Tahun 2016 telah berakhir dengan tetap meninggalkan banyak persoalan di dunia pendidikan Indonesia.Terutama institusi perguruan tinggi baik itu negeri maupun swasta, berlomba-lomba atau berkompetisi menceburkan diri ke dalam skema pasar neoliberalisme menuju label world classuniversity. Kampus dengan biaya kuliah mahal, rawan korupsi, dan tidak memberikan hak-hak dasar mahasiwanya, seperti fasilitas kuliah yang tidak layak, serta ruang kebebasan berorganisasi yang terbatas dan jaminan masa depan yang suram, pastinya akan memicu protes dari mahasiswa sebagai kelompok mayoritas di kampus. Sekali lagi, satu teori yang tak pernah usang diberangus zaman dicetuskan oleh “mbah janggut” Karl Marx, bahwa keadaan sosial akan mempengaruhi kesadaran sosial, dan seperti itulah kampus yang menciptakan sebuah keadaan yang jauh dari kenyataan kongkret, sehinga melahirkan gerakan mahasiswa untuk merubah keadaan tersebut.
Makassar dan gerakan mahasiwa adalah satu keterikatan historis yang panjang dari era Orde Lama, Orde Baru dan Pasca Reformasi. Meskipun masih akan menjadi perdebatan apakah gerakan mahasiswa Makassar berada pada situasi yang pramagatis, atau progresif, karena tulisan ini sesungguhnya bukan untuk membahas hal tersebut.
Hampir sama dengan tahun-tahun sebelumnya. Tahun 2016, beberapa kampus-kampus di Makassar tetap melakukan protes terhadap kondisi bangsa hari ini, dan khususnya masalah-masalah yang terjadi di kampus. Mencoba untuk melihat dari beberapa aspek, bahwa secara subjektif saya menilai di tahun 2016, ada dua momentum gerakan mahasiswa Makassar yang sedikit memberi harapan terhadap masa depan gerakan mahasiswa itu sendiri. Pertama adalah aksi demontrasi yang melibatkan ribuan mahasiswa dari berbagai kampus di Makassar seperti Universitas Negeri Makassar (UNM), Universitas Hasanuddin (UNHAS), dan Universitas Muslim Indonesia (UMI) pada saat Hari Pendidikan Nasional 2 Mei 2016 dengan mengangkat isu sentral “Tolak Komersialisasi Pendidikan”. Dan yang kedua, adalah kemenangan mahasiswa Universitas Islam Negeri Alauddin Makasssar (UINAM) menolak kebijakan Rektor untuk menerapkan sistem parkir berbayar pada tanggal 19 Desember 2016.
Dua momentum gerakan mahasiswa Makassar tersebut merupakan fakta yang kemudian membuktikan bahwa mobilisasi massa aksi sebanyak-banyaknya adalah hal yang terpenting dalam gerakan mahasiswa. Akan tetapi di tahun yang sama, kita mungkin saja tidak tahu atau hanya sedikit mendapatkan informasi bahwa ada tiga mahasiswa dari Univestitas Islam Makassar (UIM) yang terkena sanksi drop out (DO), dan kemudian menggugat Rektor UIM Dr. Majdah Muhyiddin Zain di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Makassar.
Adalah Bakrisal Rospa, Henry Foord, dan Dzulhilal, ketiga mahasiswa Fakultas Teknik UIM yang tidak lagi menyandang status sebagai mahasiswa berdasarkan Surat Keputusan Rektor UNIVERSITAS ISLAM MAKASSAR NOMOR: 863/UIM/SKEP/II/2016 Tanggal 17 Februari 2016, yang dalam surat tersebut tidak dijelaskan secara detail aturan apa dan pasal berapa yang dilanggar oleh ketiga mahasiswa tersebut berdasarkan peraturan akademik dan kemahasiswaan yang berlaku di Kampus UIM.[1]
Kasus ini bermula dari sebuah pertanyaan kritikan kepada pimpinan kampus yang berujung pada sanksi D.O. Bakri, Henry, dan Hilal mempertanyakan kedudukan masa jabatan Rektor UIM yang telah menjabat selama tiga periode yang menurut ketiga mahasiswa ini adalah sesuatu yang bertentangan dengan kebijakan yang berlaku.
“Sebelum kami mempertanyakan hal tersebut, kami terlebih dahulu berkunjung ke Kopertis Wilayah IX mempertanyakan pengangkatan rektor dan masa jabatan rektor skala Perguruan Tinggi Swasta (PTS) dan dari pihak Kopertis Wilayah IX memberikan selebaran yaitu tentang aturan masa jabatan rektor skala PTS dan mengatakan kepada mahasiswa yang bersangkutan bahwa, pengangkatan Rektor PTS harus tetap mengacu pada aturan SE-Dikti 2075/D/T/1998 Yang intinya bahwa masa jabatan rektor hanya sampai dua periode dimana satu periode masa jabatannya adalah selaam empat tahun dan landasan hukum yang lain adalah PP RI No. 60 tahun 1999 dan Permendiknas No. 67 tahun 2008. Inilah yang kami anggap bahwa pengangkatan Dr Majdah Muhyidin Zain untuk ketiga kalinya secara berturut-turut sebagai Rektor UIM Tidak Sah/Cacat Hukum dan mengakibatkan seluruh tindakannya atas nama rektor menjadi juga tidak sah, bahkan Ijazah Mahasiswa yang ditanda tangani oleh rektor juga tidak sah,”[2]
Dari pertanyaan tersebut, kemudian menjadi alasan pimpinan kampus dalam hal ini Rektor UIM menerbitkan SK DO tanggal 17 Februari 2016, dan baru diserahkan kepada ketiga mahasiswa tersebut pada tanggal 29 Februari 2016.
Dari keterangan di atas muncul pertanyaan. Apa yang salah dari pertanyaan ketiga mahasiswa tersebut? Sebagai salah satu kampus Islam yang memiliki visi misi menjadi universitas yang terkemuka dengan berdasarkan nilai-nilai ajaran Islam Ahlu Sunnah Wal Jamaah An-Nahdliyah, kenapa justru anti terhadap pertanyaan kritikan mahasiswanya sendiri? Apakah Islam juga anti terhadap kritikan?
Kita harus kembali mengingat kisah tauladan Rasulullah SAW sebagai pemimpin besar yang juga pernah dikritik oleh kaumnya. Salah satunya kisah Rasulullah SAW tentang kritik yang disampaikan Umar Bin Khattab, yakni ketika kepada orang-orang munafik Abdullah bin Ubay bin Salul mati dan anaknya yang bernama Abdullah bin Abdullah bin Ubay bin Salul yang muslim memberitahukan kepada Rasulullah SAW perihal kematian ayahnya yang munafik itu. Lalu Rasullullah SAW dengan sejumlah sahabatnya melakukan shalat Jenazah.Umar menolak dengan keras, mengkritik dan menentang keputusan Rasulullah SAW tentang shalat jenasah orang munafik.Ternyata tindakan Umar tersebut dibenarkan oleh wahyu Allah yang melarang Nabi melakukan shalat atas orang-orang munafik dan orang-orang fasik yang mati. Hal ini termasuk dalam firman Allah dalam (Q.S.9/ At-Taubah :84). Setelah kejadian tersebut Rasulullah SAW tidak memarahi Umar atau bahkan membenci Umar bahkan Rasulullah SAW mengucapkan terima kasih dan meminta maaf kepada Umar karena kritiknya tidak didengar.[3]
Dari kisah Rasulullah SAW yang menghadapi kritikan di zamannya, tentu sangatlah berbeda dari sikap Rektor UIM yang juga menerima kritikan dari mahasiswanya sendiri, dan secara tidak langsung menghambat kemajuan kampus yang bercita-cita menjadi kampus berwawasan intelektual dan bernuansa islami. Bahkan setelah PTUN Makassar melalui majelis hakim yang diketuai oleh Michael Renaldy Zein S.H M.H mengabulkan gugatan ketiga mahasiswa UIM yang terkena sanksi D.O, dan mewajibkan pihak kampus kembali mengembalikan statusnya sebagai mahasiswa pada Tanggal 8 November 2016, justru Rektor UIM memilih mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN).
Menemukan Arus Baru
Proses hukum yang masih terus berlanjut dan status yang belum jelas justru tidak membuat Bakri, Henry dan Hilal menyerah dengan keadaan tersebut. Ketiga mahasiswa ini terus berjuang menggalang dukungan seluas-luasnya. Masalah yang menimpa ketiga mahasiswa ini telah mengajarkan banyak hal. Yakni tentang proses dan memaknai arti dari sebuah nilai perjuangan untuk merebut hak sebagai manusia, dan mahalnya kebenaran pada institusi yang seharusnya memanusiakan manusia. Kampus UIM bukanlah kampus yang memiliki sejarah gerakan mahasiswa yang besar ketika dibandingkan dengan UNM, UNHAS, dan UIN. Tetapi mereka bertiga telah memulai meninggalkan arus lama di mana kebanyakan mahasiswa UIM masih belum memahami kontradiksi yang terjadi secara utuh.
Mereka bertiga telah menemukan arus baru, karena mereka sadar arus lama hanyalah bermuara pada keterasingan yang hanya akan merendahkan harga diri dan membatasi kemajuan sebagai manusia. Arus baru adalah harapan dan keyakinan untuk mewujudkan pendidikan yang mengedepankan nurani dan akal sehat, seperti konsep yang dicetuskan Paulo Freire, mengembalikan fungsi pendidikan sebagai alat yang membebaskan manusia dari berbagai bentuk penindasan dan ketertindasan, atau bisa disebut dengan usaha untuk “memanusiakan manusia”. Tidak hanya cukup menaruh hormat kepada Henry, Dzul dan Hilal, tetapi mendukung dan menjadi bagian dari perjuangannya adalah tugas kita bersama. Karena sekali lagi, untuk mendobrak sistem yang menindas dibutuhkan persatuan dan solidaritas!
[1]Surat Keputusan Rektor UNIVERSITAS ISLAM MAKASSAR NOMOR: 863/UIM/SKEP/II/2016
[2] Henry Ford. Wawancara pada tanggal 5 Januari 2017
[3] Bambang, “KEPEMIMPINAN NABI MUHAMMAD SAW, DIKRITIK UMAR BIN KHATAB” http://http://wwwbambangsmanic.blogspot.co.iddiakses pada tanggal 20 Januari 2017
Ilustrasi: http://suakaonline.com/2610/2014/05/08/orasi/