Mengintip Sejenak “Si Kyai Merah”

Judul: Pertarungan Islam dan Komunisme Melawan Kapitalisme: Teologi Pembebasan Kyai Kiri Haji Misbach
Penulis: Nor Hiqmah
Penerbit: Madani, 2011
Tebal: 113 halaman

“jangan takut, jangan khawatir”

  –Misbach

Siapa yang tidak mengenal Haji Misbach, mungkin banyak, mungkin juga sedikit. Tetapi itu bukan soal. Biarkan itu menjadi hipotesa sementara, yang terpenting adalah bagaimana kita bisa melihat dan mediskusikan sosok “Kyai Merah” seperti Haji Misbach ini. Sebelum kita lebih jauh menelisik sosok Haji Misbach, saya ingin mengajak pembaca yang budiman untuk menyatukan presepsi, bahwa setelah rezim  Orde Lama tumbang, dan digantikan oleh zaman Orde Baru, dalam hal ini rezim Soeharto,  hampir seluruh elemen masyarakat menjadi serba bungkam, terkhusus dalam mendiskusikan tokoh-tokoh terlarang, dan peristiwa- peristiwa kelam di masa lalu, baik itu peristiwa G30S/PKI sampai pemberontakan-pemberontakan awal sebelum meletusnya peristiwa 65.

Tetapi suatu kesyukuran bagi kita semua karena setelah Orde Baru runtuh, Kran demokrasi menjadi terbuka. Hal ini ditandai dengan banyaknya peluncuran buku-buku “kiri” dari Jawa khususnya di Yogyakarta, meskipun hal ini masih menjadi hal yang sensitif, tetapi setidaknya ruang-ruang  sejarah menjadi terbuka dan bisa kita dijadikan sebagai wacana dan diskusi-diskusi akademik. Maka dari itu pada kesempatan ini saya akan mencoba mereview  tulisan Nor Hikmah yang berjudul: Pertarungan Islam & Komunisme Melawan Kapitalisme : Teologi Pembebasan Kyai Kiri, Haji Misbach. Buku ini merupakan edisi perbaikan dari yang telah diterbitkan pertama kalinya. Saya mengaku tidak Sehebat Nor Hiqmah yang menulis khusus tentang Haji Misbach, tetapi setidaknya melalui tulisan ini sedikit banyak bisa menambah wawasan kita tentang sejarah, tokoh-tokoh yang berpengaruh di masa Haji Misbach.

 

Haji Misbach dan Sepak Terjangnya

Nor Hiqmah menulis tentang Haji Misbach, mencoba menampilkan sosok Haji Misbach sebagai tokoh propagandis sekaligus tokoh penggerak kaum muda Islam. Haji Misbach lahir pada tahun 1876 di Kauman Surakarta, dari keluarga pedagang batik yang sukses,  ketika masih kecil ia bernama Achmad, lalu setelah menikah ia berganti nama Darmodipromo, dan setelah menikah untuk yang terakhir kalinya ia berganti nama Mohammad Misbach yang sampai hari ini kita kenal dengan sebutan Haji Misbach sang “Kyai merah”, karena ia hidup dalam keluarga pejabat keagamaan kraton, dengan kondisi keuangan yang cukup, maka ia disekolahkan dalam pendidikan pesantren, perlu kita ingat bahwa di masanya tidak semua pribumi bisa berpendidikan, kecuali orang-orang dari kalangan pejabat, pengusaha kaya, meskipun nantinya telah di sediakan pendidikan untuk orang-orang golongan bawah, tetapi dengan kelas yang berbeda dengan para pejabat, pengusaha yang berada di golongan atas.  Menginjak dewasa ia sempat menggeluti usaha dagang batik higga sukses, dengan watak yang revolusioner dan senang berorganisasi maka akhirnya ia meninggalkan usahanya dan memilih  bergabung di IJB (Inlandsche Journalisten Bond) yang didirikan oleh Mas Marco Kartodikromo pada tahun 1914 dan bergabung dengan Sarekat Islam, disingkat SI.

Sepak terjang Haji Misbach  dimulai pada tahun 1915 ketika ia menerbitkan surat kabar Medan Muslimin, kemudian pada tahun 1917 menerbitkan surat kabar Islam bergerak, yang nantinya akan menjadi media propaganda yang sangat berpengaruh menentang kolonialisme Belanda. Nor Hiqmah sering mengutip tulisan-tulisan Haji Misbach dari surat kabar. Melakukan propaganda melalui media membuatnya dikenal dan dihormati. tidak hanya itu Haji Misbach selalu mengutip ayat-ayat Al-Qur’an untuk mendukung tulisan dan propagandanya. Pada tahun 1920 ia sudah terlibat dalam pemogokan-pemogokan di wilayah Klaten sampai akhirnya diseret ke pengadilan dan dipenjara. Pada tanggal 22 Agustus tahun 1922 ia kembali dibebaskan dari penjara Pekalongan, kemudian bergabung dengan PKI (Partai Komunis Indonesia) yang bergerak untuk memperjuangkan hak-hak kemanusian, membela para buruh, petani-petani miskin dan melawan kolonialisme Belanda.

Sampai di sini kita bisa melihat bahwa wajar ketika setiap gagasan Haji Misbach selalu disertai dengan kutipan-kutipan ayat Al-Quran sebab ia berlatar belakang pendidikan pesantren, tetapi yang menarik nantinya adalah dia berusaha mempertemukan wajah Komunisme dan Islam dalam satu kesatuan yang sama sekali tidak bersebrangan, dalihnya, kesamaan misi yaitu misi kemanusiaan. Setelah ia bergabung dalam organisasi partai, dia menjadi propagandis yang lebih garang. Nor Hiqmah mengganggap Haji Misbach memilih bergabung dengan partai kiri sebab organisasi-organisasi Islam tidak mampu menampung aspirasi rakyat kecil. Menurutnya organisasi Islam seperti SI di bawah pimpinan Tjokroaminoto dan Muhammadiyah dianggap mandul dan lebih bersikap kooperatif terhadap pemerintah Hindia Belanda. Sebaliknya organisasi komunislah yang mampu bersikap radikal dan anti kooperatif terhadap pemerintah kolonial.

 

Pecahnya SI dan Disiplin Partai

Salah satu hal yang melahirkan perpecahan dalam tubuh SI dimulai ketika Tjokroaminoto menetapkan aturan tentang disiplin partai, hal ini yang di tentang oleh Semaun, Tan Malaka, termasuk Haji Misbach, mereka menganggap SI yang dibawah pimpinan Tjokroaminoto bergerak dan mendukung langkah-langkah pemerintah. Selain itu, iuran dan anggaran yang diperoleh SI digunakan untuk keperluan pribadi,  hal ini yang disebut Haji Misbach kapitalis Islam. Evaluasi perpecahan dalam internal SI dilakukan pada tanggal 14 Maret 1923, tetapi gagal dan tidak membuahkan hasil, tidak hanya itu, banyaknya surat kabar yang  yang menentang sikap Cokro menjadi pengaruh bagi kepercayaan pengikutnya, Tjokroaminoto pun tidak mau kalah, menurutnya langkah yang diambil disebabkan karena SI sudah terlalu banyak mengakomodir kepentingan ISDV, yang nantinya berganti nama menjadi PKI.

Akhirnya SI pecah menjadi dua, (SI putih) dibawah pimpinan Tjokroaminoto dan (SI merah) dibawah pimpinan Semaun, SI yang di bawah oleh Tjokroaminoto dianggap lebih mengarah pada gerakan moral dan bersikap kooperatif terhadap pemerintah, sementara SI Semarang yang dibawah oleh Semaun bergeser ke sosialisme kiri.

Nor Hikqmah juga menjelaskan bagaimana ketakutan Tjokroaminoto terhadap orang-orang sosialis yang dia anggap mencoba merampas orang-orang SI, sehingga menjadi wajar Tjokroaminoto mengeluarkan kebijakan tentang adanya disiplin partai. Dan disamping itu Nor Hiqmah juga menuliskan bahwa perpecahan itu disebabkan karena politik kanalisasi (adu domba) yang dilakukan oleh Dirk Fock, Gubernur Jendral baru, salah satu usahanya adalah memperketat pengawasan Algemeene Rechercheichediennst (Dinas Intelejen Umum),  terhadap seluruh organisasi-organisasi pribumi.

 

Haji Misbach dan Ayat-ayat Propaganda

Setelah kemudian Haji Misbach menjadi pemimpin di Vostenlanden, mendirikan PKI dan memimpin rapat-rapat umum. Dengan pengawasan ketat yang dilakukan oleh Gubernur Jendral polisi lebih mudah menangkap gerakan politik Misbach, akhirnya pada tanggal 1924 ia ditangkap dan dibuang ke Monokwari, sejak priode itu iya disebut sebagai tokoh komunis terkemuka. Seperti yang sebelumnya telah kita singgung, bahwa ia selalu mengutip ayat-ayat Al-Quran untuk melakukan aksi propagandanya, seperti dalam Al-Qur’an surah Al-Ma’uun ayat 1-7 yang artinya :

“Tahukah kamu orang-orang yang mendustakan agama? Itulah orang yang menghardik anak yatim dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin, maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat,(yaitu) orang-orang yang lalai dalam shalatnya, orang-orang yang berbuat riya dan enggan (menolong dengan) barang berguna”. (Terjemahan Al-Qurannurkarim Surat Al-ma’uun Ayat 1-7 Oleh Yayasan Penyelenggara Penerjemah / Penafsir Al-Qur’an, 1971 ).

Selain itu Misbach juga orang-orang yang menggap Islam tidak hanya berbicara tentang spiritual semata tetapi, Islam juga berbicara tentang hak-hak kemanusiaan di muka bumi, Islam tidak hanya dipahami sebagai ajaran tentang keselamatan di akhirat, tetapi Islam juga mengajarkan bagaimana kita selamat di dunia, Misbach menyerukan kepada orang-orang untuk tidak takut dan ragu berperang melawan kapitalisme yang menghisap, menindas, dan menjadikan rakyat sengsara, seperti ayat yang dikutip Misbach:

Mengapa kamu tidak mau berperang di jalan Allah dan (membela) orang-orang yang lemah, maupun anak-anak yang semuanya berdoa:”Ya Tuhan kami, keluarkanlah kami dari negeri ini yang dhalim Penduduknya dan berilah kami perlindungan dari sisi Engkau, dan berilah kami penolong dari sisi Engkau”. (Terjemahan Qur’an Surat (4) An Nisa’ Ayat 75, Departemen Agama RI 1993;131).

Misbach sebenarnya ingin menyampaikan bahwa agama Islam tidak hanya sekedar tampil sebagai doktrin spritual tetapi juga punya gagasan pembebasan. Semua agama sama menurutnya, yang membedakannya hanyalah nama dalam setiap kepemimpinan dan masa setiap Rasul yang membawa ajaran Tuhan dimuka bumi. Sintesis yang ditemukan Misbach adalah bahwa Islam dan komunisme menekan pada ajaran untuk melenyapkan kapitalisme, sebagai sumber kemiskinan dan kesengsaraan rakyat Hindia Belanda. Hal inilah yang menjadi dasar religiusitas yang dibangun dari akar sosial masyarakat pada waktu itu.

“Orang-orang yang mengaku dirinya Islam tapi menolak komunisme, saya berani katakan ia bukanlah Islam sejati”. Misbach.

  • “Maaf boleh duduk di sini?” tiba-tiba seseorang menyapaku, saya hanya tersenyum dan mepersilakannya. “Zalsabila Cornelia Endy,” gadis itu menjulurkan tangan kemudian memperkenalkan dirinya “Yardan Michael Julian,” sahutku lalu meraih ulurannya kemudian menjabat tangannya dengan erat. “Lagi menunggu pesawat yah?” tanyanya sekadar basa-basi, tentu tanpa kujawab pun ia akan tahu dengan hanya melihat tiket pesawat yang…

  • Mural/mu·ral/ n lukisan pada dinding: semua dindingnya tertutup oleh – binatang. Itu pengertian mural yang dimuat KBBI, tapi justru berarti lain oleh pemerintah terkait kemunculannya di beberapa kota belakangan ini, yang berisi kritik terhadap kekuasaan melalui gambar-gambar impresif sekaligus kontroversial. ”Dipaksa Sehat di Negeri yang Sakit”, ”404 Not Found”, atau ”Tuhan Aku Lapar”, adalah kata-kata…

  • Beberapa minggu lalu saya berhasil menerbitkan buku, dan lega ketika itu terjadi setelah sekian lama memendamnya. Ini seperti suatu pencapaian yang tidak semua orang dapat lakukan, meskipun di era sekarang menciptakan sesuatu jauh lebih gampang karena kemajuan teknologi mutakhir dari masa sebelumnya. Kemajuan tekhnik percetakan membuat semua itu jauh lebih mudah. Keadaan sekarang tidak sesulit…

  • “Kemerdekaan sejati, bebas dari terungku dunia.Pucuknya ada di kewafatan paripurna.” (Sulhan Yusuf, Maksim Daeng Litere) Seraut wajah murung, berdiri tegap di atas tanah sendu yang meminjamkan punggungnya diinjak dan dibajak. Ia mengendus bau tanah dengan kesedihan yang terpendam, dan sisa-sisa anyir darah yang menyeruak. Di hadapannya terbayang tegak membisu, sebatang bambu yang merelakan diri berpisah…

  • ”Korona masih bisa kita kalahkan bersama”, begitu seseorang mengatakannya, melalui iklan masyarakat persis saat kalimat ini dibuat. Telinga saya menangkapnya begitu saja dari televisi, dan saya kira itu kalimat yang optimis untuk membuka tulisan ini. Ya, sebentar lagi kita memperingati hari kemerdekaan Indonesia ke-76, dan salah satu kontekstualisasi arti kemerdekaan mutkahir saat ini adalah kemerdekaan…


Kala Literasi

Jl. Pa’ Bentengang No.6, RT.01/RW.08, Mangasa Kec. Tamalate, Kota Makassar, Sulawesi Selatan 90221