Perubahan

Perubahan untuk konteks bernegara atau berpolis biasanya dilatari oleh faktor-faktor yang tetap. Menurut Aristoteles dalam buku Sejarah Pemikiran Politik karya Martin Suryajaya, perubahan, atau biasa disebut revolusi (perubahan radikal), “Di manapun juga disebabkan oleh adanya ketidaksetaraan”.

Untuk itu, marilah kita melihat konteks ketidaksetaraan yang dialami oleh para pendemo 4 November, untuk melihat kemungkinan adanya revolusi.Ya, memang terdapat ketidaksetaraan yang dialami oleh para pendemo, yaitu ketidaksetaraan pemahaman mengenai pernyataan Ahok, yang memicu kemarahan sebagian umat Islam karena menganggap ucapan Ahok menghina Al-qur’an.

Ketidaksetaraan pemahaman ini dimediasi oleh polis untuk melakukan tindak demonstrasi, yang berarti pula bersifat demokratis, lantaran tersedianya jalur aspirasi. Meski dalam perjalanannya, komitmen damai dibuyarkan oleh aksi-aksi tidak bertanggung jawab oleh oknum, dan sesuatu yang susah untuk dihindari, lantaran saking merunyaknya pidato-pidato demagog yang menggunakan simbol-simbol agama, hingga mendorong meledaknya kekerasan.

Bagaimana memediasi ketidaksetaraan pemahaman ini, tak lain hanya melalui jalur pendidikan, yaitu pendidikan yang baik, yang kompleks, dengan mengedepankan nilai-nilai terbaik yang ada di aliran masing-masing, dengan mengembalikan kembali keteladanan para pemimpin aliran tersebut, bukan dengan melihat tindak pemimpin atau kitab secara sepotong-sepotong.

Negara juga harus hadir untuk menciptakan kondisi yang kondusif agar keanekargaman di antara kita dapat terwadahi dengan baik. Bukan memberi wewenang yang sangat luas kepada institusi negara yang mengatasnamakan agama, untuk mengobok-obok persaudaraan kita sesame warga Indonesia. Institusi seperti itu harus diisi oleh perwakilan agama-agama di Indonesia yang dapat berdialog, lebih bijaksana, lebih mengedepankan kebahagiaan umat. Bukan pemimpin yang gegabah, yang hanya memikirkan ego diri semata, namun mengorbankan persaudaraan umatnya. Negara harus mampu mengelola perbedaan di masyarakat seperti mengelola warna-warna untuk lukisan yang indah. Negara harus menjadi penengah dan penyeimbang di antara kekuatan-kekuatan di masyarakat, sehingga masing-masing elemen dapat bekerjasama dan berkompetisi secara optimal demi kebaikan bersama.

Sekali lagi, perubahan dapat terjadi akibat adanya ketidaksetaraan. Lantas, ketidaksetaraan seperti apa yang dimaksud? Yang paling utama adalah ketidaksetaraan ekonomi yang sudah berlarut-larut. Sehingga orang-orang miskin beserta orang-orang yang simpatik pada ide keseteraan ekonomi menuntut perubahan di pemerintahan maupun perubahan konstitusional. Sehingga terjadi distribusi kekayaan yang lebih adil.

Ketidaksetaraan berikutnya adalah ketidaksetaraan politik. Banyak orang tidak punya kesempatan untuk berpartisipasi secara politik. Malahan mereka ditindas dengan kejam oleh para pemimpin, yang tentu korup, jumawa, dan mengelola pemerintahan secara tiranik.

Ketidaksetaraan-ketidaksetaraan ini lalu digodok oleh pemimpin-pemimpin populis, yang secara signifikan merumuskan langkah-langkah untuk mencapai perubahan, serta memasok energi moral kepada rakyat banyak yang menuntut.

Mengamati peristiwa dan faktor-faktor yang mendasari peristiwa 4 November kemarin, perubahan apakah yang mereka inginkan? Saya sedikit menyimpulkan, mereka ingin mengganti kepemimpinan dengan pemimpin yang ber-KTP Islam. Lantas apalagi? Turunkan moral pemimpin yang lebih tinggi, karena dianggap pengecut dan tidak mendengar rakyatnya.

Apa landasan argumentasinya, bahwa pemimpin yang tidak ber-KTP Islam tidak diperbolehkan oleh agama. Argumentasi ini sangat bias diperdebatkan, apalagi saat ini kita berada dalam negara yang dibangun dengan semangat nasionalis, kebersamaan, kerakyatan, kemanusiaan, ketuhanan, demi keadilan sosial. Bukan atas dasar keislaman sempit semata.

Dari buku Abdurrahman Wahid, Islam ku, Islam Anda, Islam Kita, dijelaskan bahwa inti dalam Islam adalah ajaran untuk menjalani hidup yang luhur. Tujuan dari konsep ummah, yang berasal dari kata ummi adalah persaudaraan, yang dalam artian tolong menolong dalam keadaan susah, dengan tujuan kesejahteraan bersama. Agama Islam sangat menekankan aspek kemakmuran bersama, meski bukan dengan pemerintahan Islam. Sang penulis pun sudah keliling dunia untuk mencari mahluk bernama negara Islam dalam pemikiran Islam, namun tidak ia ketemukan hingga akhir hayatnya.

***

Untuk itu, sepanjang tuntutan mereka tidak berurusan dengan kehancuran ekonomi yang sudah berlarut-larut, sepanjang tuntutan mereka bukan atas dasar tidak adanya aspirasi politik, negara ini aman-aman saja.

Tapi, jika orang banyak menuntut hal-hal fundamental tersebut, saya pun akan ikut ambil bagian, setidaknya menjadi batu bara untuk membakar para tiran.

  • Semua berawal dari nelayan pencari telur ikan terbang (Patorani) yang merasa diperlakukan tidak adil. Ya, nelayan itu menceritakan kekesalannya kepada saya di salah satu pos ronda dekat rumah. Dia menceritakan kepada saya betapa tidak adil upah yang ia dapat dari majikan kapalnya (Pinggawanya). Menurut dia,  seharusnya dia dapat memperoleh lebih dari itu, karna kerja-kerja yang…

  • Bagi seorang pemula seperti saya, ternyata menulis itu gampang-gampang susah. Sebab, menulis tidak hanya menyusun huruf demi huruf. Merangkai kata demi kata. Menyusun kalimat demi kalimat. Akan tetapi, menulis lebih dari kegiatan semacam itu. Menulis adalah sebuah aktivitas yang menuntut seperangkat kecerdasan. Disebut seperti itu, karena menulis mengharuskan ketepatan logika, kerunutan akal pikir, kesesuaian antara…

  • L’Etat C’es Moi (Negara adalah saya). Kalimat ini pernah diungkapkan oleh Raja Lois XIV di hadapan Parlemen Perancis. Konstitusi yang berlaku adalah pengejawantahan dari titah dan perintah Sang Raja. Ucapan Sang Raja akan menjadi undang-undang. Kehendak Sang Raja wajib dilaksanakan untuk mengisyaratkan kepatuhan dan ketaatan. Rakyat dinilai taat dan patuh kepada konstitusi jika melaksanakan titah…

  • Setiap kali hujan turun, itu akan cepat menarik perhatian Banu sama seperti saat ia kegirangan melihat ayam, atau sapi, yang sering berjalan-jalan tanpa tuan, tanpa arah di sekitar perkampungan tempat kami tinggal. Dengan segera ia bakal meninggalkan apapun yang sedang ia lakukan saat itu, dan secepat mungkin berdiri memagu di balik jendela. Atau di waktu…

  • Kau duduk di kursi belakang dengan gelisah. Suasana terlihat begitu ramai karena musyawarah akan segera dimulai. Tempat itu menjadi cerita, di mana hanya kau dan aku saling bertukar kasih dan harapan.  Kau seorang diri di depan mereka yang enggan duduk berdekatan denganmu. Tak ingin diusik dengan keberadaanmu. Mereka memandang kau hidup pada kekosongan, pada kehampaan,…


Kala Literasi

Jl. Pa’ Bentengang No.6, RT.01/RW.08, Mangasa Kec. Tamalate, Kota Makassar, Sulawesi Selatan 90221