The Wind Will Carry Us: Manusia itu Bukan Apa-Apa

“Death is the worst. When you close your eyes on this world, this beauty, the wonders of nature, it means you’ll never be coming back”

Kali ini The Wind Will Carry Us (1999) lebih memberikan ”ruang”  yang besar kepada perempuan, dan lebih banyak mengedepankan peluang pembacaan yang lebih feministik jika dibandingkan dengan Taste Of Cherry (1997), film besutan Abbas Kiarostami yang lain, yang sama-sama beride sentral kematian. Judul The Wind Will Carry Us diambil dari penggalan puisi Forough Farrokhzad penyair sekaligus aktivis progressif feminis Iran yang mati muda akibat kecelakaan mobil pada 1962. Dengan mengambil penggalan penyair beride politik feminis sebagai judul filmnya, apakah Kiarostami sedang menyatakan ide-ide kritisnya terkait dengan paham politiknya, atau itu juga berarti menandai suatu pesan eskatologik di dalam filmnya?

Dengan pertanyaan seperti ini akan sesuai dengan nuansa umum film Kiarostami yang lebih sering mengundang beragam pertanyaan, sehingga akan membuat penontonnya lebih banyak berpikir laiknya seorang filosof. Tapi, untuk mengatakan film-film Kiarostami tidak berdampak eksistensial kepada penikmatnya merupakan kesalahan fatal. Meski senantiasa berangkat dari premis sederhana, film-film garapannya lebih mengedepankan kompleksitas kemanusiaan.

The Wind Will Carry Us telah mengulang adegan pembukanya persis seperti Taste of Cherry, yaitu scene sebuah mobil berjenis Land Rover yang meliuk-liuk di antara bebukitan dikelilingi sabana, sementara angin terlihat membuatnya bergoyang-goyang seperti sedang dipandu untuk menyatakan gerak alam yang memukau. Dengan tekhnik long-shot, mobil ini meliuk-meliuk di antara jalanan tak beraspal, menandai bahwa film ini banyak menyediakan ruang filosofis bak jalan pikiran seorang penikmat ide-ide filsafat.

Tapi, film ini tidak sepenuhnya film tentang itu, melainkan kita akan dibawa kepada pergulatan perasaan, tarik ulur yang melibatkan ambisi manusia dan dari apa yang tidak dapat ia jangkau: ajal, alam, dan takdir. Dalam hal ini, ini terkait waktu, medan enigmatik antara kesementaraan dan keabadian, seperti dalam penggalan puisi yang menjadi bagian penting dalam film Kiarostami ini: “Bulan merah dan gelisah… Awan menunggu lahirnya hujan… Satu detik, dan kemudian tidak ada.”

Melalui Behzad Dourani, seorang reporter bersama dua krunya, kita akan menuju Siah Darreh (Lembah Kegelapan), sebuah kampung Kurdi udik yang berasal dari masa silam terletak 400 mil dari Teheran, Iran. Rumah-rumah mereka berdiri di atas tebing-tebing bebatuan, saling menempel, berjejal, dan tumpang tindih mengikuti gaya bangungan Pueblo yang terbuat dari lumpur keras, suatu kesan yang kontras dengan konteks zaman kekinian.

Maka jadilah Behzad bersama rombongannya dengan tipikal orang kota, yang kemudian mengalami sesat alamat ketika memasuki wilayah desa yang sepenuhnya hanya dikelilingi bukit-bukit maha luas. Beruntung rombongan ini dipandu oleh Farzad, bocah lelaki lokal yang akan menyanggupi seluruh keperluan mereka selama tinggal di desa ini.

Lalu untuk apa mereka melakukan perjalanan jauh sampai ke tempat yang signal handpone saja sulit? Rupanya karena seorang perempuan tua bernama Nyonya Malek yang  telah berusia 100 tahun. Mereka tinggal di Siah Darreh demi menunggu ajal Nyonya Malek, dan akan membuat film dokumenter mengenai ritual kematian yang dilakukan berdasarkan kebiasaan lokal masyarakat setempat. Sesuatu yang membawa nilai eksotisme dan spiritual bagi masyarakat kota seperti diwakilkan melalui kehadiran Behzad.

Selama menunggu Nyonya Malek sakaratul maut, tidak sekalipun kamera Kiarostami mewakili harapan penonton untuk dapat melihat langsung nenek misterius yang berusia satu abad itu. Ia hanya muncul melalui percakapan antara Behzad dan Farzad, melalui bingkai jendela biru sebuah rumah yang di dalamnya diketahui sedang terbaring seorang nenek sekarat—sesuatu yang juga berlaku kepada dua kru Behzad yang sama sekali tidak pernah tampak di depan kamera selain hanya mendengarkan dialog mereka dengan Behzad sebagai fokusnya.

Namun rencana tinggal rencana. Mereka makin lama makin frustasi dikarenakan tidak ada tanda-tanda ajal bakal menjemput Nyonya Malek. Dari hari ke hari Nyonya Malek makin membaik, yang karena itu membuat  mereka tidak akan dapat membuat film dokumenter seperti yang direncanakan sebelumya.

Eksotisme dalam Kamera

Peradaban modern merupakan konsepsi kehidupan yang terlampau rasionalistik, terukur, dan cepat. Tentu kegamblangan ini ditampakkan Kiarostami melalui adegan-adegan dilakukan Behzad saat berkomunikasi dengan atasannya menggunakan telepon genggam yang sama sekali tidak berfungsi, kecuali jika Behzad keluar mencari jaringan sampai di atas bukit kuburan. Ini satu tema yang mencolok mengenai problem modernitas ketika diperhadapkan dengan keadaan-keadaan yang belum dapat ia identifikasi sebagai bagian dari dirinya.

Tapi problem kebudayaan yang eksplisit dalam film ini tentu saja mengenai cara pandang masyarakat modern kepada hal-hal yang bernuansa eksotis dan spiritual. Itu sebab dahaga itu dimunculkan melalui motif dokumentasi yang sejak awal menjadi kepentingan jurnalistik Behzad. Ritual kematian dalam hal ini, apalagi masih dibalut dengan tradisi lokal, sudah tentu merupakan rangkaian upacara yang akan menjadi komoditas ekonomi melalui kemasan media massa. Sesuatu hal yang di masa sekarang menjadi bagian dari ekonomi pariwisata, dan dikukuhkan melalui program pemerintah untuk menjual eksostisme kepada dunia internasional yang notabene sangat menginginkan hal-hal yang berbau local wisdom.

Domestifikasi dan Paradoksnya

Formulasi pengambilan gambar Kiarostami bergerak di antara alam bebas, rumah-rumah bergaya Pueblo, dan sedikit karakter yang lebih banyak hanya diisi oleh Behzad. Seringkali Kiarostami memberikan perspektif yang luas melalui alam bebas; bukit, tanah lapang, dan siluet pegunungan dengan cakrawala luas permainan panoramik yang dinamis, dan di satu sisi kembali menyorot lebih dekat kehidupan domestik komunitas yang lebih banyak mengungkapkan kehidupan statik.

Di antara perpindahan dua landscape itulah perempuan tanpa disadari menjadi wacana yang tidak bisa diabaikan dalam film ini.  

Perempuan komunitas masyarakat Kurdi menjadi representasi gagasan tentang stigma beradab-abad mengenai kedudukan perempuan di tengah masyarakat. Makanya peralihan scene demi scene, perempuan menjadi sosok domestik dalam ruang lingkup kehidupan komunitas yang lebih banyak diperlihatkan melalui sorot pengambilan gambar Kiarostami—yang paling vulgar adalah scene saat Behzad mengambil susu sapi dengan memasuki area gelap berupa dapur (atau kandang), dengan sosok perempuan muda di dalamnya yang tidak sama sekali ditampakkan wajahnya; suatu permainan representatif menyangkut posisi perempuan yang mengalami domestifikasi atas dasar tradisi.

Sementara di sisi lain, tidak sekalipun ditemukan aktifitas mencolok mengenai peran laki-laki selain diceritakan lebih banyak menggunakan waktunya di ladang-ladang persawahan. “Penundaan” kehadiran laki-laki dalam cerita Kiarostami mengindikasikan signifikansi kekuasaan dan wewenang laki-laki yang meski sangat jarang tampak, tapi cukup menentukan terkait segala apa yang menjadi bagian dari wilayah keputusan, seperti yang selama ini terjadi melalui budaya patriarki.

Dengan indikasi semacam ini, tidak berlebihan jika dikatakan justru melalui keberadaan sosok Behzad yang berambisi dapat mendokumentasikan kematian sesosok perempuan tua, memperlihatkan sisi paradoksal dikarenakan dalam melakukan tugas jurnalistiknya, ia juga didesak oleh seorang perempuan melalui komunikasi via telepon yang tidak sama sekali terlihat sosoknya. Meski demikian, keberadaan sosok perempuan ini di sepanjang penceritaan sangat berpengaruh kepada keberadaan Behzad di desa itu.

Berlalu bersama Angin

Menjelang akhir, Behzad disadarkan mengenai kedudukannya sebagai makhluk fana—setidaknya seperti yang saya tangkap berkenaan dengan pergulatannya atas waktu. Di hadapan semua itu, setiap rencana yang berasal dari ambisi dan harapan, tidak dapat digdaya. Dialog-dialog ditunjukkan Behzad dengan seorang dokter kampung jelang pupusnya ambisinya, menjadi perangkat kesadaran bagi penonton yang sejak awal mulai memahami bahwasannya di dalam waktu segalanya akan bergerak berdasarkan hukumnya sendiri.

Dalam arti ini, manusia sebagai makhluk yang kerap berposisi superior atas keinginan-keinginannya mau tak mau akan dikembalikan kepada ruang negoisasi di dalam dirinya. Dengan kata lain, apalah arti semua harapan, cita-cita, apalagi ambisi, jika di luar dari itu masih banyak hal yang tidak dapat dikendalikan olehnya, termasuk di dalamnya: takdir, atau ajal, atau yang lebih substansial dari itu, misteri ego!

Bulan merah dan gelisah… Awan menunggu lahirnya hujan… Satu detik, dan kemudian tidak ada.”

Directed byAbbas Kiarostami
Written byAbbas Kiarostami
Produced byAbbas Kiarostami
StarringBehzad Dorani
CinematographyMahmoud Kalari
Distributed byNew Yorker Films (USA)
Release date6 September 1999 (Venice Film Festival)
Running time118 minutes
LanguagePersian
  • Dalam satu dasawarsa terakhir, Kabupaten Bantaeng telah tampil sebagai barometer gerakan literasi, khususnya di Provinsi Sulawesi Selatan. Ketika kata “literasi” belum sepopuler hari-hari ini, pegiat literasi di Bantaeng sudah bergerilya menyebar benih gerakan literasi yang kini sudah tumbuh subur. Langkah-langkah gerilyanya ketika itu berupa pelatihan kepenulisan, diskusi buku, dan lapak-lapak baca. Di kemudian hari, langkah…

  • Adelio membuka mata ketika menyadari ombak Perairan Cempedak mengombang-ambing tubuhnya. Ia melihat ke bawah dan mendapati kedalaman laut yang tak terhingga. Ia mendongak ke langit, semburat cahaya matahari baru saja hendak menyapanya dari ufuk timur. Ia baru saja menyadari bahwa dirinya telah mengapung semalaman di tengah laut setelah mendapati sebagian kulitnya yang mulai mengeriput. Ia…

  • Buku terbaru Sulhan Yusuf, Gemuruh Literasi: Sederet Narasi dari Butta Toa boleh dibilang sebagai pembuktian, jika usia bukanlah aral melintang bagi seseorang untuk produktif dalam berkarya. Tapi, insight yang diwedarkan Gemuruh Literasi sebenarnya lebih dari itu. Buku ini adalah jawaban bagi rasa penasaran sebagian orang yang hendak mengetahui gerakan literasi Sulhan di Bantaeng. Kerja-kerja kultural yang…

  • Judul tulisan ini saya pinjam dari ungkapan Profesor Cecep Darmawan—dosen saya ketika studi magister beberapa waktu lalu. Beliau guru besar yang egaliter dan seringkali tampil di publik (media dan forum) untuk berbagi gagasan dan pencerahan. Seingat saya ungkapan itu beliau sampaikan saat kami kuliah “Pendidikan Politik Generasi Muda”. Saya terkesan dengan ungkapan itu, selain indah…

  • Membicarakan suatu topik, dalam hal ini filsafat Islam, maka rasa-rasanya kurang afdal apabila tidak memasukkan nama al-Ghazali di dalamnya. Akan tetapi bila seseorang mau menempatkan al-Ghazali dalam sejarah filsafat Islam, tentu ia harus membuat beberapa catatan. Poin utamanya bahwa al-Ghazali tidak menganggap dirinya filosof dan tidak suka dianggap sebagai seorang filosof. Ini tak hanya menjelaskan…


Kala Literasi

Jl. Pa’ Bentengang No.6, RT.01/RW.08, Mangasa Kec. Tamalate, Kota Makassar, Sulawesi Selatan 90221