Berdakwah Menyerupai Sastrawan

Jika Anda mengetik how many muslims in the world di bilah mesin pencari,  maka dalam sepersekian detik akan terpampang pada layar telepon cerdas Anda, ratusan bahkan ribuan informasi tentang populasi umat Islam di bumi. Dilansir dari World Population Review, dari 7 miliar lebih jumlah umat manusia di persada bumi, 1,91 miliar jiwa di antaranya tercatat sebagai muslim. Angka ini sekaligus menjadikan Islam sebagai agama pemeluk terbanyak kedua setelah agama Kristen. Sudah sebanyak itu ternyata jumlah umat Islam di pentas bumi. Menengok kembali ke belakang, Islam lahir dalam keadaan asing di tengah ingar-bingarnya tradisi jahiliah masyarakat Arab. Menyembah berhala, suka berperang, mengoleksi selir, dan yang paling bejat adalah mengubur bayi wanita hidup-hidup. Hingga hadirnya Islam sebagai jalan revolusi yang dikomando langsung oleh Nabi Muhammad saw kala itu. Tidak bisa tidak, tradisi jahiliah itu pun berangsur dijauhi dan akhirnya lenyap bersamaan dengan runtuhnya berhala-berhala.

Berawal dari kanjeng Nabi seorang diri didampingi bunda Khadijah yang terkasih. Tak ketinggalan pula seorang anak kecil bernama Ali, yang kelak didapuk sebagai menantu oleh Nabi dan diangkat menjadi pemimpin umat Islam yang tertinggi (khalifah).  Kemudian disusul Abu Bakar, seorang business man yang tajir melintir. Disusul juga oleh beberapa sahabat terpuji yang namanya harum seantero bumi. Akhirnya genaplah menjadi sepuluh orang pemberani. Jumlah yang sedikit, kurang satu untuk menyamai keseblasan tim bola kaki. Namun dari sepuluh orang inilah hadir 1,91 miliar yang ada kini. Mungkin muncul sejumput tanya dari dalam hati. Mengapa bisa umat Nabi yang awalnya hanya hitungan jari, kini jumlahnya menyelimuti bumi? Jawabannya karena dakwah santun nan terpuji.

Dakwah Nabi dimulai dengan menyambangi rumah-rumah sanak saudara, kemudian ke masyarakat luas. Karena sang Nabi membawa ajaran yang kontra dengan kepercayaan masyarakat Arab kala itu. Tidak bisa tidak, Islam ditolak, ditentang bahkan dimusuhi. Tak jarang Nabi dihina, dilempari kotoran juga batu, ingin dihabisi, dituduh gila, tukang sihir dan kalimat-kalimat pejoratif  lainnya. Namun Kanjeng Nabi tetap berlaku sopan bin santun kepada mereka. 

Dakwah menjadi jalan ampuh dalam mengepakkan sayap-sayap Islam. Islam bisa menyebar ke seantero jagat karena projek dakwah. Jika bukan karena dakwah,  maka Islam hanya dikenal di Mekah dan Madinah saja. Jika bukan karena dakwah, maka Islam hanya dikenal sebagai agama orang Arab saja.  Jika bukan karena dakwah, maka tak ada santri dan kiai di bumi Nusantara. Jika nir santri dan kiai, kemungkinan besar kita masih bersembahkan tuhan-tuhan buatan yang bersemayam di pohon rindang dan batu besar. 

Di era kekinian dan kedisinian, dakwah tidak harus capek-capek untuk mengetuk pintu rumah mad’u, yang berpotensi kita akan ditimpali cacian secara langsung atau bahkan diusir karena dianggap mengganggu. Dakwah di era kiwari bisa dilakoni sambil selonjoran, duduk santai, bahkan sedang berkendara, dengan modal gawai dan kuota internet yang cukup. Bisa dengan live streaming atau memposting wejangan islami yang menyejukkan hati di jagat maya. Gus Ulil, contohnya yang rutin dengan Ihya Ulumuddin dan Faishal al Thariqah. Jika penasaran bisa kepoin facebook beliau. Pun jika sang dai ingin berdepan-depan dengan jamaah, cukup menghelat pengajian di kediaman atau masjid dekat rumahnya, maka orang akan riuh bertandang ke sana. Ingat, jangan lupa direkam dan diunggah ke www.youtube.com. Sungguh paripurnalah sudah, lantunan dakwah bisa dinikmati oleh sekotah masyarakat di jagat maya dan nyata.

Saya teringat kala sedang bersosmed ria. Ainku terarahkan pada satu pamflet, postingan teman di jagat maya, UKM al Adab FIB Unhas. Isinya tentang dawuh dakwah, namun ada satu frasa menarik dari tubuh pamflet itu yang menjadi tagarnya. Lantunkan dakwah seindah sastra, arkian bunyinya. Setelah lama merenung, kucoba mendefinisikan satu tagar yang ‘seksi’ itu. KEINDAHAN. Jamak diketahui bahwa keindahan adalah kata yang sering dipadankan dengan sastra. Hingga bisa ditafsirkan sastra adalah sungai keindahan yang muaranya adalah salaam. Saya sepakat, sudah seharusnya ihwal yang ada di kolong langit ini memiliki unsur keindahan (baca:sastra) supaya tidak terjadi chaos. Sastra bukan hanya soal kata, puisi atau, novel. Cakupan sastra bukan hanya pada tumpukkan kertas yang Anda baca. Namun sastra adalah suatu hal yang kulli (utuh). Laku-lakon, gerak-gerik, tutur-kata anak Adam adalah hal lain yang berkelindan dan perlu disastrakan. Termasuk dakwah. 

Sejak empat tahun terakhir ini, di negeri gemah ripah loh jenawi ini, dunia dakwah berkecamuk. Klimaksnya pada 2019 silam bertepatan dengan pesta lima tahunan demokrasi (pilpres). Panggung dakwah dijadikan arena kampanye dengan narasa-narasi pejoratif yang menyerang pribadi. Bukan keindahan Islam yang disampaikan, bukan kesantunan berbicara yang ditonjolkan, tapi sikap angkuh dan pongah. Narasi dakwah sedikit banyaknya diarahkan untuk menyerang orang lain. goblok, tolol, jancok, tua bangka, sesat, tai ayam, kadrun, kampret dan kalimat pejoratif lainnya yang tak pantas diperdengarkan di mimbar dakwah. Islam dengan ajarannya yang ‘sastra’, juga Al-Qur’an sebagai kitab suci yang kaya akan ruh-ruh sastra, maka sudah sepantasnya dakwah sebagai jalan mewartakan Islam dilakoni dengan laku-lakon ‘sastra’, disampaikan dengan tutur-kata ‘sastra’ bukan dengan cacian dan sumpah serapah. 

Dalam buku Tidak di Kakbah, di Vatikan atau di Tembok Ratapan Tuhan Ada di Hatimu buah tangan Husein Ja’far al-Hadar, seorang Habib dan milenial influencer yang saleh akal dan saleh sosial. Lewat tarian kalamnya itu sang Habib mendedahkan trilogi kebijaksanaan:benar, baik dan indah. Kebijaksanaan itu bisa diraih jika tiga anasir (benar,baik dan indah) terpadu. Islam sebagai akidah yang BENAR disampaikan secara BAIK dengan dakwah (lisan maupun tulisan) kemudian dakwah itu kita perINDAH dengan sastra. Dengan menvisualisasikan tiga anasir ini, wal khusus indah, Islam lewat lisan Habib Ja’far terlihat asik. Jika tiga anasir ini mampu dikombinasikan oleh dai, maka muslim yang bijak nan bajik akan membumi di Nusantara, tak ada lagi kadrun dan kampret yang saling bersinggungan di jagat maya dan nyata.

Lantunan dakwah dengan sastra banyak diminati dan cocok untuk remaja kekinian. Dan itu disambut dengan ustaz-ustaz kondang yang di setiap cermahnya terselip untaian hikmah yang menggunggah jiwa. Gus Baha dan Ustaz Salim A. Fillah misalnya. Jika tuan dan puan ingin merambah ke puisi, bisa menyimak syair-syair Gus Mus. Atau jika Anda ingin agak mellow bisa membaca Menikmati Kepergian gubahan Alfialghazi. Berikut beberapa petikan aksara dari Alfialghazi

Apabila kita meninggalkan apa yang Allah benci maka Insyaallah, Allah akan datangkan di hidup kita sesuatu yang Allah cintai.

Kamu adalah segalanya, itu dulu. Allah adalah segalanya, itu kini dan nanti.

Untuk orang-orang yang terlalu mencintai orang sepertiku, patah hati adalah anugerah. Darinya aku sadar betapa sakitnya mencintai sesuatu melebihi cinta kita kepada Allah.

Kadang kita harus menumpahkan lebih  banyak air mata agar kelak kebahagian hadirnya terasa lebih indah dan berharga.

Segala sesuatu yang hilang di dunia ini akan kita temukan penggantinya, kecuali bila kita kehilangan Allah maka tak akan pernah kita temukan penggantinya.

penutup, saya ingin mengutip satu pameo yang masyhur di kalangan anak sastra Unhas, “Dengan sedikit cinta dan keras kepala, kabarkan sastra pada mereka yang tak  jelas berkata.”

  • Dalam satu dasawarsa terakhir, Kabupaten Bantaeng telah tampil sebagai barometer gerakan literasi, khususnya di Provinsi Sulawesi Selatan. Ketika kata “literasi” belum sepopuler hari-hari ini, pegiat literasi di Bantaeng sudah bergerilya menyebar benih gerakan literasi yang kini sudah tumbuh subur. Langkah-langkah gerilyanya ketika itu berupa pelatihan kepenulisan, diskusi buku, dan lapak-lapak baca. Di kemudian hari, langkah…

  • Adelio membuka mata ketika menyadari ombak Perairan Cempedak mengombang-ambing tubuhnya. Ia melihat ke bawah dan mendapati kedalaman laut yang tak terhingga. Ia mendongak ke langit, semburat cahaya matahari baru saja hendak menyapanya dari ufuk timur. Ia baru saja menyadari bahwa dirinya telah mengapung semalaman di tengah laut setelah mendapati sebagian kulitnya yang mulai mengeriput. Ia…

  • Buku terbaru Sulhan Yusuf, Gemuruh Literasi: Sederet Narasi dari Butta Toa boleh dibilang sebagai pembuktian, jika usia bukanlah aral melintang bagi seseorang untuk produktif dalam berkarya. Tapi, insight yang diwedarkan Gemuruh Literasi sebenarnya lebih dari itu. Buku ini adalah jawaban bagi rasa penasaran sebagian orang yang hendak mengetahui gerakan literasi Sulhan di Bantaeng. Kerja-kerja kultural yang…

  • Judul tulisan ini saya pinjam dari ungkapan Profesor Cecep Darmawan—dosen saya ketika studi magister beberapa waktu lalu. Beliau guru besar yang egaliter dan seringkali tampil di publik (media dan forum) untuk berbagi gagasan dan pencerahan. Seingat saya ungkapan itu beliau sampaikan saat kami kuliah “Pendidikan Politik Generasi Muda”. Saya terkesan dengan ungkapan itu, selain indah…

  • Membicarakan suatu topik, dalam hal ini filsafat Islam, maka rasa-rasanya kurang afdal apabila tidak memasukkan nama al-Ghazali di dalamnya. Akan tetapi bila seseorang mau menempatkan al-Ghazali dalam sejarah filsafat Islam, tentu ia harus membuat beberapa catatan. Poin utamanya bahwa al-Ghazali tidak menganggap dirinya filosof dan tidak suka dianggap sebagai seorang filosof. Ini tak hanya menjelaskan…


Kala Literasi

Jl. Pa’ Bentengang No.6, RT.01/RW.08, Mangasa Kec. Tamalate, Kota Makassar, Sulawesi Selatan 90221