Layang-Layang dan Kenangan Lelaki Berumur

Lelaki itu tinggal di ujung gang, bermukim dalam rumah yang terbuat dari bahan semi permanen. Bagian atap rumahnya terbuat dari daun rumbia, adapun bagian dinding rumahnya terbuat dari anyaman rotan yang ditempeli koran bekas—sebagai penghalau udara yang dingin. Adapun lantainya beralaskan spanduk bekas kampanye gubernur. Umur lelaki itu telah mencapai enam dasawarsa lebih, menjadikan dirinya sebagai salah satu penghuni gang yang paling uzur.

Lelaki berumur itu hidup seorang diri, sebatang kara menyambung hidup. Dua dasawarsa lalu, tepatnya di penghujung Desember, sang istri lebih dahulu dipanggil Ilahi. Adapun anak semata wayang telah lama pergi merantau. Dan selama itu, untuk menyambung hidup, lelaki yang berumur itu kerja serabutan, termasuk di dalamnya menjual layang-layang.

Selama dua dasawarsa itu, di sela-sela mencari nafkah dengan kerja serabutan, lelaki berumur itu mampu membuat puluhan layang-layang yang dijajakan pada anak-anak kecil yang bermukim di sekitaran gang. Tetapi, kini di usianya yang semakin senja, jemari renta lelaki berumur itu hanya mampu membuat sepuluh layang-layang. Bukan lantaran fisik yang dimangsa waktu, sehingga lelaki berumur itu hanya mampu membuat sepuluh layang-layang, melainkan bahan membuat layang-layang semakin langka, sudah sangat sulit menemukan pohon bambu di antara rimbunnya hutan beton.

Satu layang-layang buatan lelaki berumur itu dibandrol dengan harga lima ribu rupiah. Jikalau kesemuanya laku terjual, lelaki berumur itu mampu meraup uang lima puluh ribu rupiah. Jumlah yang terbilang kecil bagi seorang remaja yang doyan kongkow-kongkow di café. Namun, bagi lelaki berumur itu, selembaran rupiah bewarna biru sudah mampu menyambung hidupnya untuk tiga hari kedepan.

Semakin waktu berjalan, lelaki berumur itu terkadang hanya mampu menjual tiga layang-layang. Ketidak-lakuan layang-layang tersebut bukan lantaran layang-layang yang dijual tak elok nan sedap dipandang mata. Melainkan selera anak-anak dan remaja kiwari ini telah berubah. Karena, kesenangan dan kegemaran hanya sebatas layar di genggaman. Tidak seperti dahulu, di mana kesenangan dan kegemaran akan ditemukan melayang di udara dalam bentuk layang-layang atau menggelinding di tanah dalam bentuk kelereng.

“Ah, kehidupan anak-anak tidak seperti dahulu.”

Lelaki berumur itu mendesah pelan, lalu berjalan dengan langkah penuh harap. Ia lantas memerhatikan sekelompok anak-anak yang berkumpul di pos ronda yang berada di ujung gang dekat persimpangan jalan. Anak-anak itu sedang asyik memerhatikan layar di genggaman. Tidak ada interaksi di antara mereka, semua sibuk dengan dunianya sendiri, dunia yang bernama maya. Mereka duduk berdekatan, tetapi sesungguhnya mereka saling berjauhan.

Lelaki berumur itu mendekati mereka, seraya menawarkan layang-layang. “Cucuku sekalian, mau beli layang-layang?” Di tangan kanan lelaki berumur itu terdapat kantong kresek bewarna merah, yang berisikan layang-layang dan gulungan benang.

Segerombolan anak-anak itu kemudian serempak menatap lelaki berumur itu. Lalu mengalihkan pandangannya pada layar di genggaman. Anak-anak itu mengacuhkan tawaran lelaki berumur itu, cukup lama lelaki berumur itu berdiri menatap penuh harap pada anak-anak itu. Mereka kemudian saling berpandangan, salah satu dari mereka kemudian berujuar. “Ayo kawan-kawan, kita pindah tempat saja, ada orang tua bangka yang mengganggu pemandangan.” Mereka lalu beranjak dari tempat meninggalkan lelaki berumur itu.

Lelaki berumur itu kemudian menaruh kantong kresek—yang berisi barang dagangannya—di pos ronda. Lalu duduk di samping kantong kresek tersebut. Lelaki berumur itu kemudian mengelus dada, mencerna perangai anak-anak tadi yang menurutnya sedikit tidak sopan pada orang tua, mengacuhkan lalu meninggalkan begitu saja.

“Apakah sudah tak ada lagi nilai dan norma yang diajarkan kepada mereka?”

Lelaki berumur itu memandangi kantong kresek di sampingnya, kemudian membukanya lalu mengambil satu layang-layang, menatapnya sembari tersenyum simpul. Rupanya, ada kenangan yang muncul kembali dari layang-layang itu.

Lelaki berumur itu masing mengingat, betapa masa kecilnya penuh dengan warna. Menghabiskan kesenangan dan kegemaran di padang rumput luas nan hijau. Saling berkejaran dengan kawan sepermainan, adu strategi dalam bermain kelereng atau bermain benteng, menari-nari di bawah rintik hujan, mengejar layang-layang yang putus terbawa angin. Tidak hanya dirinya yang menikmati permainan itu, anak semata wayang yang tumbuh-berkembang di tahun 90-an juga menikmati permainan yang sama. Bermain kelereng, benteng, dan layang-layang bersama kawan sejawat. Permainan anak-anak dahulu sungguh menyenangkan, sangat banyak nilai yang terkandung di dalamnya. Ada nilai kerja sama, interaksi, tenggang rasa, dan tentunya meninggalkan kenangan yang indah. Permainan tradisional mulai digilas waktu dan zaman, digantikan dengan layar di genggaman. Begitulah lamunan lelaki berumur itu.

Lamunan lelaki berumur itu dibuyarkan dengan suara perut berkeruyak. Nampaknya sedari pagi belum terisi. Lelaki berumur itu hanya mampu menahan lapar, dagangan masih sepi, belum ada anak-anak yang berminat untuk menukarkan selembaran rupiah untuk barang dagangannya. Lelaki berumur itu kemudian berjalan, berjalan, dan berjalan. Menyusuri gang satu dengan gang lain, jalanan ke jalanan lain, komplek perumahan ke komplek perumahan yang lain. Menawarkan layang-layang kepada anak-anak.

Kini senja mulai menyapa, dagangan hanya laku sedikit. Seperti biasa, sebelum mengakhiri perjalanan mencari reseki, lelaki berumur itu menuju tanah lapang yang mulai tandus. Di tempat itulah ia sering menyemai kenangan masa lalu. Kenangan tatkala bersua dengan sang kekasih—yang kini (mungkin) telah bermukim di surga—dan kenangan ketika menghabiskan masa kanak-kanak penuh tawa dan warna.

Lelaki berumur itu kemudian berjalan, berjalan, dan berjalan. Mengitari lapangan luas yang mulai tandus. Langkah kaki lelaki berumur itu terhenti pada sebatang pohon yang tumbuh tinggi menjulang.

“Rupanya pohon ini masih berdiri tegak.”

Lelaki berumur itu menatap pohon yang tinggi menjulang, daunnya begitu rimbun—walaupun tak serimbun dahulu. Cukup nikmat dijadikan tempat berteduh untuk melepaskan penat. Lelaki berumur itu duduk sejenak untuk melepaskan lelah, ia nampak mengelus-ngelus dadanya. Nafasnya sedikit tersengal-sengal, penyakit asma akut yang telah lama dideritanya membuat dadanya sesak, sulit bergerak, seolah ada tali yang mengikat dirinya. Lelaki berumur itu cukup kelelahan mengitari lapangan luas itu, apatah lagi sedari pagi ia menjajakan layang-layang dari satu gang ke gang lain, dari satu jalan ke jalan yang lain, pastinya menguras tenaga. Dahulu ketika terbilang cukup muda, ia mampu berlari menyusuri lapangan luas itu, saling bekerjaran dengan kekasih kemudian merenda asmara di bawah rimbunnya pepohonan.

Lelaki berumur itu kemudian beristirahat, bermaksud memulihkan tenaga. Ia sejenak tertidur, dan selama ia tertidur di lapangan luas itu nampak dua bocah berpakaian kumal sedang asyik bermain layang-layang. Benang ditarik dan diulur mengikuti hembusan angin senja. Layang-layang semakin tinggi mengudara, hingga kedua bocah itu tertawa riang gembira. Tetapi tawa itu hanya sementara. “Layang-layang kita putus!” Seru salah seorang dari bocah itu. Layang-layang terhempas angin, terhuyung-huyung mengikuti hembusan angin.

“Ayo kejar!”

Seruan dari kedua bocah itu membangunkan lelaki berumur itu dari tidurnya. Ia kemudian bangkit dan menatap kedua bocah itu yang berlarian mengejar layang-layang. Melihat pemandangan itu, ada gelora yang membuncah di hatinya. Entah mengapa kaki lelaki berumur itu melangkah, kemudian langkahnya semakin cepat, lalu berlari, turut serta mengejar layang-layang itu.

Lelaki berumur itu berlari, berlari, dan berlari. Bersama kenangan yang masih terbayang dalam ingatan. Mengejar layang-layang yang putus dan terhempas angin. Berlari, berlari, dan berlari. Hingga lelaki yang berumur itu tak menyadari, bahwa ruh telah lepas dari jasad.

  • (Suatu Tinjauan Sosiologi Kekerasan) Kawasan Timur Tengah kembali memanas pasca kelompok Hamas Palestina menggencarkan serangan mendadak ke Israel tidak jauh di perbatasan Gaza, Sabtu (7/10/23) dini hari waktu setempat. Akhir pekan yang berubah mencekam, karena serangan ribuan nuklir itu tepat ditujukan ke Tel Aviv dan Yerusalem, menembus sistem pertahanan Iron Dome menghancurkan banyak bangunan. Frank…

  • Aktivitas manusia di era sosial media adalah produksi dan distribusi konten. Konten quote-quote adalah konten yang paling banyak berseliweran. Quotation adalah sebuah kalimat atau syair pendek yang disampaikan dalam rangka memberi makna ataupun mengobati perasaan derita dalam hidup. Penderitaan divisualisasikan dan didistribusikan melalui quote pada jejaring sosial media dalam upaya agar setiap orang diharapkan dapat…

  • “Saya tidak memikirkan representasi kecantikan yang lebih baik daripada seseorang yang tidak takut menjadi dirinya sendiri.” Pernyataan Emma Stone ini memberi sugesti pada saya betapa cantiknya seorang perempuan yang dikisahkan oleh dosen-dosen filsafat, dan yang digambarkan dalam film Agora yang pernah saya tonton. Sekitar 8 Maret 415 Masehi, kota Alexandria (Mesir) telah menjadi saksi bisu…

  • “Cita-cita kamu apa?” Ini adalah sepenggal pertanyaan yang begitu membosankan bagiku. Aku masih, dan selalu ingat. Betapa orang-orang sering mengajukannya kala aku masih di Taman Kanak-Kanak. Mulai bapak dan ibu. Tante dan om. Nenek dan kakek. Juga sepupu yang usianya terlampau jauh di atasku. Di sekolah pun demikian. Para guru kerap melontarkan deretan kalimat ini.…

  • —mengenang 3 tahun kepergian Sapardi Djoko Damono SEJAK baheula manusia dikepung puisi. Sekira tahun 1.700 Sebelum Masehi di India, puisi sudah tengger di naskah kuno Veda dan Gathas. Puisi adalah ekspresi artistik mengenai pesona diri dan hidup. Ibarat bakul puisi mewadahi “benak” penyair, yang diperah dari peng-alam-an: imajinatif, emosional, dan intelektual—peng-alam-an ini dipahat penyair pada…


Kala Literasi

Jl. Pa’ Bentengang No.6, RT.01/RW.08, Mangasa Kec. Tamalate, Kota Makassar, Sulawesi Selatan 90221