Dialog di Ruang Biru

Aku menemuimu tanpa jumpa, kita saling memandang namun tak bertatap. Lalu berbincang di seberang bintang. Ruang biru yang memisahkan sekaligus menyatukan kita itulah semua bermula.

“Begitu nyamankah kau, atau tak punya ruang lain sehingga kau tak ingin beranjak dari ruang ini?” tanyaku menuntaskan penasaran setelah menyadari bahwa kau terjaga sepanjang hari di ruang biru ini.

“Kebanyakan orang akan menganggapku tak punya kerjaan, tapi justru sebaliknya buatku.” Kau menjawab seperti dugaanku.

“Sepertinya kau menikmati ruang biru ini.”

“Tentu saja. Aku suka dengan riuhnya kebodohan orang-orang karena merasa terganggu dengan keributan yang kubuat. Hahaha.” Tawamu pecah.

“Kebodohan?”

“Ya, sejak aku tinggal di ruang biru ini banyak sekali yang merasa terusik olehku. Mereka menganggapku gila dan menduga-duga lewat kebodohan mereka sendiri. Kamu, apa tidak punya kerjaan sampai harus menyapaku di ruang biru ini?”

“Kau mengusir?” tanyaku cepat. Berharap kau menggeleng.

“Bukan! Hanya, sudah biasa orang sepertimu mampir kesini dan akhirnya marah-marah atau pergi begitu saja lantaran jengkel mungkin? Hal itu membuatku sedikit tidak nyaman. Meskipun sisanya memang nikmat melihat reaksi semacam itu. hihi.”

Kau menyengir lagi.

“Kita tak jauh beda. Meskipun aku tak seautis dirimu di ruang biru ini, aku juga mendapat reaksi yang sama sepertimu. Haha. Dan harus kuakui, aku juga menikmatinya.”

“Sulit sekali menemukan orang yang mau diajak berbincang.”

“Aku bisa.”

“Aku kok ndak yakin, ya? Pikiranku liar lho? Obrolanku asurd. Imajinasiku abstrak dan meluap-luap.”

“Sama.”

“Kau berusaha menyamaiku agar kita bisa berbincang lebih lama?”

“Tidak! Kita memang punya kesamaan, setidaknya dua kesamaan. Pertama nasib dihujat orang, kedua imajinasi. Fiksi.”

“Ah! Aku tahu, bahkan wajahmu sudah fiksi, lho!

“Gadis aneh! Baru pertama kalinya wajahku dibilang fiksi. Haha!”

“Selamat!”

Kemudian kita terlibat obrolan panjang, pelan-pelan saling menguliti diri. Kisah-kisah yang seolah kita perjual-belikan begitu saja mengaliri putaran jarum jam di ruang biru ini. Kau dengan gayamu menceritakan siapa dirimu sebelum dan sesudah bulan datang meninggi di gelapnya malam. Aku bercerita tentang siapa aku sesudah dan sebelum menari di atas kanvas berkisah tulisan.

“Jangan sedih, jika butuh pundak bisa kau sandarkan kepalamu di pundakku ini.” Celetukmu ketika menangkap kaca-kaca di sepasang mataku. Ah! Kau gadis yang aneh, sedemikian aneh hingga membuatku harus menyelami kenangan lama perjuanganku. Aku hanya tersenyum melihatmu menawariku pundak. Terasa sangat nyaman sekali, pikirku.

“Kau tak ingin pergi dari ruang ini? Hati-hati, kepalamu yang berisi mesiu itu bisa saja kubakar.”

“Memang siapa kau?”

“Aku gadis korek api!” katamu tegas. Kita berdua saling tertawa.

“Fiksi yang aneh. Tapi kau memang sedikit-sedikit sudah meletup-letupkan daya kerja otak di kepalaku, lho!

“Tapi, aku bukan gadis korek api yang menunggu diterkam serigala!”

“Kenapa?”

“Sebab akulah serigalanya itu!”

“Kau tahu siapa aku?” tantangku.

“Siapa?”

“Pangeran serigala. Hahaha.”

Tawa di ruang biru ini meluap, memenuhi setiap sudut ruang kita. Orang lain bisa jadi tak mendengarnya, dan aku tak peduli. Peran-peran yang kita bicarakan malam ini, ah! Dini hari ternyata. Peran yang kita bicarakan hingga dini hari ini nampaknya membuatku lebih penasaran denganmu.

“Hai, gadis korek api!”

“Apa?”

“Kau menyenangkan!”

“Benarkah? Kupikir aku membosankan. Berarti usahaku untuk menahanmu tak sia-sia.”

“Mengapa kau menahanku?”

“Menemaniku melolong sepanjang malam.”

“Hahaha. Kau seperti danau.”

“Aku memang danau, yang dalam dan berbahaya. Tak seorangpun mampu menyelami danauku.”

“Aku ingin mencobanya, jika kau ijinkan.”

“Dua orang yang pernah mencoba menyelami, bernasib tak baik.” Kau memperingatkan dengan matamu yang tajam. Bibir tipismu tersenyum, aku semakin penasaran.

“Aku tak peduli.”

“Dasar! Pangeran serigala yang keras kepala!”

“Yakin. Aku tak peduli sedalam dan se-mengerikan apa sehingga dua orang yang sudah lebih dulu mengenali danaumu memiliki kisah pilu seperti itu. Isyaratkan padaku, kapan harus melompat untuk membelah air tenang danaumu. Mati lemasku nanti, biar menjadi kisah yang tersimpan dalam danaumu. Lebih baik mati lemas di dalammu daripada pergi lantaran takut akanmu.”

“Tidak ada isyarat khusus. Aku hanya menawarkan sesuatu yang tak dapat ditolak kepada orang-orang yang menjawab lolonganku. Yaitu, menyelami danau sepuasnya.”

Kemudian kau mengajakku ke danaumu yang berbeda dengan danau lainnya. Kupikir, ruang biru ini tempat teraneh yang kulihat. Ternyata danaumu lebih aneh dari ruang manapun. Ada bias cahaya yang perlahan menyelimuti tubuhku. Samar-samar mata tajammu ada di mana-mana, tepi danau berbekas kaki-kaki kurcaci yang takut menyentuh air. Kau bilang, itu adalah jejak iblis, seseorang yang hanya mampir dengan ketakutan.

“Baiklah, aku harus menyelam.” Kataku begitu kita sampai di tepian.

“Bukankah terlalu cepat? Tidak ada penawaran keabadian di dalam danau yang akan kau selami.” Katamu.

“Baiklah, ijinkan aku menyelam perlahan. Kupasrah pada setiap lolongan kita yang bersahut. Cepat atau lambat, berpengaruh kah ?” Aku tak sabar.

“Hanya gunakan instingmu. Insting kepangerananmu, insting fiksimu dan insting superiormu.”

Aku menyelami danau itu pelan, kau menutup matamu. Tetiba aku tidak merasakan sebagai aku. Ruang biru hadir kembali di danau itu, juga dirimu, fiksimu, serigala-serigala terbang mengitari tubuhku. Aku kebingungan, setengah badanku basah oleh air danaumu. Aku merasakan rohku terangkat, kau yang tetiba mengenakan sayap di punggungmu menarik rohku.

“Berpuisilah seperti dulu.” katamu lembut.

Mulutku gemetar, tubuhku dingin, tapi sepasang sayap telah tumbuh di punggungku pula. Kemudian kita bersyair:

 Aku adalah serigala malam,

Yang kau bangunkan lewat lolonganmu.

Aku adalah kawan bulan,

Yang kau sapa di ujung pertemuan.

Kita adalah isyarat bahaya,

Yang mereka kira tak berguna.

 “Mas, bangun!” Tubuhku terkoyak terik mentari. Wajahmu ada di hadapanku, tersenyum. “Selamat pagi, mas kumis tipis berwajah fiksi!”

Alfin Rizal, 2017

http://pimpdaddyhetzer.deviantart.com/

  • Tahukah engkau apa itu rindu? Ia berjarak tak berjauhan, jua tak berdekatan Tahukah engkau apa itu rindu? Ia derita yang panjang, jua bahagia tak berkesudahan Tahukah engkau apa itu rindu? Ia airmata yang tak menetes, jua tawa tak bersuara Tahukah engkau apa itu rindu? Ia intensi tanpa pretensi, jua perintah tak menyuruh Tahukah engkau apa…

  • Riuh desiran ombak pada Desember yang rintik. Aku menatap jauh ke tengah laut. Di kejauhan, sesekali nampak muncul tenggelam cahaya lampu para nelayan. Malam ini, dalam pikirku, aku akan menabalkan hati yang lama tertahan. Perasaan yang lama terpendam. Aku berpikir inilah saatnya. Ini kesempatan yang terbaik kupunya. Mungkin agak sulit untuk menemukan momen seperti malam…

  • Asoka   Telah sampai kepadaku kabar tentang puisi yang paling kelabu di antara taman-taman bunga. Ia menjatuhkan pagi dengan rasa hangat, paduan pahit malam dan getar-getir cuaca yang semalaman tak rela meninggalkan kisah masa lalu tentang sakit yang tak menentu.   Alangkah sabarnya dada ini. Hidup di antara sejarah yang sesak dengan kisah Tercurinya diri…

  • Hari minggu, umumnya kota-kota di Sulawesi Utara sepi nyaris senyap. Demikianlah, suatu pagi sekira matahari sudah mulai menanjak ke perempat depah. Lambungku mulai minta dijamah penganan untuk melanjutkan kehidupan. Jalan-jalan kususuri di kota mungil tempatku bermukim secara tidak menetap. Setelah berkeliling beberapa saat dalam sepi, aku menemukan sebuah warung yang berukuran relatif mungil pula. Kendaraan…

  • Airmata yang Berdansa Tetes demi tetes hujan mengajak airmataku berdansa Angin sepoi malam ini mengatupkan kelopak-kelopak mataku Lihatlah romansanya Saat kelopak-kelopak mataku mengatup Dan airmataku berdansa di ujung bulu mata itu [2016]   Dendang Dendang-dendang Dendang di tepi jalan Dendang-dendang Dendang di perjalanan Dendang-dendang me.. Dendang-dendang me.. Dendang-dendang meninggalkanmu [2016]   Mungkin Tanganku mulai dingin…


Kala Literasi

Jl. Pa’ Bentengang No.6, RT.01/RW.08, Mangasa Kec. Tamalate, Kota Makassar, Sulawesi Selatan 90221