“Cabutlah pohon perkawinan dengan sekop kegadisan.”
Entah sudah beberapa kali kejadian silariang (kawin lari)di kampung kami terjadi. Sebulan lalu, tiga anak gadis silariang, minggat dari mukimnya, pergi jauh meninggalkan kampung halaman, bersama lelaki idamannya. Konon ceritanya, pasangan muda-mudi sedang dirundung kasmaran itu, tidak mendapat restu orang tuanya. Akhirnya, silariang menjadi jalan pintas, pilihan satu-satunya. Tentu, kejadian itu merupakan siri (malu) bagi keluarga dan orang tuanya. Biasanya pada kasus silariang, anak gadis tersebut dikenakan sangsi adat, yaitu disingkirkan dari rumpun keluarga dan masyarakat kampung, lebih ekstrimya, akan dibunuh jika ditemukan keberadaanya. Namun, sangsi dibunuh sudah jarang terjadi, sebab bertentangan dengan hukum formal dan kemanusiaan.
Silariang, merupakan fenomena purba, terjadi dikehidupan masyarakat seluruh daerah dan ditingkatan sosial. Mungkin yang membedakannya, cara penyelesaiannya dan sanksi adat yang diberikan, tentu, disesuaikan budaya masing-masing. Umumnya, pernikahan di Sulawesi Selatan sarat dengan prosesi adat, sudah pasti ada makna terkandung di dalamnya. Persoalan muncul manakalah kondisi sosiologi, psikologi atau ekonomi seseorang tidak selaras dengan kehendak adat dan budaya suku Bugis Makassar.
Salah satu syarat mutlak seorang laki-laki yang hendak menikahi gadis Bugis Makassar ialah uang panaik. Umumnya uang panaik berupa uang tunai. Nilainya bervariasi, disesuaikan dengan tingkat strata sosial, pendidikan, pekerjaan, dsb.
Pada kebanyakan kasus, ada beberapa penyebab pasangan laki-laki dan perempuan memustuskan jalan silariang, antara lain. Pertama, mahar atau uang panaik memberatkan kaum lelaki, manakalah hendak melamar wanita idamannya. Mengapa mahal ? secara filosofi, ketika seorang laki-laki hendak melamar gadis Bugis-Makassar, pihak keluarga perempuan ingin melihat keteguhan hati seorang laki-laki yang hendak mempersunting anak gadisnya, salah satunya dengan memenuhi prasyarat uang panaik yang jumlahnya tinggi. Mungkin, dengan cara itu seorang laki-laki akan mempunyai rasa tanggung jawab besar terhadap calon istrinya. kelak tidak akan menyia-nyiakan istrinya.
Kedua, tidak mendapat restu orang tua. Salah satu penyebanya, bisa jadi, perbedaan strata sosial. Bangsawan atau rakyat , hartawan atau kaum papa, dll. Kondisi masyarakat Bugis-Makassar masih kental dengan strata sosial. Biasanya untuk mempertahankan talian darah, utamanya kaum bangsawan, akan menikahkan anak gadisnya dengan laki-laki dari kalangan kaumnya sendiri. Ketiga, terjadi skandal percintaan. Silarang bisa terjadi, jika kedua pasangan kepergok melakukan skandal cinta. Jalan satu-satunya silariang. Meski jalan ini tidak dikehendaki, serta merta dilakukan untuk menghindari pergolakan masyarakat. Ketiga penyebab di atas adalah fenomena umum, namun kemungkinan masih banyak faktor penyebabnya lainya.
Perkara silariang dapat dipandang sebagai fenomena sosial, budaya dan keagamaan, ketiganya saling mempengaruhi. Secara sosial, posisi perempuan kalau tidak mau dikatakan sebagai korban, meski keduanya saling rasa. Perempuan sebagai seorang pendidik manusia pertama, akan mengalami keterbelakangan kualitas sumber daya manusia, sebab ruang untuk mendapatkan pendidikan menjadi terbatas, sementara zaman makin berkembang. Apalagi, bila pasangan tersebut masih usia dini. Selanjutnya, secara pisikologi pun perpengaruh pada jiwa dan raga perempuan. Jika kondisi itu berlangsung lama akan melahirkan generasi gagal tumbuh kembang. Secara ekonomi dan politik pun juga mempegaruhi kehidupan perempuan, apalagi kebanyakan kasus silariang kondisi ekonomi dan politik perempuan belum mapan. Misalnya saja, secara ekonomi perempuan sulit mendapat bantuan modal usaha, lebih sulit lagi jika ingin bekerja pada sektor formal, sebab akan terkendala soal administrasi kependudukan. Adapun secara politik, jelas perempuan tersebut tidak mendapat ruang terlibat langsung ditengah-tengah masyarakat, baik untuk menyalurkan pendapat maupun terlibat dalam partisipasi politik.
Pandangan dunia manusia Bugis- Makassar sangat dipengaruhi oleh adat dan budaya. Atas dasar itulah landasan peradapan dibangun. Menurut Radhar Panca Dahana, sastrawan Indonesia, menuliskan dalam bukunya, Kebudayaan Dalam politik, “maka, sebelum sebuah bangsa memiliki aturan main, mekanisme hidup bersama, sistem politik, ekonomi, bahkan sebelum ia jadi Negara, lebih dulu ia menjadi sebuah entitas budaya”. Di titik ini, budaya Bugis- Makassar menjelaskan dirinya, menyatakan keberadaannya yang berbeda di antara entitas budaya lainnya. Maka, tidak mengherankan bila penyebaran agama Islam di kerajaan Bugis-Makassar, lebih mudah masuk melalui infilterasi budaya.
Kebudayaan yang menjadi pandangan dunia akan menjadi landasan, platform untuk mengembangkan, membangun, atau menempatkan diri dalam pergaulan sosial. Kegagalan atau penafikan nilai budaya, diyakini, memberi kontribusi bagi retak dan runtuhnya bangunan sosial. Di sinilah prolematikan itu terjadi. Apakah fenomena silariang merupakan penafikan nilai budaya atau kegagalan mempraktekkan nilai budaya. Tarik menarik perbedaan di kalangan masyarakat tak bisa dinafikkan. Sebagian orang menganggap, prosesi adat pernikahan mengalami kapitalisasi budaya, sebab nilai mahar pernikahan telah mengalami rasionalitas materi, maka, terjadi persaingan gengsi di tengah masyarakat. sebagian lagi masih menganggap uang mahar sebagai bentuk kesungguhan hati laki-laki, menawarkan diri menjadi bagian rumpun keluarga. Dengan begitu seorang laki-laki tidak mudah menyia-nyiakan amanah didapatkannya. Maka, tidak mengherankan laki-laki selatan dikenal sebagai pekerja keras, ulet berusaha dan cakap berniaga.
Selanjutnya bagaimana kedudukan perempuan dalam dunia Islam. Menurut scholar asal Persia, Murtadha Muthahhari, dalam bukunya Filsafat Perempuan Dalam Islam, menabalkan, sama sekali tidak ada bukti atau indikasi dalam Alquran tentang apa yang ditemukan atau terdapat dalam beberapa kitab suci bahwa perempuan diciptakan dari varieties yang lebih rendah kualitasnya daripada laki-laki. Sebagaimana pada beberapa ayat Alquran dengan gamblang mengatakan “Kami ciptakan perempuan dari natur laki-laki dan dari esensi yang sama dengan esensi laki-laki.” Mengenai Adam, Alquran mengatakan “Yang menciptakan kamu dari satu esensi yang tunggal, dan menciptkan darinya pasangannya.” (QS. An-Nisa’[4];1). Berkenaan dengan laki-laki, Alquran mengatakan dalam beberapa tempat “ Allah menciptakan pasanganmu dari jenismu sendiri”
Masih menurut pandangan Murtadha Muthahari, sekaitan pertayaan tentang kewenangan orang tua (Ayah) atas diri anak perempuan. Apakah izin ayah dibutuhkan dalam perkawinan anak perempuan yang menikah untuk pertama kalinya.? Sebelum menjawab itu, ada topik lain yang dipandang betul-betul pasti dalam kaitannya denga perkawinan. Anak laki- laki, bila sudah mencapai usia akil balik. Sepenuhnya memiliki jiwa dan pikiran matang. Dia memiliki kebebasan untuk menentukan pilihannya dan tak ada seorang pun berhak ikut campur. Namun, ada sedikit perbedaan, jika seorang anak perempuan, pernah menikah, tetapi kini menjanda, maka, tidak ada seorang pun berhak ikut campur tangan dalam urusannya, atau sama halnya dengan perlakuan laki-laki.
Situasi berbeda jika anak perempuan masih perawan dan hendak memasuki kehidupan pernikahan. Sebuah kisah di zaman Nabi Saw., menceritakan. Dalam keadaan risau, seorang gadis menemui Nabi Saw. “Apa yang telah dilakukan ayahmu terhadap dirimu?” Tanya Nabi Saw. “Ayah punya seorang kemenakan laki-laki,” jawab Si gadis. “Dan ayah menikahkan aku tanpa berkonsultasi terlebih dulu padaku.” Lalu, Nabi jawab, “Sekarang ayahmu sudah melakukannya. Engkau tidak boleh menentangnya. Terimalah, dan jadilah istri saudara sepupumu.”
“Wahai Rasulullah! Aku tidak menyukai saudara sepupuku itu. Mana mungkin aku menjadi istri dari seorang laki-laki tidak aku sukai.”
“Kalau engkau tidak menyukainya selesailah sudah masalahnya. Engkau memiliki kewenangan penuh. Pilihlah laki-laki yang engkau sukai untuk menjadi suamimu.”
Dari kisah di atas menandakan para ayah tidak punya hak mutlak memutuskan dan menikahkan putri-putri mereka dengan orang yang tidak disukai.
Karena ayah tidak memiliki kewengan mutlak diri anak perempuan terhadap laki-laki pilihan ayah, apakah itu juga persetujuan ayah terhadap anak perempuan bukanlah syarat bagi sahnya sebuah perkawinan?
Ada perbedaan pendapat berkenaan dengan hal ini. Bagi fakih masa belakangan berpendapat persetujuan ayah bukanlah syarat mutlak, namun sebagian fakih memandang sebagai syarat mutlak.
Alasan mengapa harus ada persetujuan mutlak dari ayah, sebab, pada umumya gadis yang baru pertama kali melakukan pernikahan, belumlah berpengalaman dengan laki-laki, sedangkan ayahnya lebih mengetahui sentiment (perasaan) laki-laki dan memiliki beberapa kulifikasi. Tentu di sini setiap ayah menginginkan kebaikan kebahagian bagi anak perempuan. Perihal ini, erat kaitan dengan psikologis laki-laki dan perempuan. Secara psikoligis kecenderungan watak laki-laki biasanya ganas (Predatori), sedang perenpuan mempuyai sisi loyatitas dan ketulusan. Sebagaimana ungkapan, “Laki-laki adalah hamba nafsunya, sedangkan perempuan adalah tawanan perasaan kasih sayangnya sendiri”