Banjir Amarah

“Persamaan banjir dan marah,meluap kemana-mana. Apalagi jika bersatu: banjir marah, maka sempurnalah derita.” ( Maksim Daeng Litere, 160620)

Warga Kota Makassar cemas berjemaah. Air diperkirakan akan menggenangi kota hingga dua meter. Makassar siaga satu. Potongan video Wali Kota Makassar, Dani Pomanto, beredar mengimbau warga kota agar waspada. Kala mengimbau, ia sendiri berada di lokasi ketinggian air sepinggangnya. BMKG mengedarkan urita, pentingnya mewaspadai cuaca ekstrim, 12-16 Februari 2023. Pun, ketika saya tuliskan esai ini, hujan menderas, air masih menggenangi mukim saya. Pokoknya, pusat dan pinggiran Kota Makassar diterungku air. Pascabanjir, saya baca di teks berjalan televisi, ribuan orang mengungsi.

Sebagai warga Kota Makassar, pemukim di pinggiran kota, punya pengalaman intens dengan banjir. Sekadar menghangatkan ingatan. Tahun 1994, saya mulai mukim di bagian selatan kota. Enam belas tahun kemudian, pertama kalinya air menggenangi mukim saya. Banjir melanda Kota Makassar dengan ketinggian selutut di dalam rumah saya. Padahal, untuk ukuran sesama pemukim, rumah saya tergolong tinggi sejak awal dibangun, sekira pertengahan tahun 1980-an.

Tahun-tahun berikutnya, sudah jadi langganan banjir. Air selutut di dalam rumah sudah biasa. Seolah lutut saya jadi ukuran air. Lalu apa kerugian dari berkali-kali diserang banjir? Harta benda tidak banyak. Peralatan dan perabot berbahan serbuk kayu, sudah amblas sejak genangan pertama. Namun, harta paling berharga berupa bahan bacaan dan buku,  ratusan dimangsa air. Baik yang di toko maupun koleksi ruang baca. Maklum saja, rumah saya sekaligus menjadi tempat jual buku: Toko Buku Paradigma Ilmu.

Banjir demi banjir bertamu. Marah demi marah bertumpuk. Hingga kemarahan tiada lagi tersisa. Banjir masih ada, tapi kemarahan saya sudah habis. Saya teringat dengan Maksim Daeng Litere (170620), “Prilaku marah, diutus sebagai jebakan. Persis sebagai perangkap tikus.” Jadi, banjir terkini melanda Kota Makassar, memang lebih tinggi dari biasanya di mukim saya. Naik sejengkal. Artinya sudah sepaha. Lumayan pertambahannya, dari lutut ke paha. Adakah kerugian? Beberapa buku berenang, menikmati kejayaan air.

Sewaktu banjir terkini mengepung Kota Makassar, banyak sekali kemarahan publik muncul. Di media sosial, warga kota memuntahkan kemarahannya. Saya mengempatinya dari luar kota, sebab saya berada di satu daerah, 120 km dari Makassar: Kabupaten Bantaeng. Saya tetap bertanya kabar keadaan di mukim, mereka tenang menghadapi banjir. Bahkan, ketika saya menyatakan ingin segera ke Makassar, pasangan saya mencegah, sebab siapa tahu perjalanan tidak mulus, bisa-bisa muncul masalah baru. Terkadang saya membatin, orang-orang marah mungkin karena pemula. Baru pertama kali kena banjir.

Hari kedua setelah banjir, baru saya ke Makassar. Tiba di rumah, saya tetap disambut keramahan, tiada kemarahan. Saya mulai menelisik dampak banjir, siapa tahu ada yang luput dari penyelematan. Benar saja adanya. Di salah satu kamar, selama ini didiami putri saya yang sudah hijrah ke Bantaeng, ada satu kardus dan kantongan, luput dari perhatian. Alamak. Isinya buku-buku bergizi tinggi dan berkas: ijazah.

Tandasnya kemarahan saya, kemungkinan besar karena saya menganggap air, juga sebagai korban. Pasalnya, banyak daerah resapan air, tempat air selama ini hidup tenang, menyuakakan diri telah diusik. Sebagai misal, di wilayah pemukiman saya, semulanya terdapat banyak rawa-rawa, tetapi disulap menjadi perumahan. Setidaknya, ada tiga kompleks perumahan. Tentu lebih banyak lagi di bagian lain dalam Kota Makassar.

Artinya, air diserobot mukimnya. Maka air mencari tempat lebih rendah. Air menemukan salah satu tempatnya di rumah saya, sebab lebih rendah. Belum pernah direnovasi untuk ditinggikan. Sesama korban, lebih baik berdamai. Yah, berdamai dengan banjir. Air bah saya perlakukan sebagai tamu. Ia bisa datang dan pergi kapan saja.

Di mukim kami, seisi rumah mulai tumbuh sikap beramah-tamah dengan air. Isi rumah ditata sedemikian rupa, agar air selaku tamu datang, bisa nyaman adanya. Kami mulai mengganti perabot tahan air, berbahan plastik dan aluminium. Rak buku, terbuat dari kayu, kami kosongkan dua jenjang paling bawah. Air pun tak kuasa memanjat, meskipun ada satu dua buku melompat. Mungkin buku ingin mencoba jadi ikan.  

Ada kisanak-nyisanak yang mengusulkan, agar lantai rumah dinaikkan dan badan rumah ditinggikan. Usulan jitu, tapi kami belum punya cuan. “Pengauasa-penguasa, beri hambamu uang,” kata Iwan Fals. Saran paling praktis, waima paling rumit. Kerumitannya bisa memancing hadirnya kemarahan baru. Maksim Daeng Litere (201020) menegaskan, “Marah serupa tahi kopi didasar gelas. Sesekali naik ke permukaan, ketika diaduk buat diadu.”

Cukuplah kerumitan itu, disetubuhi oleh obsesi para penata kota yang mengidamkan Makassar, sebagai kota dunia, Kota Metaverse. Ingat, semetropolis apa pun satu kota, pasti ada kumuhnya. Saya tidak sedang memproklamasikan, mukim saya merupakan salah satu representasinya. Namun, patut diperhitungkan sebagai “polisi tidur”, gundukannya menjadi interupsi bagi pelaju jalan.

Meskipun saya sudah kehabisan marah, tapi saya memaklumi warga Kota Makassar atau warga kota-kota lain langganan banjir, masih memuntahkan amarahnya, seperti air banjir meluap kemana-mana. Air bah sebagai simbol kemarahan, saya tetap ingin kendalikan agar menjadi keramahan. Sebab, rasa marah itu tidak seperti air mengalir di sungai. Banjir hanya serupa luapan dari terserobotnya aliran dan penampungan, serta peresapannya.

Benar kata bijak bestari, ketika kita merasa marah, sadari amarah kita. Saat kita menyadari perasaan itu, kita tidak lagi terhanyut di dalamnya. Kesadaran membuat kita mampu melihat perasaan itu dari luar. Kesadaran bersifat murni, sama seperti langit yang terbentang. Amarah bisa membuat langit mendung sejenak, tapi perasaan itu tak dapat mengotorinya. Perasaan negatif datang dan pergi seperti awan mendung, tetapi langit yang terbentang luas akan tetap ada.

Tutur bijak bestari tersebut, saya nukilkan secara lugas dari Haemin Sunim, seorang guru meditasi Budha Zen dan penulis paling berpengaruh di Korea Selatan. Sunim menabalkan dalam salah satu buku larisnya, terjual lebih tiga juta eksamplar di Korea Selatan, berjudul The Tings You Can See Only When You Slow Down. Hal-hal yang dapat terlihat, saat engkau melambat.

Kala melambat di tengah seruduk kecepatan sahut menyahut kemarahann warga, saya melihat air sebagai korban, terbirit-birit penuh kemarahan. Menyerbu kota, disumpahi secara serapah, tapi begitu tiba di mukim saya, ia tenang menggenang, menyisakan kenang. Kenangan genangan menjadi kesenangan, seperti tembang kenangan yang ditembangkan ulang, demi mengawetkan keramahan, biar derita hengkang tunggang-langgang.  

  • Kadang kala, kita dituntut untuk sukses oleh orang-orang sekitar. Harus punya ini, bisa beli itu, jadi ini, dll. Padahal, bukankah definisi sukses antara saya, kamu, dan dia itu berbeda? Hal ini seringkali menjadi problematika di masyarakat, menyebabkan seseorang tidak mampu menjadi apa yang ia inginkan. Sebagai generasi Z, saat ini sedang dihadapkan oleh suatu tantangan.…

  • Purnama lalu, 18 Oktober 2022 kita memperingati Hari Perpustakaan Sekolah Internasional. Tak ada twibbon bertebaran, tidak ada ajakan membaca dari presiden, Mas Menteri pun sepertinya enggan berpidato, paling tidak mengajak sekolah memikirkan ulang perpustakaannya masing-masing. Kita juga sepertinya sama saja. Perpustakaan sekolah seolah hidup segan, mati tak mau. Antara ada dan tiada. Fisiknya kokoh berdiri,…

  • A’baribbasa’ berasal dari Bahasa Makassar baribbassa yang artinya pagi. Pagi yang dimaksud di sini adalah sebelum terbitnya matahari. A’baribbasa’ adalah tradisi sarapan bersama di pagi hari jelang panen padi. Jika melihat ke belakang dari sejarah peradaban Bugis-Makassar, a’baribbasa’ adalah bagian dari penghormatan kepada Sangiang atau Sangeng Serri yang merupakan Dewi Padi yang dipercaya sebagai seorang…

  • Seorang lelaki yang telah lama hidup sendiri sangat gemar memakan labu kuning. Aneka jenis hidangan selalu ada unsur labu yang ia masukkan. Seperti sayur, sup, jus, kue maupun roti. Suatu waktu ia harus meninggalkan rumahnya di desa dan memulai hidup baru di kota seberang. Harta yang ia miliki hanyalah rumah dan labu-labunya. Rumahnya pun sudah…

  • Malam sedang pekat-pekatnya, mata ini tak kunjung terlelap. Di luar, rintik hujan sedang malu-malu menyapa tanah. Saya lalu menyalakan televisi, tapi seperti kita ketahui, tak ada tontonan menarik saat tengah malam. Ya, paling hanya berita tadi pagi, disajikan kembali. Atau sinetron, tapi tak amat seru untuk ditonton. Saya lalu beralih, membuka gawai. Membuka YouTube, sementara earphone telah…


Kala Literasi

Jl. Pa’ Bentengang No.6, RT.01/RW.08, Mangasa Kec. Tamalate, Kota Makassar, Sulawesi Selatan 90221