Generasi Alpha, Generasi Alpa

Menilik waktu beberapa tahun lalu, kurang lebih 10–15  tahun. Mata kita masih dihiasi, pemandangan asri, dari tingkah laku konyol anak-anak yang sedang menikmati gurauan, ataupun sedang asyik bermain dengan sesamanya. Permainan yang berasal dari alam, misalnya pistol bambu dengan peluru tanaman. Indah sekali zaman itu, anak-anak yang berteman dengan alam.

Ketika masjid-masjid, mulai memperdengarkan lantunan ayat-ayat suci-Nya, beberapa anak mulai menghentikan permainannya. Namun, ada pula yang akan lari terbirit-birit, ketika azan magrib berkumandang –anak-anak yang terlalu asyik bermain– aturan orang tua zaman dahulu, tabu bagi anak-anak berkeliaran di luar rumah ketika azan maghrib menyapa matahari yang sudah kembali di peraduannya.

Menyesap secangkir teh di beranda rumah, kala senja mulai menampakkan eksistensinya di ufuk barat, bersanding dengan hiasan duniawi yang menghanyutkan pandangan. Anak-anak perempuan yang sedang bermain engklek. Ada yang tertawa bahagia penuh kebanggaan, saat batu yang dilemparkan mendarat tepat di tujuan, namun ada pula yang merengut kesal karena kegagalannya. Mirip hidup orang dewasa yang sedang memperjuangkan kehidupan. Anak laki-laki di sebelahnya sedang asyik bermain kelereng, ekspresi mereka tak jauh berbeda dengan anak-anak perempuan, ada yang menang dan ada yang kalah.

Sang bulan telah menggantikan peran penguasa cahaya, semilir sang bayu mulai menembus rusuk, malam telah tiba. Ketika keluarga sedang bercengkrama, selepas santap malam. Beberapa anak bercerita permainannya di sore hari kepada ibu dan ayahnya. Ada yang mengeluh sedih tentang kekalahannya dan ada pula menggebu-gebu bercerita tentang kemenangannya. Orang tua mendengarkan dengan senang petumbuhan sang anak, itulah salah satu hubungan antara orang tua dan anak. Sebuah hubungan yang tak dapat dinilai dengan rupiah. Begitulah hubungan anak dan orang tua sebelum teknologi merajalela di generasi alpha.

Berdasarkan Wikipedia, setelah Perang Dunia II, generasi manusia dibagi enam istilah karena karakter yang dimiliki. Generasi era depresi, generasi baby boomer, generasi X, generasi milenial atau Y, generasi Z, dan generasi alpha. Generasi yang lahir tahun 2013 hingga sekarang disebut dengan istilah generasi alpha. Karakternya, menyukai gadget dan kecenderungan hidup lebih mahal.

Bejibuntanya kata apa mulai menari, dalam benak orang-orang yang memperhatikan perkembangan zaman anak-anak. Apa yang terjadi hari ini? Cerita apa yang dilontarkan, anak-anak generasi alpha kepada orang tuanya? Apakah cerita itu menarik didengarkan orang tua, atau paling tidak, apakah mereka paham? Apa yang dikeluhkan sang buah hati kepada orang tuanya? Apakah hubungan orang tua dan anak sekarang seindah zaman dulu? Mari kita memindai kehidupan generasi alpha, bergelut dengan gadget dan teknologi. Bisa digunakan oleh anak-anak yang masih belum bisa mengeja abjad, atau bahkan yang belum mampu berbicara fasih.

Anak-anak generasi alpha sangat asyik dengan gadget, banyak di antaranya yang bahkan tergolong maniak. Hal yang paling banyak diminati adalah games online. Istilah mabar banyak digaungkan, oleh anak-anak ketika ingin bermain dengan rekannya, “kuy mabar.” Sedikit seperti itu, teriakan anak-anak generasi alpha, baik itu secara langsung maupun melalui pesan singkat. Berbeda dengan generasi pendahulunya, ketika mengajak teman bermain akan mengunjungi rumahnya, “Tanteee, ada Budi? Budiii ayo main.” Anak-anak polos yang hanya tahu bermain.

Tidak ada yang bermasalah dengan permainan online, hanya saja pengguna yang tak paham mengindahkannya. Permainan online lebih modern, hal yang tak banyak bisa diceritakan, kepada orang tua generasi milenial atau bahkan pendahulunya, cukup banyak tak paham tentang teknologi atau games online. Sangat disayangkan, hubungan orang tua dan anak, mulai terkikis oleh jarak dan perbedaan perkembangan teknologi. Tak ada lagi cerita bermain sore, anak-anak kecil selepas santap malam. Anak-anak kembali disibukkan dengan gadget, media sosial, dan games online. Kemana perginya hubungaan orang tua dan anak? Itu telah digadaikan dengan keasyikan teknologi. Generasi alpha, alpa dalam intimnya keluarga.

Anak-anak generasi sekarang, kerap kali mengeluh ke orang tuanya bukan tentang kegagalan ataupun kemenangan yang dipahami orang tua, mereka mengeluh tentang kuota yang mulai menipis atau bahkan habis. Beberapa meminta dibelikan emot berbayar atau skin dalam permainan. Semua tentang uang. Seperti kejadian yang viral beberapa waktu lalu, seorang anak membeli voucher games online di Indomaret sebesar 800 ribu hingga orang tua sang anak memarahi kasir Indomaret. Mahal sekali permainan anak generasi alpha.

Mainan generasi sebelumnya, hanya meminta kepada ayah dibuatkan, pohon bambu di belakang rumah bahannya atau, botol-botol plastik bekas oli motor ayah, disulap menjadi mobil-mobilan. Lagi dan lagi orang tua tak memahami permainan anak generasi alpha.

Ada yang lebih menyedihkan dari semua hal sebelumnya. Etiket yang digadaikan. Kala itu, sang Surya bertahta di batas cakrawala, dengan semburat jingga keberaniannya. Sekumpulan anak-anak berusia berkisar antara 4–8 tahun, sedang asyik bercengkrama dengan gadget yang menampilkan permainan online. Mereka asyik dan larut dalam permainan, tiba-tiba seorang anak berteriak memaki ke temannya, “Jancuk!”. Wow. Semudah itu kata kasar makian, terlontar dari seorang anak, yang belum tahu membaca kata, apalagi paham dengan makna kata yang dilontarkan. Ketika bertanya kepada anak itu, tentang arti kata yang diteriakkan sebelumnya, dengan santai dan ringannya bagaikan angin lalu dia menjawab. Tidak tahu. Katanya, itu dilontarkan orang-orang dalam permainan, ketika kesal teman kalah. Miris sekali jawaban generasi alpha yang berteknologi.

Anak-anak zaman dahulu, berteriak “sial” saja kepada teman bermain, takutnya sudah sampai ke lapisan langit ke tujuh. Ketika kata itu diteriakkan, lantas orang tua mendengarnya, maka selamat. Sapu ijuk akan mencium betismu. Hingga kakimu lupa cara untuk berlari beberapa hari ke depannya.

Melihat karakter generasi alpha yang tidak memperhatikan hubungan dengan orang tua, tidak mengindahkan etika, dan lalai dalam menyikapi teknologi. Apakah presiden pertama Soekarno masih bisa berteriak lantang, meminta 10 pemuda untuk mengguncangkan dunia?

  • Kemarin pagi, kesadaran saya kembali disentakkan dengan kedatangan ibu dari salah seorang anak didik kami. Kesadaran tentang hak-hak belajar dengan rasa aman dan nyaman pada diri setiap anak. Saya merasa diri lalai dalam menjaga perasaan salah seorang dari mereka. Kejadian yang mungkin dianggap biasa dan banyak disepelekan oleh orang-orang. Sebuah lontaran kata “bodoh” atau “bodo’” (dialek Bugis-Makassar) yang seringkali sangat enteng diucapkan mulai…

  • Stasiun kereta api merupakan filsafat dalam bentuk besi dan batu

  • Stoikisme muncul pada abad ke-3 di Yunani dan Romawi kuno, ditemukan oleh filsuf Yunani bernama Zeno. Selanjutnya dikembangkan oleh sederet filsuf Romawi seperti Seneca, Epictetus sang budak, dan Marcus Aurelius seorang kaisar Romawi. Suatu kelangkaan bahwa seorang budak dan seorang kaisar bisa bertemu lalu bersama-sama mengimani satu tradisi pemikiran atau sebuah falsafah hidup, padahal Epictetus…

  • “Sebuah mimpi takkan pernah jadi nyata karena sihir, dibutuhkan keringat, tekad, dan kerja keras.” –Colin Powell. Lelaki itu berbaring di kursi sofa kuning yang mulai lusuh. Matanya terpejam. Kaos oblong dan celana pendek membalut sebagian besar tubuhnya. Ia terbangun setelah tiga kali saya memanggilnya dari pintu utama rumah. Jarak pintu ke kursi sofa di pojok…

  • Kemarin, 4 desember 2021, media sosial–belakangan media massa juga–diramaikan oleh kisah seorang gadis bernama Novia Widyasari Rahayu. Tagar #SaveNoviaWidyasari dan #JusticeForNovia meluber di laman media sosial kita. Novia adalah seorang mahasiswi tingkat akhir pada sebuah kampus ternama di Kota Malang. Ia adalah korban dari seorang polisi bernama Randy Hari Bagus Sasongko, yang dikabarkan putra dari…


Kala Literasi

Jl. Pa’ Bentengang No.6, RT.01/RW.08, Mangasa Kec. Tamalate, Kota Makassar, Sulawesi Selatan 90221