“Saya pun sudah bergelar doktor tetapi tak pernah malu mengakui kalau saya adalah santri. Ketika saya ditanya soal status, jenengan statusnya apa? Dengan gamblang pun saya menjawab bahwa status saya adalah santri.” Tutur Kiai Muhammadun pengasuh Pondok Pesantren Darul Ulum Ad-Diniyah Cirebon sewaktu memberikan petuah kepada santrinya.
Mendengar kalimat itu dilayangkan pada sesi ngaji kitab Fathul Muin, membuatku terperangah. Rasa penasaranku memuncak, membekukan seisi rongga kepalaku. Hingga memunculkan pertanyaan, apa makna dari kata santri? Mengapa mereka bisa tetap eksis di tengah kehidupan sosial? Pertanyaan ini tentu akan menyeruak pada tiap-tiap manusia di belahan bumi mana pun yang semangat berpengetahuannya berkobar melebihi panas dari lahar merapi. Yah, term “santri” terasa berkaliber hingga sejumlah doktor pendidikan, doktor hukum, doktor sosiolog, doktor filsafat, serta doktor pertanian yang telah kuikuti seminar-webinarnya, tak malu mengakui dirinya sebagai santri.
Setidaknya, aku mengutip terlebih dahulu ungkapan terindah salah seorang doktor yang pernah kuikuti webinarnya tahun 2020 kemarin, bahwa, “tak ada yang mampu melebihi cinta seseorang pada almamater dan identitas kesantriannya, kecuali alumni itu sendiri”. Pesan ini kuartikan bahwa hanya alumni yang sangat mencintai almamater kebanggaan dan identitas kesantriannya. Sedangkan, mereka yang masih hidup dalam lingkungan pesantren, sedang menuntut ilmu, tidak akan mampu mengalahkan cinta seorang alumni pada almamater dan pesantrennya. Maka, untuk menghargai keagungan kata santri di negeri ini, ditetapkanlah 22 Oktober sebagai peringatan Hari Santri Nasional oleh presiden Joko Widodo pada 25 Oktober 2015 lalu.
Penggunaan kata “peringatan” tak hanya membawa santri pada rasa “terharu” hingga mengeluarkan sapu tangan untuk menyeka pilu, mengenang perjuangan seniornya di masa lalu. Tetapi, kata itu akan membawa santri pada rasa “tersentuh” hingga mereka akan mengangkat tangan berdoa untuk keselamatan negeri, dan berikrar untuk menjaga keutuhan NKRI sebagaimana yang diperjuangkan oleh pendahulunya. Inilah yang dirasakan santri tiap tahunnya, mereka tak hanya “terharu”, tetapi juga “tersentuh”. Mereka memiliki kesiapan on fire untuk menjaga keutuhan NKRI. Mereka memiliki cinta berkaliber untuk tanah airnya.
UU Nomor 18 tahun 2019 merumuskan santri sebagai peserta didik yang menempuh pendidikan dan mendalami ilmu agama Islam di pesantren. Rumusan itu sah-sah saja. Tapi, itu akan mengurangi makna santri yang berkaliber. Peserta didik bukanlah santri secara teori dan aktualisasi. Walakin, santri tetaplah santri.
Penghujung November tahun 2021. Tatkala aku mengikuti perkuliahan di kampus Institut Agama Islam Bunga Bangsa Cirebon tempo hari, Prof. Dr. H. Toto Sutarto Gani Utari, M. Pd menyampaikan perbedaan murid, siswa dan peserta didik.
Menurutnya, murid diambil dari akar kata bahasa Arab yaitu muridun (pelajar). Sedangkan, penjelasan secara terminologi, muridun ini digunakan dalam dunia pendidikan, sebab terdapat unsur spiritualitas yang dilekatkan pada setiap pelajar. Hingga, pelajar memiliki jiwa spiritual sebagai seorang murid.
Kemudian, kata siswa pada UU Nomor 20 tahun 2003 diartikan sebagai bagian dari anggota masyarakat yang sedang berusaha untuk mengembangkan potensinya melalui pendidikan dalam tingkatan, jalur, dan jenis tertentu. Mahaguru Toto Sutarto jua turut berpendapat bahwa siswa diartikan sebagai seorang pelajar yang menuntut ilmu langsung dari gurunya. Kendati, di tengah keterbatasan media pembelajaran dan kemajuan teknologi jua belum mapan tempo itu, membuat seorang pelajar menjadikan petuah sang widyaiswara sebagai satu-satunya sumber mendapatkan ilmu. Kurang lebih, aku memahaminya bahwa pada tahap ini, sang widyaiswara menitahkan siswa untuk duduk, diam, terima materi, catat referensi, kerja tugas, dan menyetor tugas. Yah, sesederhana itu.
Lalu, pemakaian kata “peserta didik” berdasarkan kebijakan pemerintah, menjadi pertanda bahwa sumber pengetahuan pelajar kiwari ini, bukan dari sumber tunggal yaitu sang widyaiswara saja. Walakin, perkembangan teknologi dan digitalisasi era 4.0, membuat para perumus kebijakan pendidikan di senayan mengepakkan sayapnya. Pada tiap helainya terdapat pernak-pernik memanjakan mata. Membius jutaan peserta didik di negeri ini. Hasil kebijakan pengurus negeri, berupa kemewahan teknologi pendidikan, telah tersaji di kelopak netra peserta didik. Formulasi baru ini merupakan langkah yang tepat diambil para perumus kebijakan pendidikan, untuk menyiapkan peserta didik bertarung dengan zaman yang teramat liar untuk diprediksi.
Lalu, apa itu santri?
Pada dasarnya, santri itu gabungan dari huruf-huruf bahasa Arab yaitu sin, nun, ta, ra, dan ya. Huruf-huruf yang berceceran itu membentuk beberapa makna. Huruf sin berarti salik ilalkhoir yang artinya melakukan pengembaraan spiritual menuju akhirat. Di mana setiap santri memiliki visi besar yaitu keselamatan akhirat melalui kendaraan kecerdasan spiritual yang telah terbentuk melalui dunia pondok pesantren.
Huruf nun berarti naibul anil yang artinya penerus para guru. Keberadaan santri tak sekadar menerima ilmu dari gurunya. Tetapi, terdapat upaya untuk membangun kedekatan emosional bersama guru. Hingga, timbul kesadaran pada diri santri untuk melanjutkan perjuangan para guru-gurunya.
Huruf ta berarti tariku anil maasi artinya orang yang meninggalkan maksiat. Pendidikan pada jalur pondok pesantren memberi kesempatan santri menjadi manusia-manusia unggul yang bisa mengontrol dan meninggalkan kemaksiatan. Sebab, lingkungan pesantren terdapat satu slogan pamungkas yang menyata yaitu “dipaksa, terpaksa, terbiasa, luar biasa”. Bukankah dengan membangun kondisi lingkungan belajar yang baik dan sarat dengan hikmah akan menciptakan kebiasaan yang baik. Dan, kebiasaan-kebiasaan yang baik ini akan membentuk manusia-manusia yang unggul, sebagaimana yang diterangkan oleh Jean Paul Sartre bahwa eksistensi akan membentuk esensi. Secara sederhana aku memahaminya bahwa perilaku akan membentuk jati diri seseorang. Itulah yang dilakukan oleh pondok pesantren hari demi hari, minggu demi minggu, bulan berganti tahun, yang membedakan karakter santri dengan murid, siswa, dan peserta didik.
Huruf ra berarti raghibu ilal khoir artinya menghasrati kebaikan. Lagi-lagi, hasrat kebaikan ini mencongol karena lingkungan baik di pondok pesantren. Memang, kerap kali tak semua pesantren berhasil mewujudkan lingkungan yang baik. Namun, dengan ikhtiar doa-doa para kiai, ulama, dan masyarakat menjadi senjata yang ampuh untuk menelusuri jejak-jejak kebaikan Allah di permukaan bumi ini, hingga, lingkungan yang baik pun akan terbentuk.
Huruf ya berarti yarju shalamah artinya berharap keselamatan. Artinya, santri akan selalu memohon pengharapan pada Sang Halikuljabbar melalui doa-doa untuk keselamatan dirinya, gurunya, kiainya, orang tuanya, masyarakat, pesantrennya, dan tanah airnya. Berhati-hati menafsirkan sebuah kata adalah perilaku yang baik, sebab salah memaknai kata akan berpengaruh pada pembentukan makna dan prakteknya. Bukankah kata-kata juga merupakan doa? Yakini saja. Dari sini kita paham bahwa kata “santri” tak perlu diubah oleh-oleh undang-undang, seperti halnya dalam dunia pendidikan menggunakan murid, lalu diganti pada kata siswa, dan terakhir untuk sementara menggunakan peserta didik. Sejatinya, santri telah memuat makna yang lengkap.
KH. Mustofa Bisri yang akrab disapa Gus Mus pun menuturkan bahwa, “santri adalah kelompok yang mencintai negaranya, sekaligus menghormati guru dan orang tuanya kendati keduanya telah tiada”. KH. Ma’ruf Amin menjabat sebagai wakil presiden RI juga menuturkan bahwa, “santri bukan hanya diperuntukkan bagi orang yang berada di pondok pesantren dan bisa mengaji kitab. Namun, santri adalah orang-orang yang meneladani para kiai”. Pendapat dari KH. Ma’ruf Amin menginformasikan bahwa siapa pun mereka yang bernaung di negeri ini, bisa bergelar santri sepanjang mereka mengikuti dan meneladani Nabi Muhammad Saw.
Mengapa mereka bisa tetap eksis di tengah kehidupan sosial?
Aku menegaskan bahwa santri merupakan manusia berkaliber. Diplomasi mereka menggunakan diplomasi tajwid dalam menempatkan diri di tengah kehidupan sosial.
Sebagaimana yang diketahui bahwa ilmu tajwid kudu tak runyam bagi santri, di mana tujuan dari ilmu tajwid ini, mengantarkan kita melafalkan huruf dalam Al Qur’an secara baik dan benar dengan memberikan hak-hak, urutan dan tingkatan yang benar kepada setiap huruf yang dilafalkan.
Dalam ilmu tajwid, terdapat banyak hukum bacaan, mulai dari nun sukun atau tanwin sampai kepada mad-mad. Setiap hukum bacaan, terdapat makna filosofis, tersirat, dan relevan dengan kehidupan sehari-hari.
Hukum bacaan izhar halqi.Apabila terdapat nun sukun atau tanwin bertemu dengan huruf-huruf halqi maka dibaca terang dan jelas. Sekiranya direngkuh pada dunia sosial, maka santri menjelmakan diri sebagai manusia lentur, bergaul di semua kalangan tanpa memandang warna kulit, suku, budaya, dan agama. Walakin, perkariban itu tetap berlandaskan ilmu, di mana hakikat ilmu adalah cahaya yang punya sifat terang dan jelas. Maka, seorang santri berpijak pada kebenaran, dan kokoh pada pendirian. Diplomasi seperti ini, telah terbangun sejak lama, dunia pesantren menyuplai santri sikap tegas proporsional di tengah kehidupan sosial, dalam urusan kebenaran.
Hukum bacaan idhgam bighunnah. Apabila terdapat nun sukun atau tanwin bertemu dengan huruf (ya, nun, mim, wau), maka dimasukkan ke huruf tersebut dengan berdengung. Konteks kehidupan sosial, namanya santri, tatkala berkarib dengan siapa saja, ia siap menjadi seorang mustamik, terbuka mendengar curhatan siapa saja, baik itu orang tua, teman, masyarakat, dan orang lain yang butuh pertolongan. Menjadi pendengar menyuguhkan banyak kemaslahatan, santri bisa menerima informasi penting dari siapa saja dengan menghibahkan waktu lebih lama.
Hukum bacaan idhgam bilaghunnah. Apabila terdapat nun sukun atau tanwin bertemu dengan huruf (lam dan ro), maka dimasukkan ke huruf tersebut tanpa berdengung. Huru-hara kehidupan sosial, santri fleksibel dalam bergaul. Manakala dalam proses interaksi terdapat orang-orang yang berperangai buruk, teman ngobrol nyatanya bercerita perihal menggunjing kejelekan orang lain. Maka, santri tidak akan menggubris dan berlama-lama duduk dengan teman bicara seperti itu. Jurus yang digunakan oleh mereka, cukup mendengarkan saja, seperlunya bisa menggunakan slogan, “masuk telinga kanan, keluar telinga kiri”.
Hukum bacaan iqlab. Apabila terdapat nun sukun atau tanwin bertemu dengan huruf (ba), maka dibaca mimmmba dengan berdengung. Manakala santri bersua dengan seseorang yang punya prinsip dan paradigma berpikir berbeda, maka, mereka tak akan memaksakan pemahamannya untuk dipahami oleh orang yang punya keyakinan berbeda. Tetapi, mereka bekerja sama untuk harmonisnya hidup dalam kerukunan. Tindakan mereka nyatanya sudah mengamalkan Bhinneka Tunggal Ika.
Hukum bacaan ikhfa. Apabila terdapat nun sukun atau tanwin bertemu dengan huruf ikhfa, maka dibaca samar-samar dan berdengung. Konteks kehidupan sosial, santri dalam menempatkan posisi di masyarakat, tidak menunjukkan keangkuhannya sebagai identitas santri yang haus penghormatan. Rerata mereka bergumam dalam diri bahwa, aku adalah santri yang masih belajar menjadi lebih baik dan berguna bagi masyarakat. Dengan begitu, kita dapat memahami bahwa kata “santri” dan “penghormatan” sejatinya pemilik dari Dia yang abadi.
Menjadi santri bukanlah kenestapaan, bukan aib, bukan jubah kesombongan, bukan hal menjijikkan. Sebab, Gus Dur dan KH. Ma’ruf Amin adalah santri berkaliber yang telah membentengi umat dan rakyat dari dentuman meriam-meriam paham radikalisme. Maka, belajarlah dari mereka! Agar engkau bisa menyelamatkan Ibu Pertiwi dari gempuran tentara Tuhan pemilik lahan surga.
—
Sumber gambar: Suaramerdeka.com