Ada Bintang dalam Bening Matamu

Jika kita pernah mendengar lagu anak-anak “Di Mata Mama Ada Bintang” karya A.T. Mahmud,  maka kali ini saya ingin membalik syairnya menjadi di mata anak ada bintang. Tentu saya tidak ingin mengusik kepopuleran lagu ini, melainkan sekadar ingin menumbuhkan kesadaran dalam diri orang dewasa, untuk sering-sering menatap mata anak-anak kita. Pertanyaan sederhananya, seberapa sering dan dalam kita menatap mata mereka kala berhadap-hadapan dan berbicara dengan mereka? Kalaupun melihat ke wajah anak-anak, seperti apa cara kita memandang mereka? Tidakkah mengandung ketergesa-gesaan dan penuh prasangka, syukur-syukur kalau sempat menoleh ke arah mereka saat berbicara. Seperti inilah gambaran kejadian sehari-hari yang biasa kita saksikan dalam kehidupan ini. Bahkan mungkin kita termasuk salah seorang yang melakukannya tanpa sadar.

Ketidaksadaran bisa jadi alasan untuk membenarkan perilaku ini. Ia terbit karena perbuatan yang diulang-ulang sebagai hasil peniruan dari orang-orang terdahulu yang juga sudah terbiasa melakukannya. Karena banyak yang melakukannya dianggaplah sebagai sebuah hal yang lumrah alias benar. Apabila seseorang tidak belajar dan memiliki pengetahuan, maka situasi tersebut akan selamanya seperti itu. Tidak akan ada perubahan. Manusia dikaruniai akal yang dengannya ia mampu menciptakan beragam kreativitas dan berbagai perubahan kepada hal-hal baik. Itulah sebabnya sering kita dengar jargon, ilmu itu mahal.

Ubah cara pandang kita terhadap anak

Apabila kita menginginkan anak-anak tumbuh baik dan sempurna sebagaimana yang kita harapkan, maka hal utama yang perlu kita benahi adalah, memperbaiki konsep dan cara pandang kita terhadap mereka. Pertama-tamaanak bukanlah milik ataupun investasi masa depan. Karena mereka adalah manusia berjiwa merdeka, bukan benda mati yang tanpa nyawa. Sehingga orangtua hendaknya tidak seenaknya memperlakukan mereka tanpa melibatkan unsur kemanusiaannya. Sekalipun usianya masih sangat kanak-kanak. Ajaklah mereka bercakap-cakap, libatkan mereka dalam setiap urusan yang menyangkut dirinya. Bahkan sejak bayi, walaupun belum bisa berbicara atau menanggapi, tetap saja kita diminta untuk mengeluarkan kata-kata setiap kali berinteraksi dengan mereka. Semisal setiap memandikan, memilihkan baju, orangtua selaiknya berbicara seolah-olah sedang menanyakan pilihan warna bajunya mau yang mana, atau pilihan aktivitasnya ingin mandi atau makan dulu, dan seterusnya. Tentu saja tanggapan bayi umumnya sama saja. Tetapi orangtua yang peka, mampu membaca dari pancaran mata atau ekspresi si anak. Walaupun boleh jadi salah memahami maksud mereka. Namun setidaknya ada proses interaksi aktif yang terjadi di sana. 

Jika sejak bayi bahkan masih berupa janin anak-anak dilibatkan dan didengarkan suara hatinya, maka besarnya nanti mereka akan lebih mudah diarahkan dan diajak bekerja sama. Persoalan-persoalan yang muncul pun akan menjadi lebih minim dengan model komunikasi dua arah seperti ini. Cukuplah gaya kita dibesarkan dulu berkebalikan dengan gaya kita membesarkan anak-anak kita. Putuskan rantainya, kendalikan situasi dengan mengambil alih model kepengasuhan yang lebih manusiawi.

Kedua, perlakukan anak sebagaimana kita ingin diperlakukan. Bukan mentang-mentang mereka anak-anak maka kita seenaknya berlaku tidak baik pada mereka. Rumus yang sangat mudah diingat dan dicerna. Persoalannya hanyalah, kita mau atau tidak melakukannya. Adalah sebuah ketidakadilan dan keegoisan yang nyata manakala seseorang menghendaki perlakuan baik untuk dirinya, tetapi menerapkan hal yang berlawanan untuk orang di luar dirinya. 

Jangan karena masalah yang terjadi pada orang dewasa lalu serta-merta ditimpakan kepada anak-anak. Usia, kelemahan, ketidakberdayaan, status, seharusnya tidak menjadi sebuah jalan mudah untuk melampiaskan segala persoalan kehidupan pada mereka. Sungguh sebuah kezaliman yang nyata. Mengapa ia terlihat aman dan baik-baik saja, karena banyak kasus kekerasan terjadi di wilayah privat, yakni di dalam rumah, dan dalam lingkungan keluarga sendiri. Di mana anggapan yang masih dipegang kuat oleh kebanyakan orang, urusan dalam rumah tangga tidak boleh dicampuri oleh siapa pun pihak di luar sana. Terkecuali jika kasus tersebut sudah masuk dalam kategori kekerasan yang terang-terangan, maka hukum akan berbicara.

Tetapi apakah kerusakan itu nanti disebut sebuah kerusakan saat ia terkategori parah? Sementara kekerasan tersebut sesungguhnya sudah dimulai ketika ia masih berupa bibit yang belum tampak oleh mata biasa? Karena kekerasan itu sebenarnya bisa berupa lontaran kata-kata yang meremehkan, melecehkan, memprovokasi, menghina, atau menjatuhkan harga diri. Efeknya akan terus menjalar menembus sekat-sekat pembuluh darah dan saraf manusia. Hingga dewasanya nanti menjelmalah ia menjadi manusia-manusia berhati dingin, apatis, tidak peka, pemarah, dan berbagai bentuk emosi yang terpendam dalam dirinya. Sungguh besar kontribusi kita terhadap pembentukan karakter-karakter mereka di masa kini dan masa yang akan datang.

Kulihat bintang di matamu

Sebagaimana kita saat melihat bintang di langit, kita akan melihatnya dengan penuh kekaguman dan ketakjuban. Pendar-pendar indahnya menggoda kita untuk menatapnya berlama-lama. Tentu bintang dalam mata anak-anak tidaklah seindah kerlip bintang di atas sana, tetapi keindahan sesungguhnya terletak pada kemampuan kita melihat niat tulus yang terpancar dari hati lewat mata mereka. Bahwa sesungguhnya tidak ada anak yang memiliki rencana busuk di hatinya. Tidak ada anak yang berniat mencelakakan orangtuanya. Tidak ada anak yang bermaksud berlaku kurang ajar pada orang-orang di sekitarnya. Tidak ada anak yang berniat bohong, memanipulasi, atau melakukan kejahatan yang terencana. Jika di kemudian hari ditemukan fakta anak-anak melakukan perbuatan-perbuatan tersebut di atas, hal itu disebabkan oleh perlakuan-perlakuan yang tidak tepat yang menimpa diri mereka dalam kurun waktu lama. Kesemuanya adalah bentuk reaksi mereka terhadap aksi-aksi yang sekian lama telah mereka dapatkan dari orang-orang dan lingkungan tempat mereka dibesarkan.

Karena Tuhan telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya, fitrah dan suci. Orangtua dan lingkungannyalah yang menjadikannya berbeda. Olehnya itu, di hari istimewa ini, Hari Anak Nasional, mari beramai-ramai menatap mata anak-anak kita dengan penuh cinta dan kasih sayang. Karena ada keindahan cahaya bintang di sana.

Di matamu, Sayang ada bintang

gemerlapan bila kupandang

di matamu, Sayang ada bintang

yang tak pernah pudar bersinar

Di matamu, Sayang ada kasih sayang

yang slalu bersinar terang

di matamu, Sayang ada kasih sayang

yang slalu bersinar terang

(Dimodifikasi dari lagu “Di Mata Mama Ada Bintang”)

  • Semuanya bermula dari kesepakatan. Sepakat untuk menamakan media Kelas Literasi Paradigma Institute, yang bentuknya berupa lembaran, dengan nama Kala. Sejak kelas literasi ini dibuka untuk gelombang kedua, di pertemuan perdana pun sepakat untuk melahirkan media Kala ini. Banyak nama yang diusulkan, tetapi yang disepakati adalah Kala. Sepenggal kata yang diusulkan oleh Rahmat Zainal. Kala, bisa…

  • Pada akhirnya, hanya dua hal; disiplin dan sikap gigih. Biar bagaimanapun jadi penulis harus disiplin. Ini berarti di situ perlu pola, suatu rencana. Agak susah mau sebut disiplin, kalau di situ tidak ada suatu rencana. Penulis, saya kira orang yang punya agenda; dia menghitung, merancang, menetapkan. Dia mengklasifikasi bacaannya. Menulis catatannya. Dan, menyusun tulisannya. Sikap…

  • Pekan ke tujuh, kelas menulis PI agak molor. Hampir dua jam. Kesepakatannya, kelas harus dibuka pukul satu siang. Minggu lalu masih menumpuk beberapa tulisan, makanya perlu tambah waktu. Tapi, kelas dimulai sekira pukul tiga. Kawankawan satu persatu datang. Kelas mulai ramai. Yang buka kelas Heri. Saya, yang diplot jadi ketua kelas memilih bagi tugas. Kebiasaan…

  • Ini pekan yang panjang, terutama Kelas Menulis PI. Sudah jauhjauh hari tulisan diposting, sudah jauh sebelumnya kritik diajukan. FB jadi media, untuk tulisan dapat masukan. Sebelumnya tidak ada macam begitu. Ini hal yang baru. Sudah dua pekan hujan urung berhenti. Langit jadi basah, hitam. Tak sering malah bikin waswas. Apakah kawankawan mau datang, biar pun…

  • Awalnya agak ragu kelas menulis PI tidak jadi digelar. Tibatiba hujan datang. Deras. Tapi, selama berlangsung, kelas PI tidak pernah bolong. Sudah hampir tujuh bulan kelas dibuka. Sekarang, yang diuji konsisten. Juga disiplin. Semangat bisa datang, bisa lapuk, bahkan hilang. Kali ini biar bagaimana pun kelas tak boleh gagal. Pasca hujan reda, gegas berangkat. Semangat…


Kala Literasi

Jl. Pa’ Bentengang No.6, RT.01/RW.08, Mangasa Kec. Tamalate, Kota Makassar, Sulawesi Selatan 90221