Napas

“Saking rutinnya menghirup dan mengembuskan napas, sehingga diri lupa pada aktivitas vital itu. Lupa diri.” (Maksim Daeng Litere, 080620)

Melodi indah nan harmonis, mengantar tindisan-tindisan jari pada papan ketik laptop, kala saya mulai menulis esai ini. Petikan gitar menyayat, tapi lembut. Begitulah intro tembang, “One Last Breath”, kepunyaan Creed, satu band rock alternatif dari Amerika Serikat. Tembang ini amat mengesankan saya, seolah lagu rohani yang diberi sentuhan rock. Lagu ini mulai akrab di telinga saya, sejak lagu tersebut selalu menjadi penutup acara, Mata Najwa, di Metro TV. Beberapa tahun lalu.

Namun, saya tidak sedang ingin mengulas konten lagu tersebut, melainkan konteksnya yang memahamkan, bagaimana satu tarikan napas bisa menentukan, apa masih bisa melata di bumi atau segera pindah ke alam lain. Artinya, aktifivitas bernapas amat penting bagi hidup dan kehidupan. Waima, lebih banyak yang mengabaikan prosesnya. Baik untuk keperluan jasmani maupun rohani.

Perhatian intens saya pada perkara napas, sejak pagebluk Covid-19 dinyatakan sebagai pandemi. Saya lebih banyak tinggal di rumah. Menjadi penganggur kentara. Meskipun sebelumnya, saya sudah memperkuat jemaah penganggur tak kentara. Nyaris tak punya penghasilan tetap. Nah, saat itulah, nyaris setiap hari saya ikuti program yang ditawarkan Guruji Gede Prama, sosok guru spiritual, langsung dari akun facebooknya, sebentuk meditasi sederhana, agar tetap bahagia dalam terungku pandemi.

Program itu sudah berakhir, tapi rekamannya di Youtube masih ada. Apa yang berkesan dari ajakan Guruji? Saat meditasi yang tak begitu lama durasi waktunya, sesantai mungkin, kita diajak untuk memperhatikan sirkulasi bernapas dan jeda di antara dua napas. Yah, “jeda di antara dua napas” ketika menghirup dan membuang napas. Kalau tak salah ingat, program ini berlangsung hampir empat bulan.

Kiwari, saya lagi jatuh hati pada Gobind Vashdev, seorang heartworker dan Buteyko Instructor. Ia mempromosikan cara hidup sehat lewat pentingnya memahami aktivitas bernapas yang benar agar sehat. “Bernapas lewat hidung”, itu kata kunci yang sering ditabalkan. Pasalnya, banyak orang yang bernapas, dominan tidak melewati hidung, melainkan melalui mulut.

Lebih khusyuk Gobind menerangkan, ada perkakas hidup yang bisa mengontrol kehidupan. Namun, tidak dipelajari dengan baik. Orang kebanyakan tertarik mempelajari seabrek mata pelajaran, padahal belum tentu berguna bagi hidupnya. Ketika diajukan pertanyaan, berapa orang yang telah memelajari cara bernapas yang benar? Seringkali dijawab dengan rasa heran, apa perlunya belajar bernapas?

Tatkala ada orang sakit, ketika mengonsul kesehatannya, maka tenaga medis selalu menanyakan, bagaimana pola makan, tidur, istirahat, dan olah raga? Nyaris tak pernah ditanyakan bagaimana pola napasnya? Sungguh, makan, tidur, istirahat, dan olah raga bisa tidak dilakukan dalam rentang waktu tertentu dan tidak mati. Namun, dalam sekian menit tak bernapas: mati.

Berlapikkan olah napas ini, Gobind menawarkan satu teknik bernapas lewat Buteyko. Menurutnya, Buteyko bukan saja mengajarkan teknik bernapas, melainkan juga teknik pemprograman napas. Melatih otak yang mengendalikan napas untuk bernapas dengan baik dan benar. Selain itu, teknik ini membuat tubuh rileks, amat cocok dengan gaya hidup orang modern, yang sering susah tidur, bermasalah dengan berat badan, punya persoalan hormonal, alergi, asma, darah tinggi, dll.

Lebih dari itu, Buteyko memunyai lifetime apps yang membimbing latihan, sehingga jauh lebih efektif, ada reminder-nya, data peserta bisa diakses instruktur, agar dalam konsultasi bisa lebih akurat. Pungkas Gobind.

Apa saya sudah ikut pelatihan? Belum. Justru pasangan saya yang lebih telaten berlatih. Bahkan ia sudah ikut pelatihan. Padahal, saya yang pertama kali mengenalkan olah napas ini, dengan cara membagikan kepadanya video Gobind. Maklum saja, ia seringkali mengalami gangguan pernapasan. Biarlah saya belajar dari muridnya Gobind: pasangan saya.

Percakapan demi percakapan dengan pasangan saya, tentang olah napas, semesta pun mendukung. Entah kenapa saya terbimbing secara tak sengaja meraih satu buku, yang terselip di rak buku. Saya iseng bolak-balik paginanya. Mata saya tertumbuk pada topik “Penyucian Mental”. Buku ini sudah lumayan lama saya miliki, sejak awal tahun 2000-an. Bahkan, termasuk salah satu buku yang kena banjir beberapa waktu lalu. Titelnya, Dimensi Spiritual Psikologi, anggitan Inayat Khan, seorang sufi kelahiran India, hidup 1882-1926.

Inayat mengungkapkan, salah satu cara menyucikan pikiran adalah melalui pernapasan. Para ilmuan bergerak sejauh ini dengan mengatakan bahwa seseorang mengembuskan karbondioksida: gas yang buruk dilemparkan ke luar dari tubuh melalui pengembusan. Para ahli mistik lebih jauh lagi mengatakan bahwa bukan hanya dari tubuh kotoran dapat dikeluarkan, tetapi juga dari pikiran. Jika manusia mengetahui bagaimana dia dapat menghilangkan kotoran tersebut, ia akan mendapatkan keuntungan lebih dari yang dapat ia bayangkan. Kotoran dapat dihilangkan dengan pernapasan yang benar.

Lebih dalam Inayat menjelaskan, ketika sampai pada rahasia pernapasan, ada wilayah lain sekaligus. Selama ini, pernapasan dapat terasa di lubang hidung sebagai udara masuk dan udara keluar, hanyalah efek dari pernapasan, bukan pernapasan itu sendiri. Karena penafsiran ahli mistik adalah aliran yang mengangkut udara ke luar dan ke dalam. Udara tersebut dapat dirasakan, sedangkan alirannya tidak dapat dirasakan. Pernapasan, sejenis daya tarik eter, semacam aliran listrik yang lebih halus, arusnya mengalir ke dalam dan ke luar, menyebabkan udara bergerak. Ahli mistik menyebutnya sebagai nafs, yang berarti diri. Napas adalah diri; diri terdalam manusia.

Guruji Gede Prama, Gobind Vashdev, dan Inayat Khat, bila saya setubuhkan tutur-tuturnya, akan tiba pada simpai simpulan, perkara napas bukanlah perkara sepele. Napas sangat vital adanya, tapi manusia mengabaikan keberadaannya. Manusia amat sering tertipu pada alat-alat vital lainnya, meskipun kevitalannya tiada, manusia masih dapat hidup.

Benarlah maksim Daeng Litere, seperti yang saya kutip di mula esai ini. Sebentuk ungkapan sentakan, serupa interupsi, agar mengacuhkan keberadaan napas. Napas sebagai unsur mahapenting dalam kehidupan, bisa dipahami melalui kajian sains, psikologi, dan spiritual, sehingga berdimensi holistik.

Usai berjibaku dengan beberapa tindisan jejari di papan laptop, dalam satu tarikan napas, esai ini pun kelar. Tembang dari Creed saya putar ulang. Sebaris bait menubuh diri, but I’am down to one last breath. Bak acara Mata Najwa yang berakhir dengan iringan tembang rock tapi lembut. Bernapaslah hingga tarikan napas terakhir.

Sumber ilustrasi: amazingblogsszshadow.blogspot.com

  • (Suatu Tinjauan Sosiologi Kekerasan) Kawasan Timur Tengah kembali memanas pasca kelompok Hamas Palestina menggencarkan serangan mendadak ke Israel tidak jauh di perbatasan Gaza, Sabtu (7/10/23) dini hari waktu setempat. Akhir pekan yang berubah mencekam, karena serangan ribuan nuklir itu tepat ditujukan ke Tel Aviv dan Yerusalem, menembus sistem pertahanan Iron Dome menghancurkan banyak bangunan. Frank…

  • Aktivitas manusia di era sosial media adalah produksi dan distribusi konten. Konten quote-quote adalah konten yang paling banyak berseliweran. Quotation adalah sebuah kalimat atau syair pendek yang disampaikan dalam rangka memberi makna ataupun mengobati perasaan derita dalam hidup. Penderitaan divisualisasikan dan didistribusikan melalui quote pada jejaring sosial media dalam upaya agar setiap orang diharapkan dapat…

  • “Saya tidak memikirkan representasi kecantikan yang lebih baik daripada seseorang yang tidak takut menjadi dirinya sendiri.” Pernyataan Emma Stone ini memberi sugesti pada saya betapa cantiknya seorang perempuan yang dikisahkan oleh dosen-dosen filsafat, dan yang digambarkan dalam film Agora yang pernah saya tonton. Sekitar 8 Maret 415 Masehi, kota Alexandria (Mesir) telah menjadi saksi bisu…

  • “Cita-cita kamu apa?” Ini adalah sepenggal pertanyaan yang begitu membosankan bagiku. Aku masih, dan selalu ingat. Betapa orang-orang sering mengajukannya kala aku masih di Taman Kanak-Kanak. Mulai bapak dan ibu. Tante dan om. Nenek dan kakek. Juga sepupu yang usianya terlampau jauh di atasku. Di sekolah pun demikian. Para guru kerap melontarkan deretan kalimat ini.…

  • —mengenang 3 tahun kepergian Sapardi Djoko Damono SEJAK baheula manusia dikepung puisi. Sekira tahun 1.700 Sebelum Masehi di India, puisi sudah tengger di naskah kuno Veda dan Gathas. Puisi adalah ekspresi artistik mengenai pesona diri dan hidup. Ibarat bakul puisi mewadahi “benak” penyair, yang diperah dari peng-alam-an: imajinatif, emosional, dan intelektual—peng-alam-an ini dipahat penyair pada…


Kala Literasi

Jl. Pa’ Bentengang No.6, RT.01/RW.08, Mangasa Kec. Tamalate, Kota Makassar, Sulawesi Selatan 90221