga, ia menjadi yang terdepan membela pemerintah dari narasi kelompok anti-pemerintah. Sedikit-banyak praktik itu ia lakukan disertai dengan kekerasan verbal. Momen balas dendam pun akhirnya tak terelakkan saat Ade Armando bertemu dengan massa yang tak menyukainya.

Bahkan terdengar suara samar pelaku yang mengatakan dosen Universitas Indonesia itu halal darahnya, saat tragedi memilukan itu terjadi. Kalimat mengerikan yang mengindikasikan, jika Ade Armando sudah lama menjadi sasaran kekerasan: target balas dendam. Kejadian tersebut membuat saya merenungi kembali makna lex talionis.

Pertanyaan-pertanyaan filosofis memugar di pikiran saya yang mendung: Apa sebenarnya keadilan itu? Apa arti balas dendam? Mengapa orang-orang sangat menginginkan hukuman setimpal meski dengan kekerasan— suatu perasaan yang juga pernah saya alami? Bukankah itu sama halnya membenarkan kejahatan? Lantas apa gunanya menjadi manusia jika kekerasan menjadi suatu yang banal?

Di sela-sela permenunganku, pikiran saya justru berkelana menuju Arab ribuan tahun lalu, dan singgah pada sosok Nabi Muhammad Saw. Kok, bisa-bisanya ada manusia yang ketika diludahi seorang Yahudi, tidak membalas dengan ganjaran yang setimpal. Bahkan ia menjenguk seorang Yahudi itu saat ia sakit.

Ketika hampir diracun oleh seorang Yahudi, ia justru merelai sahabat yang ingin membunuh seorang Yahudi itu, dan memaafkan pelaku. Bahkan ia rela memaafkan dan membebaskan orang-orang Quraisy yang membencinya, yang selalu menindas pengikutnya, ketika ia berhasil mengambil alih Mekkah.

Memang terasa gila untuk ukuran manusia biasa seperti kita. Tapi setidaknya, Nabi Muhammad memberi insight pada kita semua, bahwa membela keyakinan, memperjuangkan kebenaran, dan menegakkan keadilan tidak harus melalui jalan kekerasan, tidak harus mata dibayar mata.

Karena jika lex talionis dijadikan hukum untuk mengadili, maka kata Mahatma Gandhi, “seluruh dunia akan buta”. Sebuah alegori yang mengisyaratkan dampak yang besar bagi manusia jika keadilan ditegakkan dengan jalan kekerasan.

Orang-orang mungkin bisa berkelit: “ah kita kan bukan Nabi”. Memang benar. Kita tak bisa menampik kedaifan manusia. Justru karena itulah saya merasa puas melihat sang psikopat teraniaya, sekelompok orang dapat tergoda menghukum Ade Armando dengan keji sambil meneriakkan takbir.

Juga karena kedaifan manusia, Ade Armando dapat tergoda melakukan kekerasan verbal, dan pemerintah dapat menjalankan hukum dengan berat sebelah, bahkan sering mengingkari regulasi yang dibuatnya sendiri. Hal yang mungkin membuat kita sedikit bijaksana sebagai manusia adalah kerelaan mengakui kesalahan dan kesediaan mengakui dosa saat kita membenarkan suatu kejahatan.

Ketika kita berbahagia atas penderitaan orang lain, jika kita membuat banyak orang sakit hati karena perkataan kita, dapatkah kita sejenak merasa bersalah dan bersedia menghukum diri sendiri? Entahlah. Karena iblis yang bersemayam di jiwa kita dapat kapan saja menampik kebijaksanaan seperti itu.

Namun tidak untuk Soo Hyun. Setelah dendam dibayar tuntas, ia berjalan dengan langkah gontai. Menerobos keheningan. Wajahnya menampakkan kesedihan yang teramat dalam. Hingga tak kuasa membendung air matanya. Mungkin karena ia teringat pada sang Istri. Atau bisa jadi penyesalan membuncah di sela-sela rasa kemanusiaannya. Yang kita tahu ia tak bahagia. Ia tak bersorak sorai atas kemenangannya.

  • Dalam satu dasawarsa terakhir, Kabupaten Bantaeng telah tampil sebagai barometer gerakan literasi, khususnya di Provinsi Sulawesi Selatan. Ketika kata “literasi” belum sepopuler hari-hari ini, pegiat literasi di Bantaeng sudah bergerilya menyebar benih gerakan literasi yang kini sudah tumbuh subur. Langkah-langkah gerilyanya ketika itu berupa pelatihan kepenulisan, diskusi buku, dan lapak-lapak baca. Di kemudian hari, langkah…

  • Adelio membuka mata ketika menyadari ombak Perairan Cempedak mengombang-ambing tubuhnya. Ia melihat ke bawah dan mendapati kedalaman laut yang tak terhingga. Ia mendongak ke langit, semburat cahaya matahari baru saja hendak menyapanya dari ufuk timur. Ia baru saja menyadari bahwa dirinya telah mengapung semalaman di tengah laut setelah mendapati sebagian kulitnya yang mulai mengeriput. Ia…

  • Buku terbaru Sulhan Yusuf, Gemuruh Literasi: Sederet Narasi dari Butta Toa boleh dibilang sebagai pembuktian, jika usia bukanlah aral melintang bagi seseorang untuk produktif dalam berkarya. Tapi, insight yang diwedarkan Gemuruh Literasi sebenarnya lebih dari itu. Buku ini adalah jawaban bagi rasa penasaran sebagian orang yang hendak mengetahui gerakan literasi Sulhan di Bantaeng. Kerja-kerja kultural yang…

  • Judul tulisan ini saya pinjam dari ungkapan Profesor Cecep Darmawan—dosen saya ketika studi magister beberapa waktu lalu. Beliau guru besar yang egaliter dan seringkali tampil di publik (media dan forum) untuk berbagi gagasan dan pencerahan. Seingat saya ungkapan itu beliau sampaikan saat kami kuliah “Pendidikan Politik Generasi Muda”. Saya terkesan dengan ungkapan itu, selain indah…

  • Membicarakan suatu topik, dalam hal ini filsafat Islam, maka rasa-rasanya kurang afdal apabila tidak memasukkan nama al-Ghazali di dalamnya. Akan tetapi bila seseorang mau menempatkan al-Ghazali dalam sejarah filsafat Islam, tentu ia harus membuat beberapa catatan. Poin utamanya bahwa al-Ghazali tidak menganggap dirinya filosof dan tidak suka dianggap sebagai seorang filosof. Ini tak hanya menjelaskan…


Kala Literasi

Jl. Pa’ Bentengang No.6, RT.01/RW.08, Mangasa Kec. Tamalate, Kota Makassar, Sulawesi Selatan 90221