Awan Mendung Perundungan di Sekolah

Ketika bersepakat akan memiliki anak. Pasangan saya sudah jauh-jauh hari memikirkan pendidikan anak. Ia hendak menabung, bahkan ketika si calon murid ini belum ditiupkan roh oleh Tuhan. Pengalaman bertahun-tahun sebagai kepala sekolah di homeschooling, bertemu dan mendengar kisah anak-anak yang ‘terluka’ akibat sekolah, membuatnya skeptis terhadap pendidikan di sekolah formal. Ia tidak ingin kelak anak kami mengalami hal serupa. Pemerintah memang menyediakan sekolah gratis, tapi kadang justru dibayar dengan tekanan psikis. Baginya, tak apa membayar, asal mental tak ambyar. Hal yang membuat saya sedikit was-was.

Sebagai seorang guru di sekolah formal, saya tak bisa membela sekolah banyak-banyak. Jika pasangan saya hanya mendengar cerita pilu murid-muridnya, saya justru beberapa kali melihat dengan mata sendiri. Setengah yakin, saya menyatakan apologi, bahwa seburuk-buruknya sekolah, masih akan lebih buruk dunia tanpa sekolah.

Beberapa malam lalu, seorang senior saya bercerita, putrinya mengalami perundungan karena tidak memakai jilbab ke sekolah. Sialnya, perundungan bukan hanya dilakukan oleh temannya, melainkan turut dilanggengkan pula oleh gurunya. Setelah sekian lama, si anak yang mungkin tertekan, akhirnya menyerah dan memutuskan akan berjilbab di kelas V. Saya lalu menimpali, bisa jadi temannya begitu, karena adanya pembiaran, dan gagalnya guru dalam ing ngarsa sung tuladha. Bagaimana pun juga, guru masih dianggap oleh murid sebagai pemegang otoritas kebenaran di sekolah. Apa yang ia lakukan, akan diikuti oleh muridnya.

Pertanyaannya kemudian, apakah gurunya tidak menyadari, bahwa yang dilakukannya juga masuk dalam kategori perundungan?

Supaya makin terang, sekalian saja saya terangkan defenisi perundungan paling sederhana menurut KBBI, bahwa merundung itu mengganggu; mengusik terus menerus; menyusahkan. Menyakiti orang lain, baik secara fisik maupun psikis, dalam bentuk kekerasan verbal, sosial, atau fisik berulang kali dan dari waktu ke waktu, seperti memanggil nama seseorang dengan julukan yang tidak disukai, memukul, mendorong, menyebarkan rumor, mengancam, atau merongrong juga termasuk perundungan.

Informasi ini menjadi urgen, sebab dalam survei Kemendikbudristek ditemukan fakta bahwa semakin pendidik/kepala satuan pendidikan paham tentang konsep perundungan, makin berkurang pula insiden perundungan terjadi.

Sebangun dengan itu, survei karakter yang dilakukan oleh Kemendikbudristek yang melibatkan 260 ribu sekolah di level SD/Madrasah hingga SMA/SMK, dengan 6,5 juta murid dan 3,1 juta yang terlibat ditemukankah fakta bahwa ada 24,4 persen potensi perundungan atau bullying di lingkungan sekolah. Ini bukan kumpulan angka semata, melainkan ironi.

Bapak Ibu Guru, sudah waktunya melakukan refleksi, bahwa bukan cuman murid kita selama ini yang menyusahkan guru, tapi guru pun—entah sadar atau tidak—melakukan  hal serupa. Guru yang mengatai cu’reng (dekil), sakkulu (bau), dan dongok, pada murid-muridnya, sejatinya sedang merundung, meski ia berkilah hanya menasihati. Nasihat tidak membikin malu, juga tak dipamerkan di depan umum, sebab itu bisa menstimulus murid-murid saling melabeli satu sama lain dengan dalih bercanda.

Ini tentu kontradiktif dengan harapan Mas Menteri dalam pidato Peringatan Hari Pendidikan Nasioal beberapa waktu lalu. Merdeka Belajar, jelasnya, adalah cita-cita luhur Ki Hadjar Dewantara, yaitu pendidikan yang menuntut minat, bakat, dan potensi peserta didik agar mampu mencapai keselamatan dan kebahagiaan setinggi-tingginya sebagai seorang manusia dan anggota masyarakat. Selamanya itu akan jadi utopia, jika sekolah tidak segera berbenah, menyingkap awan mendung perundungan yang menggantung di kepala murid-murid.

Olehnya, penting bagi sekolah untuk menyusun program pencegahan dan penanggulangan perundungan. Sekolah harus memfasilitasi guru dan murid agar memiliki pemahaman konsep perundungan yang setara dan holistik. Sebab, temuan studi UNICEF di Kabupaten Sorong, 87% guru yang dimintai pendapat merasa bahwa sekolah menangani isu pelecehan dengan serius. Namun, hanya 9% pelajar yang merasa bahwa guru telah menangani laporan pelecehan dengan sepenuh hati.

Jurang perbedaan persepsi yang besar mengenai perundungan antara guru dan murid adalah hal yang mengkhawatirkan dan perlu ditindaklanjuti. Guru mungkin saja merasa hanya menasihati, tapi menyampaikannya tidak dalam porsi dan momen yang pas, apalagi memaksa, pasti mengusik perasaan murid. Temannya yang lain mungkin berdalil hanya bercanda, tapi candaan yang berulang, akhirnya menusuk tulang. Di sinilah peran sekolah menjembatani perbedaan persepsi itu.

Tetiba saya ingat sebuah pesan seorang bijak, “Hati-hati dengan kata-katamu,” ujarnya, “begitu diucapkan mereka hanya bisa dimaafkan, tapi tidak dilupakan.”

Kredit gambar: Pixabay.com

  • Akhir warsa lalu, 19 November 2022, sekolah kami kedatangan buku gratis dari Kemdikbud, sebagai salah satu bentuk dukungan GLN (Gerakan Literasi Nasional). Totalnya enam kardus berisi ratusan buku, jumlah yang banyak untuk sekolah kami. Saya membuka kardus, memeriksa buku. Isinya ada komik kesukaan anak-anak. Saya memanggil dua murid dan memperlihatkan pagina-pagina buku. Saya lalu menanyakan,…

  • “Kita adalah apa yang kita lakukan berulang–ulang. Keunggulan bukanlah sebuah tindakan, melainkan sebuah kebiasaan” (Aristoteles) Pada masa sekarang ini, kecerdasan seseorang biasanya dilihat dari seberapa tinggi nilai akademik yang ia raih selama masa pendidikannya. Bahkan salah satu tolok ukur bagi seorang pelajar untuk disebut “cerdas” adalah unggul dalam mata pelajaran matematika. Masih cukup banyak kasus…

  • “Kebanyakan manusia tertidur, mereka tersadar saat mereka mati” Rasulullah saw. Lazim adanya, jika sebagian manusia takut akan kematian. Umumnya kematian dianggap pemutus segala kelezatan duniawi  paling mengerikan, padahal hampir setiap hari kita mendengar atau melihat peristiwa kematian. Kematian merupakan proses kehidupan. Kita mengenal betul beragam kematian sepanjang sejarah manusia, mati sakit, bunuh diri, perang, kecelakaan,…

  • Dengan perahu, Guru Ann menemui Chon, ia memintanya ke sekolah, mengikuti ujian semester, supaya bisa lulus. Tapi Guru Ann kembali dengan kecewa, muridnya itu ingin tetap di rumah, membantu ayahnya memancing. Beberapa waktu lalu, di sekolah kapal itu, si Chon memang pernah mengutaran keinginannya. “Saya tidak suka matematika, tidak apa-apa kan saya tidak mempelajarinya?” Kata…

  • Setahun lagi kita memasuki pemilihan umum, setiap perangkat dari penyelenggara hingga pengawas tengah sibuk bersiap menghadapi kontestasi besar tersebut. Pesta demokrasi yang lama dinantikan dari jajaran elit hingga akar rumput ini, secara sadar atau tidak sedang berlangsung di sekitar kita, masih dengan gerakan yang senyap namun terstruktur. Salah satunya adalah melakukan soft campaign secara massif…


Kala Literasi

Jl. Pa’ Bentengang No.6, RT.01/RW.08, Mangasa Kec. Tamalate, Kota Makassar, Sulawesi Selatan 90221