Wajah Dunia dan Puisi-Puisi Lainnya

Pelipur Lara

 

Hadirmu ke duniaku

Sebagai pelipur lara

Obati gelisah di dada

Penat di dalam jiwa

 

Menghasut Hari

 

Lelah meresap debar di dada

Bergumam basi terlempar mimpi

Torehkan hari menghentak sunyi

Lampiaskan derita terbentur hati

 

Berharap kepenatan ala mini

Merubah arah rintang sejati

Memori mimpi seakan teori

Sudahlah cukup menghasut hari

 

Lumbir, 14 November 2016

 

 

Biarlah

 

Biarlah angin malam ini

Membelai luka ku

Yang masih menganga

Tersayat oleh lidah yang tajam

 

Terasa menusuk urat nadi

Yang berkecamuk

Pilunya luka yang kikuk

Menghentak dan remuk

 

Habiskan semua kenangan

Hilanglah cepat dan jauhlah

Dari pikiranku

 

Lumbir, 15 November 2016

 

 

Debar di Dada

 

Debar di dada bergemuruh rindu

Hasrat di jiwa makin menderu

Rusau kan hari-hari yang terpadu

Terapi hati penuh syahdu

 

Lantunan nada bersemayam di kalbu

Rangkaian itu bertempo sendu

Segala kerisauan hati telah layu

Berganti kesenangan selalu

 

Memori kenangan itu telah terpatri

Membekas dan meresap di relung hati

Semua jiwa tiada yang terbebani

Karena kegelisahan telah pergi

 

Lumbir, 18 November 2016

 

 

Kepada Pagi

 

Kepada pagi

Kau sambut mentari

Tetesan embun menyelimuti

Hawa dinginnya meresap urat nadi

 

Kicauan burung hilangkan sepi

Ramailah hari-hari

Hiasi pagi yang berseri

 

Lumbir, 19 November 2016

 

Meraih Hari

 

Melodi terekam kaki berpijak

Rapuh tekuk remukan biduk

Telah terpuruk tabiat busuk

Hilangkan kepenatan sibuk

 

Alangkah kaku selimut bersiku

Meraih hari yang tak ragu

Hilang melayang tanpa pilu

Bebaskan kecamuk waktu terpilu

 

Lumbir, 20 November 2016

 

Jadi Satu

 

Raut mukamu tampak layu

Merona wajahmu mengutarakan rindu

Rindu nestapa yang terbelenggu

 

Lambaian tangan tanpa ragu

Menepis diri yang mengadu

Tawa ,tangis, dan rindu jadi satu

 

Lumbir, 23 November 2016

 

 

Tanpa Ragu

 

Pagi ini udara mengadu padaku

Sepinya hari-hari yang meragu

Rapuhnya hatiku terpilu

 

Bimbang kegelisahan ini

Terikat benang pengikat rindu

Habiskan luka tanpa ragu

 

Lumbir, 23 November 2016

 

 

Perihal Mimpi

 

Jemari cinta merajut asa

Luruskan semangat rapuh jiwa

Membirunya ragu di dada

Hanya luapan emosi sementara

 

Tabir mimpi seolah pergi

Dalam diam hati bicara

Resah dan gelisah terasa

Berkecamuk rona di jiwa

 

Perihal mimpi yang lelap

Terbang melayang dan lenyap

Aroma kerapuhan jejak hari

Masihkah tercantum dalam memori

 

Lumbir, 28 November 2016

 

Mendamba Rindu

 

Terendap lara

Masuk ke dalam sukma

Lembut buaian

Lekuk tubuhmu

Tak terasa

Meresap di relung hatiku

 

Nestapa yang terkekang

Hilir mudik menghentak

Roda-roda kehidupan

Menampar pilu

Dalam elegi kesunyian

Yang mendamba rindu

 

Lumbir, 29 November 2016

 

 

Wajah Dunia

 

Gemericik hujan berdendang

Kesunyian malam tak lagi meradang

 

Himbauan para pemilik jiwa

Keruhnya lika liku hidup

Terhapus sudah

 

Air penyejuk membasahi

Murka-murka wajah dunia

 

Lumbir, 29 November 2016

 

Sumber gambar: http://www.deviantart.com/

  • Sekian tahun hidup dan menerima transfer pengetahuan dari guru-guru yang berbeda, saya diberitahu mesti melakukan ini dan itu. Dari guru-guru bangku sekolah dan guru-guru tanpa suara alias buku-buku, mereka semua mengajar dan menuntunku dengan cara yang sama. Saya pun belajar, oh, seperti itulah caranya mengajar agar seseorang bisa berubah. Tahun demi tahun pun berlalu. Mencuatlah…

  • Lalu teman-teman kita menikah. Satu per satu. Mereka menikah karena merasa sudah berusia matang. Mungkin karena menganggap dirinya buah-buahan. Ada yang menikah karena desakan orang tua. Takut jadi anak durhaka, lalu masuk neraka. Tidak sedikit pula yang menikah untuk balas dendam pada si mantan yang menikah duluan. Khawatir dituduh tak bisa move on. Sisanya, karena…

  • I.  Surat kecil untuk kawan-kawan di Sekolah Alam Manusak Barangkali pandanganku kepada Manusakadalah taman penuh tawaanak-anak semesta Juga cintayang melampaui sekat-sekatidentitas Yang mengubahrahim-rahim tandus desa Manusakmenjadi lukisan wajah perempuanbermata oase. 2021 II. Nausus Di bukit ini, dalam bisikan angin yang gigil, ujilah aku. Habisi aku dengan sabetan amarahmu. Lalu tingalkan aku sendiri. Biarkan aku mengobati…

  • Di persamuhan desa saya beruntung bertemu dengan seorang pamong negara, namannya Zainuddin, orang kebanyakan memanggil Pak Cambang, sosoknya sederhana, peranggainya bersahaja dan tentunya berparas cambang. Setelah persamuhan usai, saya mendekati beliau, hendak mengenalnya lebih dekat lagi. Saat duduk di sampingnya , sekadar basa basi saya melempar senyum sumringah, beliau pun membalas senyum, “Siniki duduk” ucapnya.…

  • Secercah sinar mentari terpancar dari ufuk Timur, ceracau burung bersenandung melintas di wajah langit, mereka menunjukkan pesonanya pada segerombolan penduduk di kota metropolis ini. Di sudut kamar yang mungil, pandanganku tertuju pada sebuah buku istimewa yang terkapar di atas rak buku. Benda itu mulai lapuk selapuk perasaanku yang getir, meski kerap kali kenangan itu menyeruak…


Kala Literasi

Jl. Pa’ Bentengang No.6, RT.01/RW.08, Mangasa Kec. Tamalate, Kota Makassar, Sulawesi Selatan 90221