Dialog Imajiner di Paris

Paris adalah salah satu tempat yang masuk dalam daftar negara yang harus saya kunjungi. Bukan karena saya ingin melihat menara Eiffel dan “selfie” di sana, atau berkunjung ke Arc de Triomphe untuk merasakan kemenangan Napoleon dalam perang Austerliz. Saya juga tak tertarik untuk mengunci cintaku dengan gembok pada jembatan cinta di Paris.

Saya sangat ingin ke Paris di era 40-an, dan hanya satu jenis tempat yang ingin saya kunjungi di sana; kafe. Di era 40-an itulah kafe-kafe Paris diisi oleh orang yang gemar berdiskusi membincangkan segala macam teori tentang kehidupan, sambil menyeruput secangkir kopi. Saya sungguh ingin menikmati kopi bersama Sartre, Simone, dan Camus sambil mendiskusikan pelbagai gagasan besarnya. Sudah kupersiapkan pertanyaan pemungkas untuk mereka.

Tiba-tiba seorang teman yang sedang menyempurnakan ide Stephen Hawking tentang mesin waktu, menawarkan sebuah kejutan. Namanya Zulfikar seorang teknokrat muda yang tak pernah tersentuh oleh media. Ia menawarkan untuk berkelana ke Paris dengan bantuan mesin waktu, dan tanpa pikir panjang aku menerima tawarannya. Saya memintanya memberangkatkanku ke Paris di tahun 40-an, percobaannya berhasil, saya langsung tiba di bandara Charles de Gaulle, Paris. Perjalanan yang sungguh cepat. Tanpa berbelit-belit (seperti pemilihan Walikota), pergilah saya ke kafe tempat di mana Om Sartre selalu nongkrong dan menghabiskan waktunya.

Perjumpaan pertama saya dengan Sartre sungguh mengesankan. Beliau langsung mempersilakan untuk duduk, dan juga memesankan secangkir kopi hitam yang diolah dengan teknik yang khas. Setelah duduk, saya segera memperkenalkan diri.

“Saya adalah manusia dari milenium kedua, di mana gagasanmu sangat banyak didiskusikan dan juga bahkan banyak dihujat,” ucapku kepada Sartre. Sartre langsung merespon dengan sangat santai, “Begitulah nasib sebuah pemikiran, Bung. Ia akan selalu menemukan lawannya.”

Kemudian kami berdiskusi tentang revolusi Prancis (1789-1799) yang konon menjadi latar belakang lahirnya gagasan eksistensialime humanis ala Sartre. Diskusi ini dibuka dengan pembahasan liberte (kebebasan), egalite (kesetaraan), dan fraternite (persaudaraan), sebagai tiga pilar Revolusi Prancis dan roh dari humanisme. Di pertengahan penjelasan dari Sartre, saya langsung memotongnya dengan sebuah pertanyaan, “Apa yang membedakan humanisme Revolusi Prancis yang di bawa Erasmus Huis dengan humanisme yang Anda gagas, Bung?” tanyaku. “Humanisme yang kuperkenalkan lebih radikal dan sangat eksistensial,” kata Sartre. “Humanismeku menolak nilai-nilai di luar individu, bahkan nilai yang selama ini dianggap suci dan juga sangat sakral, yaitu nilai ketuhanan.” Ia kemudian melanjutkan, “Kebebasanmu palsu Anak Muda, jika masih dikungkung oleh nilai yang sangat dikultuskan itu,” kata Sartre. Mendengar pernyataan itu, saya termenung. Tanganku segera mengambil cangkir kopi dan segera menyeruputnya. Saya punya keyakinan jika kopi mampu melahirkan 1000 dialektika dalam diskusi.

“Tuhan dalam pandangan Anda seperti apa sih Om?” tanyaku kepadanya. “Tuhan itu diri Anda sendiri Bung, kau berawal dari eksistensi dan memiliki totalitas untuk menentukan bagaimana esensimu, jika kau meyakini Tuhan, itu sama saja kau sedang memproyeksikan dirimu yang menyempurna,” jawab Sartre. “Terus, bagaimana dengan penciptaan manusia?” tanyaku kembali. Sartre mengangkat gelas kopinya yang sudah hampir habis, sebelum menjawab pertanyaanku tiba-tiba seorang perempuan dengan jaket hitam dan rambut yang diikat seperti disanggul datang menyapa kami. Saya dan Om Sartre langsung berdiri. Kemudian Om Sartre memperkenalkan saya kepada perempuan tersebut. “Ini adalah teman saya dari melenium kedua,” kata Sartre. Dengan wajah merah merona ala iklan di produk kecantikan, saya menyapa nyonya yang baru datang itu. Sungguh telah lama kunantikan pertemuan ini. Dialah perempuan pejuang feminisme, namanya Simone de Beauvoir, yang juga kekasih dari Om Sartre. Kami pun duduk bersaman, dan Om Sartre langsung memesankan kopi buat Nyonya Simone. “Saya ke toilet dulu yah,” kata Sartre meninggalkan kami untuk sementara.

Berdiskusi berdua dengan Tante Simone cukup menegangkan. Hanya ada satu pertanyaan yang terlintas, “Apa yang Nyonya perjuangkan dari perempuan?” tanyaku. Seperti yang dilakukan Om Sartre sebelum menjawab pertanyaanku, Nyonya Simone mengangkat gelas kopi yang masih sangat hangat , kemudian tenang sejenak dan berkata, “Suatu ketika aku ingin menjelaskan diriku pada diriku sendiri. Dan perkara itu menohokku dengan sebuah kejutan bahwa hal pertama yang harus aku katakan adalah aku seorang perempuan.” Sungguh jawaban yang membuat tanganku secara tak sadar mengangkat gelas kopi untuk tegukan terakhir.

Tak lama kemudian Om Sartre pun datang, Nyonya Simone pun mengambil buku dan pulpen untuk memulai menulis, begitupun Om Sartre. Begitulah rutinitas yang selalu dilakukan dua sejoli yang telah bersama selama 50 tahun ini. Sepertinya, inilah waktu yang pas untuk pamit, “Saya beranjak dulu,” kataku ke mereka berdua. “Mau ke mana kau Anak Muda?” tanya Tante Simone. “Aku ingin ke kafe di ujung jalan sana untuk bertemu Om Camus”, kataku. “Sering-seringlah ngopi di sini Anak Muda.” Itulah kalimat terakhir Sarte yang menjadi tanda perpisahan kami.

Lanjutlah perjalanan saya ke Kafe selanjutnya. Kafe di mana Om Camus sering ngopi. Sosok yang di puja karena buah pikiran mengenai absurditas yang sangat luar biasa. Dari dekat saya melihat Camus duduk sendiri dengan kopi di depanya dan sebatang rokok dijarinya. “Selamat malam Monsieur.” Itu ungkapan pembuka saya saat bertemu Om Camus. Beliau berdiri dan menyodorkan tangannya untuk berjabat tangan dengan saya, dan kemudian mempersilakan saya untuk duduk. “Dari mana kamu Anak Muda?” tanya Camus. Seperti jawaban saya ke Om Sartre, “Aku adalah manusia dari milenium kedua,” kataku. “Kamu mau minum apa Anak Muda?” tanya Camus. “Seperti yang anda minum saja Om,” jawabku. Pesanan pun datang, gelas yang berisikan kopi hangat dengan aroma yang sungguh sedap. Tapi kopi kali ini berbeda, rasanya “gila” karena tanpa gula, jika kopi yang konon katanya bisa melahirhan 1000 ide, untuk kopi ini saya jamin bisa menghasilkan 2000 ide, ucapku dalam hati.

Ternyata Camus tak absurd untuk persoalan kopi. Beliau penikmat kopi nomor wahid yang pernah saya temui. Itulah penilaian saya sejauh ini untuk Camus. Sambil meminum kopi diskusi kami pun mengalir. Kami mendiskusikan novel Orang Asing yang merupakan salah satu karya yang memuat filosofi absurditasnya. Saya bertanya tentang Mersault yang merupakan tokoh utama dalam novel itu, kami juga berdiskusi tentang sosok Sisifus. Camus mengatakan manusia itu seperti Sisifus, yang tak hentinya mendapatkan hukuman dari dewa, tapi tetap senang dan bahagia. Hal ini terjadi karena sudah terbiasanya Sisifus mendapatkan itu, seperti itulah yang akan terjadi di semesta ini. “Sosok Mersault akan banyak muncul, dan tak akan terhitung pada saat milenium tiba Anak Muda,” tambahnya.

Teriakan terdengar, dan saya merasa ada pukulan di bagian kaki, ternyata saya dibangunkan secara tidak manusiawi oleh Zulfikar. “Dialektika Night sudah mau dimulai” katanya. Saya terbangun dengan senyum. Sungguh mimpi yang indah, kataku dalam hati.

  • Bagaimana kita mengenang lembaran peristiwa? Lalu mengenalkannya kepada generasi berikutnya? Bagaimana pula agar ia mengabadi, tak lapuk karena hujan, tak lekang oleh panas? Jika kita hidup ribuan tahun lalu, jawabannya mungkin sudah temukan di kekinian. Sayangnya, batok kepala manusia bukanlah dinding gua yang bisa dipahat dan dicorat-coret semau-maunya. Pikiran bukanlah tangan yang bisa digenggam. Manusia…

  • “Tidak satu pun milik kita, tidak juga tubuh kita. Kita selalu menyewa, tak pernah memiliki.” Kalimat ini berhasil mencuri perhatian saya, mengambil jeda sesaat untuk menyunggingkan senyum. Benar, Epictetus telah menampar saya dengan gagasannya yang memang masuk akal namun sebenarnya kurang realistis, atau mungkin tepatnya tidak berprikemanusiaan dan prikebinatangan (karena binatang pun tidak ingin kehilangan).…

  • Sembilan puluh tiga tahun yang lalu, di gedung Dalem Jayadipuran, Yogyakarta. Dihelatlah forum Kongres Perempuan Indonesia pertama, digelar 22—25 Desember 1928. Kongres ini menjadi awal kebangkitan perempuan Indonesia. Kita tahu, saat itu adalah masa-masa kelam kolonialisme. Juga zaman di mana patriarki masih mencengkram kuat wajah pilu ibu pertiwi. Laki-laki berjuang melawan teror, sedang dunia perempuan…

  • Sampai hari ini saya masih menyimpan pertanyaan berapa total jarak tempuh seorang ibu saat bekerja di dalam rumah. Membereskan kamar tidur, memotong tomat, merapikan sudut-sudut kursi, menyapu, menyiram tanaman, atau beranjak ke pasar, yang semuanya merupakan titik-titik saling terhubung, bekelindan, tumpang tindih, dan silang menyilang, yang satu sama lain dikerjakan melalui kekuatan kedua kakinya. Semuanya…

  • “Untuk sukses sangatlah tidak nyaman. Maka kau harus nyaman dengan ketikdanyamanan itu, jika kau ingin sukses.” –Less Brown. Di senja yang teduh, a million dreams—soundtrack film The Greatest Showman yang dilantunkan Ziv Zaifman dan Hugh Jackman, memecah sepi. Never enough, soundtrack untuk opera film itu yang keluar dari suara emas Loren Allred benar-benar menyentuh hati,…


Kala Literasi

Jl. Pa’ Bentengang No.6, RT.01/RW.08, Mangasa Kec. Tamalate, Kota Makassar, Sulawesi Selatan 90221