Punggahan, Nyadran, dan Suru Maca

Malam telah larut, para jamaah masjid telah mengambil posisi duduk berderet, bersandar pada dinding masjid. Tepat ba’da sholat Isya Daeng Situju telah menanggalkan pecinya sambil mengelus-elus kepala sembari melihat panitia lalu lalang di hadapannya. Mereka tengah sibuk menyetel sound system, menggeser mimbar, menggulung sajadah guna mempersiapkan acara “Malam Sambut Ramadan”.

Acara dimulai dengan tadarrusan beriringan remaja putri merapal tilawah dengan suara dan intonasi yang indah di belakangnya. Berikutnya memperdengarkan ceramah tausiyah yang merupakan acara inti. Biasanya panitia mengundang mubalig yang mampu mengundang tawa, menghangatkan suasana dengan punch line segarnya. Hal ini dibutuhkan agar jamaah tidak mengantuk karena penceramahnya asyik. Mengingat pula acara ini akan berlangsung hingga larut malam. Di penghujung kegiatan akan ada renungan diiringi doa bersama, saling bertukar maaf. Kegiatan ditutup dengan acara istirahat, ngobrol santai, sambil menyantap kue dan cemilan. Jamaah masjid mulai berbalik pulang, panitia sibuk membersihkan dan mengumpulkan piring dan gelas kotor, anak-anak berlarian mencari sisa kue dan cemilan untuk dibawa pulang. Uniknya, pun yang dewasa tak ketinggalan hehe…

Ulasan di atas adalah refleksi saya sewaktu masih beraktivitas sebagai remaja masjid di daerah Pattunuang, saat masih menikmati indahnya suasana kebersamaan dan keceriaan dalam menyambut bulan suci Ramadan. Pattunuang merupakan wilayah berkependudukan mayoritas masyarakat suku asli Makassar, terletak di tepi Manggala sebagai salah satu kecamatan di Kota Makassar. Bukan apa-apa, bagi jamaah setempat, tanpa agenda semacam ini maka bulan suci Ramadan di tahun itu akan terasa hambar, malamnya berjalan begitu dingin tanpa hangatnya kebersamaan, siangnya hanya mendatangkan dahaga tanpa rasa suka cita. Rupa-rupanya acara itu telah bertransformasi menjadi budaya, melekat pada tingkat euforia yang lebih sublim pada masyarakat setempat. Nilai spiritualnya jauh lebih utama dibanding format kegiatan.

Sejauh riset kecil-kecilan saya dalam dunia maya, ada banyak ragam budaya masyarakat Islam dalam menyambut bulan suci Ramadan terkhusus kita di Indonesia. Dari Sabang sampai Merauke suku bermayoritas muslim memiliki ragam ritual khusus menyambutnya. Kegiatan-kegiatan itu bahkan masih lestari dan dijaga turun temurun hingga sekarang. Esensi tradisi menyucikan diri, saling bertukar maaf, dan merajut silaturahmi. Misalnya, tradisi Punggahan di Sumatera Utara, salah satu daerahnya menyelenggarakan acara sederhana, berkumpul di masjid guna menyantap makanan yang masing-masing mereka bawa. Bahkan di Kabupaten Batu Bara tradisi tersebut dirayakan dengan memotong hewan ternak jenis kerbau atau lembu sejak 32 hari sebelum malam pertama Ramadan.

Sementara itu di masyarakat Jawa terutama Islam abangan, tradisi ini mengalami perkawinan, melahirkan budaya Islam kejawen, yang melahirkan kebiasan nyadran. Nyadran diadakan satu bulan sebelum dimulainya puasa, atau pada 15, 20, dan 23 bulan Syakban (bulan ruwahan). Tradisi ini diselenggarakan dengan membersihkan makam orang tua atau kerabat dekat lalu dibarengi dengan doa bersama. Kepercayaan masyarakat bahwa tradisi membersihkan makam adalah simbol dari pembersihan diri menjelang masuknya Ramadan. Tidak hanya kepada Tuhan, Nyadran juga dilakukan dalam rangka berbakti kepada para pendahulu dan leluhur. Selain itu ada pula tradisi Padusan atau kegiatan mandi atau berendam di sungai, pantai, ataupun sendang. Upaya simbolik untuk membersihkan atau menyucikan diri sebelum masuknya bulan suci Ramadan.

Di daerah saya sendiri, tahun 90-an akhir hingga 2000-an awal masih ada tradisi suru maca,doa bersama. Zaman itu kota Makassar baru saja dimekarkan sehingga terdapat wilayah yang baru berkembang dan diisi oleh pendatang dari tengah kota. Ritual ini dilakukan tepat sepekan sebelum memasuki bulan suci Ramadan. Kebetulan Ayah saya dulunya (beberapa tahun belakangan sudah pensiun) adalah tokoh yang sering diundang dalam perayaan ini. Tepatnya saat saya masih duduk di bangku sekolah dasar. Beliau memerahkan tanggal, khusus seharian memimpin tradisi ammaca.Berangkat pagi hingga larut malam guna memenuhi “orderan” tetangga atau kerabat. Tiba waktu pulang, saya cukup gembira mendengar langkah kakinya memasuki rumah setelah membuka pagar. Bukan apa-apa, saya sudah tau betul bahwa Ayah saya tidak bakal pulang dengan tangan kosong. Seminimal mungkin beliau membawa songkolo’ (makanan khas terbuat dari beras ketan) dan ayam pallu lekko (masakan ayam dengan bumbu lengkuas parut) kesukaan saya.

Tradisi ini berupa pembacaan doa untuk memperoleh berkah dari Tuhan. Diselenggarakan di hadapan hidangan makanan, ditata sedemikian rupa baik di lantai maupun di atas ranjang tidur. Makanannya juga terdiri dari berbagai masakan khas Bugis-Makassar di antaranya nasi ketan dua warna, opor ayam, ayam goreng, dan kedua jenis makanan yang saya sebutkan sebelumnya. Semua itu dilakukan merawat silaturahmi antar masyarakat dan upaya mensyukuri bahwa Bulan Suci Ramadan yang dirindukan sudah tiba.

Namun beberapa tahun belakangan perangai masyarakat telah berubah, sejak munculnya gerakan islamisme bersifat puritan, yang bersemangat mengembalikan kemurnian ajaran agama seperti ajaran Islam awal. Gerakan ini dikenal dalam istilah modern sebagai fundamentalisme Islam. Pengikut Islam puritan memiliki cara berpikir hitam putih antara apa yang mereka anggap Islam murni dengan tradisi masyarakat. Bahkan terkadang tuduhan kafir hingga musyrik dilayangkan kepada orang-orang yang senantiasa menjaga tradisi keagamaan seperti menyambut bulan suci Ramadan.

Melihat fenomena semacam ini membuat saya membatin, apakah kedudukan bulan suci Ramadan di hati umat telah berubah? Nilai yang dikandungnya hilang akibat sensitifitas kita hanya pada kebekuan dan kekakuan ritual. Tuhan maha sempurna, lalu bagaimanakah kita menujuNya? Apakah hanya terbatas pada ritual formal tertentu agar menjadikan kita dekat denganNya? Atau melalui keragaman ritual tapi mencerminkan kesubliman intuisi manusia? Bagi saya pertanyaan tersebut memiliki signifikansi terhadap paradigma, bahkan cara keberagamaan kita. Apakah mengedepankan aspek eksoteris di satu sisi dan esoteris agama di sisi lain.

Akhirnya pertautan cara pandang keagamaan kita di Indonesia turut membekas dalam batin saya. Menurut Muhammad Nur Prabowo Setyabudi menguatnya tensi konflik tradisionalisme versus puritanisme yang tampak di kota-kota besar disebabkan kecenderungan Islam politik yang menginginkan formalisme keagamaan di ruang publik. Beberapa tahun belakangan juga marak gerakan puritanisme-wahabisme yang diimpor dari Kerajaan Saudi. Sebagaimana diketahui, romantisme antara wahabi dan Kerajaan Saudi telah berlangsung lama dan semakin berkembang setelah petrodollar mengalir deras dari sumur-sumur minyaknya. Sumber daya begitu melimpah, bukan hanya minyaknya yang mengalir ke Indonesia, tetapi turut juga paham keagamaan mereka. Ironinya kontekstualisasi yang dipaksakan itu berlangsung hingga detik ini.

“Bulan suci Ramadan adalah bulan Tuhan, olehnya ritual-ritual di dalamnya mengarahkan kita untuk menjadi tuhan”, kata guru saya dalam pengajian. Bagi saya sendiri bulan suci Ramadan menjadi episentrum kita untuk menggunakan kacamata Tuhan dalam melihat keburukan dan kebaikan. Sebab dengan menuhan kita punya kemampuan itu. Melalui “kacamata” itu saya berpikir lalu curiga, apakah tradisi di daerahku akan menjadi target operasi selanjutnya oleh kelompok puritanisme? Mudah-mudahan saja tidak!

  • Dalam satu dasawarsa terakhir, Kabupaten Bantaeng telah tampil sebagai barometer gerakan literasi, khususnya di Provinsi Sulawesi Selatan. Ketika kata “literasi” belum sepopuler hari-hari ini, pegiat literasi di Bantaeng sudah bergerilya menyebar benih gerakan literasi yang kini sudah tumbuh subur. Langkah-langkah gerilyanya ketika itu berupa pelatihan kepenulisan, diskusi buku, dan lapak-lapak baca. Di kemudian hari, langkah…

  • Adelio membuka mata ketika menyadari ombak Perairan Cempedak mengombang-ambing tubuhnya. Ia melihat ke bawah dan mendapati kedalaman laut yang tak terhingga. Ia mendongak ke langit, semburat cahaya matahari baru saja hendak menyapanya dari ufuk timur. Ia baru saja menyadari bahwa dirinya telah mengapung semalaman di tengah laut setelah mendapati sebagian kulitnya yang mulai mengeriput. Ia…

  • Buku terbaru Sulhan Yusuf, Gemuruh Literasi: Sederet Narasi dari Butta Toa boleh dibilang sebagai pembuktian, jika usia bukanlah aral melintang bagi seseorang untuk produktif dalam berkarya. Tapi, insight yang diwedarkan Gemuruh Literasi sebenarnya lebih dari itu. Buku ini adalah jawaban bagi rasa penasaran sebagian orang yang hendak mengetahui gerakan literasi Sulhan di Bantaeng. Kerja-kerja kultural yang…

  • Judul tulisan ini saya pinjam dari ungkapan Profesor Cecep Darmawan—dosen saya ketika studi magister beberapa waktu lalu. Beliau guru besar yang egaliter dan seringkali tampil di publik (media dan forum) untuk berbagi gagasan dan pencerahan. Seingat saya ungkapan itu beliau sampaikan saat kami kuliah “Pendidikan Politik Generasi Muda”. Saya terkesan dengan ungkapan itu, selain indah…

  • Membicarakan suatu topik, dalam hal ini filsafat Islam, maka rasa-rasanya kurang afdal apabila tidak memasukkan nama al-Ghazali di dalamnya. Akan tetapi bila seseorang mau menempatkan al-Ghazali dalam sejarah filsafat Islam, tentu ia harus membuat beberapa catatan. Poin utamanya bahwa al-Ghazali tidak menganggap dirinya filosof dan tidak suka dianggap sebagai seorang filosof. Ini tak hanya menjelaskan…


Kala Literasi

Jl. Pa’ Bentengang No.6, RT.01/RW.08, Mangasa Kec. Tamalate, Kota Makassar, Sulawesi Selatan 90221