Bagaimana menjadi miskin dan hidup seperti gelandangan? Lupakan apapun semua tentang definisi miskin. Kemiskinan stuktural atau kultural, pada akhirnya hanya konsep, setidaknya bagi George Orwell, yang hidup di pertengahan abad XX. Hidup bersama mereka yang tidak punya makanan, dan tak punya tempat rebahan. Orwell paham lebih dalam bentuk-bentuk kemiskinan. Juga para gelandangan, dengan segala stereotype yang melekat kepada, termasuk pemabuk, para homeless, dan para plongeur, mereka adalah orang-orang yang tidak diakui negara, tersingkir dari ruang publik, di London dan Paris.
Orwell sangat detail menulis bagaimana orang-orang miskin dari berbagai profesi -atau lebih tepat dari berbagai jenis, hidup di Paris dan London. Beberapa hal yang seperti tak terpisahkan pada sosok miskin: bau busuk, wajah kusut, jarang mandi dan tidak punya pakaian ganti. Rougier dan pasangannya, tetangga kamarnya, menurut Madame F, pemilik salah satu bistro (kost) di Paris, bahkan tidak berganti baju selama empat tahun. Pasangan itu menjalani pekerjaan sebagai penjual kartu pos, -kartu pos porno.
Dalam “Terbenam dan Tersingkir di Paris dan London” (TTPL), Orwell mengisahkan dirinya yang bekerja sebagai plongeur, pencuci piring restoran. Plongeur mungkin secara ekonomi berada di lapisan paling bawah di antara orang-orang miskin di Paris, tapi plongeur adalah kurungan bagi tubuh, dan sama sekali tak punya kesempatan untuk berpikir.
Entah bagaimana caranya, George Orwell bisa begitu kuat menahan diri untuk tidak menghadirkan plot thriller. Padahal, untuk kepentingan pembaca, ia punya segala hal untuk mengeksploitasi ceritanya menjadi lebih dramatik. Tokoh yang dihadirkannya tercipta seperti apa adanya. Mungkinkah karena ia benar-benar mengalaminya, -tersungkur dan terhina di Paris dan London? -seperti yang juga pernah dialami oleh Om Pramoedya Ananta Toer, selama 14 tahun penjara di Pulau Buru, dan berhasil menyelesaikan tetralogy Buru dan beberapa karya lainnya.
Orwell menghadirkan pertanyaan mengenai definisi kemewahan, atau apapun yang orang-orang sering menyebutnya sebagai mewah. Mewah oleh dan bagi siapa? Itu perlu dibahas, kata Orwell, sebagaimana kemiskinan, yang seringkali definisinya disusun dari peneliti atau dari lembaga statistik.
Mempertanyakan kembali definisi mewah mungkin sama urgensinya dengan memeriksa kembali apa yang telah terlanjur diberi kategori remeh-temeh. Yang remeh, seperti makanan sisa, roti yang telah mengering, mantel butut, sepatu yang bagian depannya berlubang, tapi bagi gelandangan, itu semua adalah bagian tak terpisahkan dari kehidupan mereka.
Perlu untuk mempertanyakan kembali apa itu kemewahan. Karena definisi mewah itulah yang akhirnya menghadirkan pekerjaan plongeur di Paris atau penarik andong di negeri Timur, yang dianggap Orwell sebagai negeri tempat orang-orang yang malas menggunakan kakinya untuk berjalan.
Plongeur ada ribuan di Paris. Mereka bekerja setidaknya 15-17 jam per hari. Nyaris tanpa jam istirahat. Saat mereka tidur adalah saat-saat di mana mereka benar-benar berada di ujung lelah. Mereka bisa benar-benar mengerti arti penting dari makanan, karena hampir selalu makan pada saat lapar. Jadi, membayangkan jam istirahat saat makan pun adalah sebuah kesimpulan yang terburu-buru. Karena waktu untuk makan hampir setara dengan waktu yang dihabiskan untuk mengisap sebatang rokok. Plongeur hanya bisa menemukan jam-jam istirahat jika tiba saat mereka dipecat..!
Plongeur, dalam pembagian tugas, berperan mencuci piring restoran dan hotel, itu terdengar biasa saja. Tapi pekerjaan itu, dengan segala konsekuensi yang melekat pada posisinya yang amat vital dalam pelayanan, adalah budak era modern. Mereka tidak hanya harus melakukan banyak hal di waktu yang sama dan cepat, mereka pun harus mendengar makian dan berbagai jenis umpatan dari rekan kerja atau pelayan atau dari para koki yang terkadang lebih memilih tak berteman, ketika saat-saat memo pesananan makanan datang menumpuk.
Lalu apa hubungannya plongeur dengan definisi kemewahan? Sepintas, kita bisa menyebutnya sebagai jenis pekerjaan, yang memang harus ada, karena ada orang yang punya banyak uang dan harus terlihat sibuk dan harus menyantap makanan mahal, dan tentu tidak punya waktu untuk mencuci piring bekas makannya. Memang, mereka yang makan di warung pinggir jalan pun tidak perlu mencuci piringnya. Harga makanannya sudah termasuk penggunaan piring, sendok, dan air minum yang disediakan oleh warung.
Argumen Orwell sejalan dengan pemikiran Marx yang melihat adanya nilai lebih dari faktor produksi. Baginya, kemewahan telah menggeser makna sebenarnya dari makan karena lapar, menjadi makan demi gengsi, demi kelas sosial, demi agar terlihat kaya, demi punya kuasa, atau demi hanya terlihat lebih, seolah-olah.
Lalu, apa yang sebenarnya orang-orang harapkan dari sebuah kemewahan? Mengapa ada orang yang karena hidupnya yang mewah, justru menghadirkan neraka bagi yang lainnya? Bandingkan dengan Paddy -tokoh gelandangan di London, yang karena strategi bertahan hidup, ia mengirit uang dengan cara ekstrim. Ia menganggap makan sekali sehari adalah sebuah kemewahan. Dan jenis kemewahan Paddy itu adalah hanya roti dibalur margarin dan teh dalam gelas besar.
Paddy tak menyesal, tak merasa malu, tak takut, dengan hidup yang dijalaninya. Ia tak kasihan pada dirinya sendiri. Ia menerima nasibnya, dan bahkan menciptakan filosofi untuk hidupnya: bahwa ia menjadi pengemis, katanya, bukan salahnya, dan ia tak mau menyesal atau marah karena itu (hal.240). Ia siap dengan segala konsekuensi hidupnya karena menyadari ia adalah musuh masyarakat. Dengan pemikiran seperti itu, ia malah menganggap berterima kasih adalah sebuah Tindakan tidak perlu, bahkan hina.
… Ia mau diberi amal, asal ia tak diharapkan berterima kasih untuk itu. Namun, ia tak suka amal yang bersifat religius, karena ia tak mau menyanyikan nyanyian pujian untuk sepotong roti. Ia punya beberapa prinsip lagi, misalnya, ia sering menyombong bahwa tak pernah sekalipun dalam hidupnya mengambil puntung rokok bekas, meski kelaparan. Ia menganggap dirinya berada di kelas yang lebih tinggi daripada pengemis biasa, yang, katanya, hina dan masih tahu berterima kasih. (Hal.240-1)
Ambiguitas dihadirkan Orwell ketika ia mengisahkan seorang pemabuk yang begitu keranjingan dengan ideologi komunis, dan anehnya ia menjadi begitu rasis saat dilanda mabuk setelah menenggak lebih sebotol brandy. Mungkin tidak banyak orang di dunia ini, mereka yang bisa menertawai penderitaan, dan bahkan bisa menjadi lebih rasional ketika sedang terpuruk, sesuatu yang seringkali kita dengar dari pemikiran kaum Stoa, yang mampu melihat realitas dari kejauhan, -lebih obyektif melihat derita.
Tapi, berapa banyak orang yang bisa melihat kehidupan menggunakan kacamata kaum Stoa? Orwell menulis:
“Orang-orang berpendidikan, sebaliknya, mampu hidup dengan ketiadaan kegiatan, yang merupakan salah satu akibat utama kemiskinan. Namun, seorang seperti Paddy, yang tak punya cara untuk mengisi waktu, sama menderitanya dengan anjing yang dikerangkeng. Itulah mengapa omong kosong kalau dibilang bahwa mereka yang hidupnya “jatuh” harus dikasihani. Orang yang pantas dikasihani adalah orang yang memang sudah jatuh sejak awal, dan hanya bisa menghadapi kemiskinan dengan pikiran kosong dan tak berdaya.” (261)
Orwell menemukan bentuk kemiskinan pada wajah-wajah gelandangan yang ambigu, yang harus berjalan sepanjang waktu sebagai akibat dari diskriminatifnya penerapan hukum di London. Jika kamu tak punya rumah untuk tidur, pemerintah menyediakan wisma, dan karena ada ratusan orang dalam ruang aula, maka cukup beruntung jika mampu memejamkan mata sejam atau dua jam.
Di London, siapapun bisa dilaporkan ke polisi jika ia meminta uang dua sen ke orang yang tak dikenalnya. Tapi, orang bisa meminta uang kepada siapapun atas nama amal dan agar Tuhan memberkati, agar masuk surga. Di London, Orwell menemukan bentuk kemiskinan pada wajah-wajah gelandangan yang ambigu. Karena, satu-satunya hal yang dipedulikan adalah apakah pekerjaan itu mendatangkan banyak uang atau tidak. Persis seperti apa yang masih bisa ditemukan hari ini. Uang akan mengangkat status sosial dan tentu akan mempengaruhi penilaian orang, -tanpa perlu mengetahui apa pekerjaan kamu, atau bagaimana kamu memperoleh uang. (hal.249-251)
“Seorang pengemis bekerja dengan berdiri di jalan di bawah panas dan hujan dengan pembuluh darah yang mekar di kakinya, dengan bronkitis yang parah, dan seterusnya. Mengemis adalah sebuah pekerjaan yang wajar; tidak ada gunanya, memang—tetapi, banyak juga pekerjaan terhormat yang tidak ada gunanya. Dan sebagai makhluk sosial, pengemis tak lebih asusila daripada orang-orang dengan pekerjaan lain. Ia jujur bila dibandingkan dengan kebanyakan penjual obat, berbudi luhur bila dibandingkan dengan pemilik koran Minggu, baik hati bila dibandingkan dengan penjual keterangan soal pacuan kuda—singkatnya parasit, tetap parasit yang tak berbahaya.” (hal.250-1)
Ada banyak jenis pekerjaan yang digambarkan oleh Orwell sebagai pekerjaan yang hanya layak untuk para pengangguran. Tapi, pekerjaan idaman pengangguran itu pun tak pernah benar-benar memberikan biaya pengganti untuk tenaga dan waktu. Ia mencontohkan, pekerjaan sandwich man, yang bekerja sepuluh jam sehari dengan menyebar brosur dari produk tertentu, tapi mereka tak boleh bermalasan, karena tiap saat akan ada pengawas yang akan membuat laporan apakah mereka bekerja cukup keras. Pesannya, ketika kamu melihat seorang yang membawa brosur, berbaik hatilah dengan menerima brosurnya, karena dengan begitu, ia akan dianggap sudah bekerja. (hal.260)
Buku ini kembali menegaskan kepiawaian Orwell dalam menulis sisi kehidupan yang tak biasa. Orwell selalu menghadirkan dunia ganjil, yang tak sempurna, yang mengusik kemanusiaan. Karenanya, kalau ingin memahami bagaimana politik diamalkan, bacalah Animal Farm. Dan, kalau ingin mengerti mengapa dan bagaimana kekuasaan dipertahankan, bacalah 1984. Dan, jika itu semua belum cukup membuatmu mengerti bagaimana dunia ini bekerja, segeralah buka lembaran TTPL. Mungkin dengan TTPL, kamu akan memahami kapan baiknya kamu tidur dan mengapa seseorang harus makan. Dan, dari yang telah dikisahkan Orwell, kita akan tahu ada saat tertentu makian berulang-ulang lama-lama akan kehilangan maknanya, sebagaimana ucapan terima kasih, bagi para gelandangan yang dipaksa mendengar khutbah hanya karena mereka butuh segelas teh, dan sepotong roti berpoles mentega.
Tentang buku:
Judul buku: Terbenam dan Tersingkir di Paris dan London
Penulis: George Orwell
Penerbit: Diva Press, Yogyakarta, 2019 – 312 halaman
Peresensi: Subarman Salim
Facebook: Subarman Salim
Instagram: uba_band