Indonesia Itu Seperti Pelangi

“Walau kita berbeda-beda namun kita tetap bersatu dalam bingkai NKRI, yang punya sifat fanatisme minggir dulu jangan usik ketentraman ibu pertiwi” – Indra Andrianto

Indonesia merupakan negara multikultur dengan masyarakat yang plural (majemuk), terdiri dari beragam kebudayaan, agama, bahasa serta suku. Lahirlah semboyan yang disebut “Bhiennika Tunggal Ika”, istilah yang diambil dari kitab Sutasoma pada abad 14 kerajaan Majapahit yang memiliki arti “berbeda-beda namun tetap satu”. Sejak SD sampai SMA bahkan di Perguruan Tinggi, kita selalu ditanamkan nilai-nilai kebhinekaan oleh guru/dosen PPKn tentang makna semboyan tersebut. Semboyan yang digunakan untuk menggambarkan persatuan dan kesatuan semua komponen bangsa dalam hidup bernegara, baik yang dilatarbelakangi oleh perbedaan agama, suku, bahasa, serta budaya. Perlu kita garis bawahi, bahwa bangsa ini lahir dari berbagai perbedaan namun memiliki tujuan yang sama, sesuai pandangan hidup ideologi Pancasila (way of life).

Jika kita mengingat kembali sejarah di mana bangsa ini sempat dijajah Belanda selama 350 tahun, serta Jepang selama 3 Tahun. Tentu ini merupakan hal yang sangat menyedihkan, mengingat bangsa kita banyak menghabiskan waktunya dengan tertindas baik melalui fisik dan psikis oleh perlakuan bangsa penjajah, sehingga menimbulkan kesengsaraan dan penderitaan. Namun karena nilai kebhiennikaan-lah membuat semua komponen bangsa keluar dari penderitaan tersebut. Itu karena adanya rasa persatuan, sekalipun mereka dilatarbelakangi agama, suku dan ras yang berbeda. Sehingga yang terjadi pada tahun 1945 adalah Bangsa kita mencapai kemerdekaan Indonesia yang diproklamirkan oleh Presiden Ir. Soekarno dan Moh. Hatta.

Tentu kita harus sadar dengan semangat kebersamaan dan persatuan ini kalau kita meminjam kata dalam lirik lagu-lagu “Manisnya Negeriku”, yang dinyanyikan oleh pengamen jalanan bernama Pudjiono, “banyak suku-suku dan budaya, ada Jawa, ada Sumatera sampai Papua…ragam umat-umat agamanya ada Islam, ada Kristen, Hindu, Budha. Semuanya ada disini (indonesia)”. Bukan Indonesia namanya jika tanpa orang Sumatera, orang Jawa, orang Papua, dan pribumi lainnya di Indonesia. Bukan juga Indonesia namanya jika tanpa umat-umat Islam, umat Kristen, Umat Hindu, umat Konghucu, ataupun budha.

Kenyataan ini menggambarkan betapa bhiennika-nya manusia-manusia Indonesia sehingga menjadi suatu kewajaran apabila “Bhinneka Tunggal Ika” dijadikan semboyan dan filosofi hidup bangsa Indonesia. Sebuah pernyataan dari cendikiawan muslim ternama Indonesia Nurcholis Madjid bahwa, “Pluralisme sesungguhnya adalah sebuah aturan Tuhan “sunnatullah” yang tidak akan berubah sehingga tidak dilawan atau diingkari”. Dari beberapa pemaparan yang disampaikan tentu bangsa ini diibaratkan suatu keberagaman nasional, yang jika dipahami dan diaplikasikan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara saat ini, akan melahirkan harmoni indah layaknya sebuah pelangi yang dipandang indah saat warna-warninya muncul pasca hujan menerpa. Andai pelangi hanya ada satu warna, maka akan terlihat biasa saja dipandang mata. Kita berbeda namun tetap bersatu, bersatu meskipun tak sama. di situlah ada keindahan dalam kehidupan.

Akan tetapi, dewasa ini sebagian masyarakat kita kontra terhadap keberagaman dan justru lebih ke sifat fanatik dan egoistik. Beberapa media cetak dan bahkan tanyangan video saat aksi demo 4 November 2016, sebagian orang berpendapat bahwa “tidak boleh memilih kafir untuk dijadikan pemimpin”. Pemimpin kafir yang dimaksud adalah orang non muslim. Ini jelas merupakan sebuah ancaman disintegrasi suatu negara yang dilatarbelakangi kedok agama dengan tidak menghargai keberadaan agama lain, sehingga nilai-nilai kebhinnekaan diingkari. Tentu dalam amanat aturan konstitusi tidak dilarang bagi siapa saja menjadi pemimpin asalkan dia mampu memimpin dan sanggup bertanggungjawab. Semua berhak menjadi pemimpin baik dari umat Islam, Kristen, Hindu, Budha dan umat lainnya.

Tulisan ini bukan berarti memihak atau membela kaum non muslim, apalagi dilarikan pada persoala pribadi yang bersinggungan dengan pertarungan politik di DKI 1. Setiap gerak dan aksi itu selalu ada kepentingan, dan selalu ditunggangi kepentingan, apalagi pertarungan panas di DKI yang dibumbui politik dan kekuasaan, tentu kita harus mawas diri agar selalu siaga dengan gejala-gejala disintegritas. Tentunya bangsa Indonesia jangan sampai termakan isu-isu yang bersifat provokasi yang hanya menimbulkan adu domba di antara kita. Includenya adalah Indonesia akan hancur atau mengalami disintegrasi, tak ubahnya konflik di timur tengah. Karena tidak adanya lagi toleransi dan menghargai sesama manusia. Kita semua pasti berharap agar tidak ada lagi yang namanya perpecahan ataupun merendahkan perbedaan, dengan menjustifikasi buruk terhadap sesuatu hal karena tidak se-agama, tidak se-suku, tidak se-budaya dan lain-lain. Yang harus kita kuatkan adalah rasa persamaan dan persatuan.

Cuma ini yang bisa saya pahami tentang arti kebhinnekaan. Salah seorang guru sejarah pernah menyampaikan hal ini: ada dua cara untuk menghancurkan suatu negara (1) Putus rantai sejaranya (2) Biarkan bangsanya berpikir liberal. Poin pertama tentu merupakan masalah kita yang lupa dengan makna Bhinneka Tunggal Ika yang pernah dirintis oleh para founding father bangsa Indonesia, bahwa bangsa ini lahir dari adanya perbedaan. Poin kedua adalah lemahnya pengawasan atau kontrol oleh pemerintah sehingga doktrin-doktrin liberal dan ekstrimis mudah masuk dan dianut oleh bangsa kita yang justru menghancurkan negaranya sendiri. Mari kita sebagai bangsa yang berpikir harus merenung di tengah-tengah kondisi genting yang sedang mengancam ketahan nasional serta menemukan solusi. Ingatlah adegium ini “Indonesia layaknya sebuah pelangi setelah hujan yang memiliki pancaran warna yang indah dan mempesona saat semua warna saling bersatu dan beriringan.”

  • Belasan tahun saya berkecimpung, bergaul, dan berinteraksi dengan anak-anak orang lain dari beragam usia, latar belakang, dan kelas sosial. Dan puluhan tahun waktu yang saya lakukan dengan anak-anak sendiri. Bidang pelajaran dan porsi waktu yang saya berikan pada anak-anak didik ini tidaklah seberapa. Hanya sekitar satu hingga dua jam dalam sehari kami bertemu selama lima…

  • Saya ingin mengawali tulisan ini dengan sebuah kisah sebagai ilustrasi. Tentang sebuah keluarga terdidik yang menerapkan pola asuh penuh kedisiplinan dan keteraturan dalam banyak hal. Mulai soal waktu bangun di pagi hari, melakukan pekerjaan bersih-bersih rumah, belajar pada waktu tertentu di malam hari, hingga kembali tidur, semua ada aturannya. Sangat sedikit ruang untuk bisa berkompromi…

  • Saya membuat tulisan ini dalam rangka memenuhi permintaan beberapa teman ibu-ibu yang penasaran soal cara atau metode yang sebaiknya digunakan dalam mengajari anak-anak soal ibadah dan berbenah. Dua aktivitas yang setiap hari bahkan setiap waktu kita semua lakukan secara bersama dengan seluruh anggota keluarga, utamanya anak-anak. Sedemikian besar harapan dan keinginan para orangtua pada anak-anaknya,…

  • Suatu pagi, seorang anak perempuan kecil mendadak mogok sekolah. Dalam balutan seragam TK, sepasang kemeja dan rompi mungil, rambut ikal yang setengah basah sudah tersisir rapi, ia berdiri mematung, bergeming, berkali-kali menolak untuk berangkat ke sekolah. Kedua orangtuanya kebingungan setelah mencoba membujuknya dengan berbagai kata rayuan. Bahkan sempat terjadi adegan setengah memaksa, demi membuat si…

  • (Sebuah Renungan Reflektif) Suatu kali anak-anak ada yang bertanya, “Apakah Umi tidak pernah dihampiri perasaan bosan dalam hidupnya?” Saya terdiam sesaat sebelum mulai memberikan komentar atas pertanyaannya. Menurutku sangat wajar ia menanyakan itu, mungkin saja untuk membandingkan dengan apa yang ia rasakan. Dalam artian ia saja yang banyak berkegiatan di luar rumah rentan mengalami kejenuhan,…


Kala Literasi

Jl. Pa’ Bentengang No.6, RT.01/RW.08, Mangasa Kec. Tamalate, Kota Makassar, Sulawesi Selatan 90221