Saya sempat membatin, apakah meletakkan burung dalam sangkar, bertengger di kurungan itu adalah tindakan aniaya? Bukankah dengan bahasa yang tak kita pahami, burung bisa saja berkecek, “hei manusia, jika engkau memang cinta padaku, bebaskan aku berkelana di alam liar! Jangan atas nama cinta, engkau meringkukkan aku dalam sangkar yang sempit ini”.
Mungkinkah burung tahu konsep kemerdekaan? Mungkinkah burung tahu konsep kemewahan? Mungkinkah burung tahu konsep kebahagiaan? Mungkinkah burung tahu konsep pengetahuan? Apakah kawanan burung itu punya lembaga pendidikan? Mungkinkah gerombolan itu punya UIS (Universitas Islam Sayap-sayap) yang telah terakreditasi A. Jika, memang rombongan itu tahu konsep kemerdekaan, kemewahan, kebahagiaan, dan pengetahuan, bagaimana ia menerangkannya kepada manusia?
Perenungan ini mencongol setelah saya menyaksikan Kang Mahdiyan setiap pagi mencuci kandang burung, dan memberi makan berupa sayur-sayuran, biji-bijian, dan buah-buahan. Tampak layaknya dayang peladen Dewi Aphrotide. Ia seolah tak akrab dengan “lelah”, terus-terusan melayani burung tiap paginya. Rutinitasnya ini, membentuk atensi di alam akal saya. Hingga, tiba jawaban perihal peristiwa menggelisahkan itu, saya dapatkan dari rutinitas manngaji tudang.
Pagi buta yang dingin, selepas menggugurkan kewajiban salat subuh, santri-santriwati yang bermukim di asrama, bergegas mempersolek suasana paginya dengan ngaji Tafsir Jalalin, Tafsir Ibnu Katsir, Tafsir Munir, dan Tafsir Baidlowi. Satu ayat dikaji dalam empat sudut pandang tafsir. Tak ketinggalan, saya dan istri yang jua bermukim di pesantren itu, ikut serta manngaji tudang. Kamar saya bukan asrama, tapi kamar asmara. Sebab, yang sudah berkeluarga diberikan tempat khusus untuk memupuk cinta.
Kiai Muhammadun mulai membuka lembaran-lembaran tafsir. Ia menerangkan dengan lugas dan tegas firman-firman Allah dengan mengaitkan pelbagai perspektif tafsir dan bidang ilmu eksakta. Tempo hari, ia menjelaskan Tafsir Munir karangan Syekh Nawawi al-Bantani, juz 2 halaman 85 ayat 41. Kiai Muhammadun menukil pendapat para ulama perihal peristiwa percakapan Ibnu Tsabit dengan Muhammad bin Ja’far yang sarat dengan hikmah.
Suatu hari, Ibnu Tsabit duduk di samping Muhammad bin Ja’far. Muhammad bin Ja’far pun bertanya, “Apakah engkau tahu apa yang didengungkan oleh burung-burung itu ketika fajar menyingsing dan ketika surya tergelincir?”, Ibnu Tsabit menjawab, “tidak tahu”. Muhammad bin Ja’far menandaskan, “sesungguhnya burung-burung itu menguduskan Tuhannya, dan kawanan itu pun memohon kepada Allah agar mendapatkan kekuatan selama beraktivitas di hari itu”.
Kiai Muhammadun kembali menegaskan, “Allah menyebut kata burung, itu terjadi pengkhususan. Selama burung itu bergerak, maka, kawanan itu tak pernah putus memuji Tuhannya. Inilah alasan para kiai banyak memelihara burung”.
Dari hasil ngaji tafsir di subuh itu, saya memperoleh pencerahan, bahwa alasan para kiai di Jawa, gemar memelihara burung, karena ingin membuka cakrawala kesadaran santrinya bahwa, “tasbih manusia kepada Allah, kalah oleh kicauan burung”.
Beberapa pekan lalu, saya juga bersambang ke Pondok Pesantren Kebon Jambu al-Islamy Ciwaringin, Cirebon, Jawa Barat. Menyaksikan di depan rumah pimpinan pondok pesantren, tampak berjejer pelbagai jenis burung bertengger di ranting buatan dalam sangkarnya. Bermacam-macam warna dan jenis. bercericit nyaring nan merdu, membuat telinga saya serasa dimanjakan bak suara-suara lengkingan dari penyanyi diva menggunakan teknik falseto.
Kiwari, memelihara burung sepertinya menjadi budaya di tengah masyarakat. Ada pelbagai jenis burung diasuh layaknya anak sendiri, mulai dari burung perkutut yang tak boleh dikutuk, hingga jenis kakaktua yang adiknya masih menjadi misteri. Hingga, toko penjual burung dan pakan burung laris manis diserbu para pencinta burung. Burung pada era 90-an, dianggap sekadar hama bagi para petani, sekarang malah jadi mahal. Akhirnya, kicauan mereka tak lagi dinikmati di persawahan, melainkan burung itu terdengar nyaring di perkampungan.
Setidaknya, saya mengutip intisari dari penjelasan Imam al-Qaffal tentang hukum memelihara burung dalam sangkar. Pertama, tidak menyiksanya. Kedua, mencukupi kebutuhannya. Ketiga, tidak melayaninya dengan berlebihan, hingga banyak kegiatan terbengkalai dan melupakan tanggung jawab yang lain. Singkatnya “boleh”.
Dari penjelasan Imam al-Qaffal, masih jua muncul kegelisahan. Manakala kebutuhan makan dan minum burung tercukupi, bagaimana kebutuhan biologisnya? Bukankah burung juga butuh berhubungan intim? Pertanyaan ini dijawab oleh Imam al-Bajuri saat memberi hasyiah pada kitab Fathul Qarib berjudul Hasyiah Bajuri. Ia menukilkan bahwa, “dapat dipahami bahwa budak tidak wajib untuk dikawinkan, terlebih lagi pada hewan”. Ini memberikan penjelasan bahwa mengawinkan burung tak wajib, yang wajib hanya memberinya nafkah lahir, bukan batin yah.
Saya jua memperoleh infomasi dari hasil pencarian warta di kanal Kompasiana, bahwa menurut KH. Abdul Wahab Hasbullah, burung itu diyakini sebagai penolak bala. “Iki tolak bala, sopo sing ngingu manuk doro Insya Allah iso tolak bala”, pungkasnya. Yah, keberadaan burung seolah menjadi ciri khas pondok pesantren di Jawa.
Saking pentingnya keberadaan burung-burung, para kiai biasanya menugasi seorang santri kepercayaannya untuk merawat kawanan burung dengan telaten. Tak jarang juga kita temui, ketika para kiai saling beranjangsana ke pondok pesantren, acapkali burung menjadi oleh-oleh menawan untuk dibawa pulang.
Konon, di sebuah pesantren ada seorang kiai gemar memelihara burung. Kiai tersebut dihadiahkan burung beo oleh santrinya. Hati kiai senang dengan hadiah itu, ia memeliharanya dengan baik, bahkan juga mengajari burung beo melafalkan kalimat tauhid “Laailahaillallah”.
Burung beo itu pun menirukan lafal kalimat tauhid yang diajarkan kiai dengan lancar. Suatu waktu, kiai mendengar suara, “keek..keek..keeeeek..”. Kiai pun bergegas mendatangi sumber suara, rupanya burung beo itu tewas diterkam kucing. Hati kiai remuk menyaksikan hal itu. Selepas kejadian yang membuat dadanya sesak, ia tak lagi bisa menikmati hari-hari seperti biasanya, seolah tak mampu memaafkan takdir, bahkan lebih banyak berdiam diri di persemayamannya. Jarang bepergian, berkomunikasi seperlunya dengan santri dan masyarakat. Ia hanya keluar sesekali, jika ada panggilan umat untuk memberikan petuah.
Melihat peristiwa ini, para santri merasa iba. Lalu, mereka sepakat untuk menghadiahkan kembali burung beo yang lebih bagus dari recehan yang telah dikumpulkan bersama. Mereka pun mengabarkan niatnya ke kiai. Mereka mengungapkan kesedihannya sebab merasa terluka manakala kiainya juga terluka. Kiai pun merasa terharu atas usaha dan kepedulian santrinya. Namun, ia menjelaskan kepada santrinya, bahwa bukan kematian burung beo yang membuat ia tak tampak ceria seperti biasanya. Melainkan yang ia takutkan adalah kematian dirinya kelak.
Burung beo yang sejatinya hampir tiap hari melafalkan “Laailahaillallah”, ketika si beo menjemput takdir kematiannya, hanya terdengar suara “keek..keek..keeeek..” dari paruhnya. Bagaimana dengan diri kita yang jarang melafalkan pujian-pujian kepada-Nya?
Tugas kita bukan berusaha mengkaji ontologi takdir kematian. Tetapi, tugas kita adalah menyiapkan diri untuk menerima takdir-takdir Tuhan yang telah kita ketahui, melalui jejak-jejak penelurusan kuasa Tuhan di semesta ini. Aksiologi surga adalah hadiah dari epistemologi kematian yang benar.
Bagi saya, burung adalah simbol kebebasan. Ketika engkau menjumpai perkara hidup yang terasa mencekik, atau sulit menemukan ruang bebas bergerak, sebab tak tahu harus melakukan apa. Maka, lepaskan apa yang membelenggu hari-harimu dari kefanaan. Asal, bukan melepas burung piaraan kiai, “itu kurang ajar”.
Sumber gambar: https://harianberkat.com/