Masjid Dan Kesalehan Sosial

Dan orang beriman dan mengerjakan amal kebaikan, kelak akan kami masukan ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Dan janji Allah itu benar. Siapakah yang lebih besar perkataannya daripada Allah?” ( QS. 4 : 122)

Kehidupan umat muslim sangat erat hubungan dengan keberadaan masjid. Dalam sejarah peradaban Islam masjid merupakan tempat Allah memberikan petunjuk bagi manusia dan alam semesta melalui wasilah Nabi Muhammad Saw., sebagaimana Allah berfirman “Sesungguhnya rumah (ibadah) pertama yang dibangun untuk manusia, ialah (Baitullah) yang di Bakkah (Mekkah) yang diberkahi dan menjadi petunjuk bagi seluruh alam.” (Qs. 3 : 96). Masjid selain tempat turunnya wahyu, di zaman itu pula, masjid tempat menyatukan umat yang berasal dari suku dan bangsa berbeda-beda. Pendeknya, cikal bakal peradaban Islam dimulai dari masjid. Atas dasar itulah hingga sampai sekarang umat muslim menjadikan Mekkah sebagai Baitulharam, kiblat umat Islam.

Semenjak masa kanak-kanak para orang tua kita sudah akrab mengenalkan dengan kehidupan masjid. Di masjid lah pertama kali kita belajar mengeja hurut Al-Qur’an, sampai menghafal ayat-ayatnya. Pembelajaran Al-Qur’an di masjid tentu memberikan kesan dan pengalaman batin. Itulah yang kemudian membentuk karakter kita sebagai umat muslim menjadikan Al-Qur’an sebagai way of life, agar kelak menjadi ummatin salamatan fiddin.

Secara umum  fungsi masjid sebagai pusat ibadah, dakwah, pendidikan, pemberdayaan, dll. Sebagaimana yang dilakukan beberapa daerah berinisiatif membangun pusat keislaman atau Islamic Center. Sebagai contoh yang dilakukan  pemerintah Kota Bekasi, Jawa Barat membangun kawasan Islamic Center dengan sebuah masjid yang diberi nama Nurul Islam.  Tentu, seyogianya masjid bukan semata-mata tempat ibadah, sepertinya pada umumnya di lingkungan kita. Saya agak miris melihat sebagian masjid dibangun hanya tempat ibadah semata. Tiap tahun ke tahun pengelola masjid sibuk merenovasi bagunanannya, namun alpa membangun keimanaan jamaahnya, sehingga yang terlihat bangunan makin mewah dan jamaah makin sepi. Salah satu penyebab hal ini terjadi dikarenakan nilai pembagunan masjid jauh dari nilai-nilai keumatan. Selain masjid sebagai sarana ibadah yang sudah menjadi nilai mutlak, sudah seharusnya pula masjid menjadi sarana pemenuhan nilai-nilai kemanusiaan, misalnya pendidikan, pemberdayaan ekonomi, dakwah dan nilai nilai yang dibutuhkan masyarakat lokal.

Melihat fenomena kekinian di beberapa daerah khususnya di kampung-kampung, keberadaan masjid makin pesat pembagunan, tapi sayang miskin dengan kegiatan-kegiatan sosial kemasyarakatan. Bukankah  Nabi bersabda, “Sebaik-baik manusia ialah yang paling bermanfaat bagi manusia yang lain;” “Sebaik-baik manusia ialah yang panjang umurnya dan baik amalnya.” 

Sebagai contoh yang mesti dilakukan oleh masjid ialah, pengembangan pendidikan umat . Dr. Muhammad Javad As-Sahlani, dalam At-Tarbiyah wa At-Ta’lim fi Al-Qur’an Al-karim, mendefinisikan pendidikan Islam sebagai proses mendekatkan manusia kepada tingkat kesempurnaan, dan mengembangkan kemampuan. Itu berarti pendidikan Islam identik dengan dakwah Islam. Ada beberapa model dakwah Islam dalam pendidikan yang digambarkan oleh Jalaluddin Rakhmat , dalam bukunya Islam Alternatif yakni tilawah ( membaca ayat-ayat Allah), Tazkiyah ( menyucikan diri sendiri), ta’lim ( mengajarkan Al- Kitab dan Al-Hikmah), dan  ishlah (yang dipakai untuk meringkaskan pengertian tentang “ melepaskan beban dan belenggu-belenggu”).

Selain pengembangan pendidikan dan dakwah sudah saatnya pula masjid peka terhadap kohesi sosial umat. Kerap kita mendengar sepenggal hadits qudsi “Dalam setiap jiwa yang kelaparan dan kehausan, Allah begitu dekat. Apa kalian tak pernah mengasah hati nurani?”.  Selain ibadah ritual yang dilakukan di masjid, sangat diharapkan pula masjid mampu mengubah masyarakat menuju kualitas hidup yang lebih baik. pendeknya dimensi ritual masjid harus tercermin pada dimensi sosial. Dalam beberapa hadis disebutkan bahwa ibadah yang tidak disertai dengan amal saleh dalam kehidupan sosial tidak diterima Allah. Mereka yang tidur dalam keadaan kenyang sementara tetangganya kelaparan, mereka yang salat malam dan shaum tetapi menyakiti tetangganya, mereka yang beribadah tetapi merampas hak orang lain, dan sebagainya dinyatakan tidak melaksanakan agamanya. Kekurangan dalam ibadah ditebus (kifarat-nya) dengan menunjukan amal saleh, seperti memberikan makan orang miskin, tetapi cacat dalam kehidupan sosial tidak  ditebus dengan ibadah ritual. Hal ini menandakan Islam lebih banyak menekankan dimensi sosial ketimbang dimensi ritual. 

Kemunduran peran pengurus  Masjid tidak terlepas dari cara pandang melihat disparitas ibadah secara integratif. Jika ingin masalah sosial kemiskinan, kelaparan teratasi, maka perlu adanya usaha bersama untuk membantu kelompok-kelompok lemah. Salah-satu caranya, melibat seluruh elemen masyarakat dan lembaga-lembaga masjid yang kurang mendapat perhatian selama ini.  

  • Dalam satu dasawarsa terakhir, Kabupaten Bantaeng telah tampil sebagai barometer gerakan literasi, khususnya di Provinsi Sulawesi Selatan. Ketika kata “literasi” belum sepopuler hari-hari ini, pegiat literasi di Bantaeng sudah bergerilya menyebar benih gerakan literasi yang kini sudah tumbuh subur. Langkah-langkah gerilyanya ketika itu berupa pelatihan kepenulisan, diskusi buku, dan lapak-lapak baca. Di kemudian hari, langkah…

  • Adelio membuka mata ketika menyadari ombak Perairan Cempedak mengombang-ambing tubuhnya. Ia melihat ke bawah dan mendapati kedalaman laut yang tak terhingga. Ia mendongak ke langit, semburat cahaya matahari baru saja hendak menyapanya dari ufuk timur. Ia baru saja menyadari bahwa dirinya telah mengapung semalaman di tengah laut setelah mendapati sebagian kulitnya yang mulai mengeriput. Ia…

  • Buku terbaru Sulhan Yusuf, Gemuruh Literasi: Sederet Narasi dari Butta Toa boleh dibilang sebagai pembuktian, jika usia bukanlah aral melintang bagi seseorang untuk produktif dalam berkarya. Tapi, insight yang diwedarkan Gemuruh Literasi sebenarnya lebih dari itu. Buku ini adalah jawaban bagi rasa penasaran sebagian orang yang hendak mengetahui gerakan literasi Sulhan di Bantaeng. Kerja-kerja kultural yang…

  • Judul tulisan ini saya pinjam dari ungkapan Profesor Cecep Darmawan—dosen saya ketika studi magister beberapa waktu lalu. Beliau guru besar yang egaliter dan seringkali tampil di publik (media dan forum) untuk berbagi gagasan dan pencerahan. Seingat saya ungkapan itu beliau sampaikan saat kami kuliah “Pendidikan Politik Generasi Muda”. Saya terkesan dengan ungkapan itu, selain indah…

  • Membicarakan suatu topik, dalam hal ini filsafat Islam, maka rasa-rasanya kurang afdal apabila tidak memasukkan nama al-Ghazali di dalamnya. Akan tetapi bila seseorang mau menempatkan al-Ghazali dalam sejarah filsafat Islam, tentu ia harus membuat beberapa catatan. Poin utamanya bahwa al-Ghazali tidak menganggap dirinya filosof dan tidak suka dianggap sebagai seorang filosof. Ini tak hanya menjelaskan…


Kala Literasi

Jl. Pa’ Bentengang No.6, RT.01/RW.08, Mangasa Kec. Tamalate, Kota Makassar, Sulawesi Selatan 90221