Tak Ada Perpustakaan, Musala pun Jadi

Akhir warsa lalu, 19 November 2022, sekolah kami kedatangan buku gratis dari Kemdikbud, sebagai salah satu bentuk dukungan GLN (Gerakan Literasi Nasional). Totalnya enam kardus berisi ratusan buku, jumlah yang banyak untuk sekolah kami.

Saya membuka kardus, memeriksa buku. Isinya ada komik kesukaan anak-anak. Saya memanggil dua murid dan memperlihatkan pagina-pagina buku. Saya lalu menanyakan, apakah mereka ingin membaca atau tidak, yang kemudian disambut dengan anggukan setuju dan binaran mata. Saya silakan mereka duduk di salah satu kursi di ruang guru.

Tak lama berselang, karena penasaran, beberapa rombongan anak pun menyerbu ruang guru. Melihat temannya membaca, mereka lalu menawarkan diri juga, “Mauka juga membaca, Pak.” Hingga kantor penuh dengan puluhan anak-anak. Karena kursi yang terbatas, mereka tak keberatan duduk di lantai, ada pula yang selonjoran di dekat pintu, sisanya memilih berdiri.

Melihat antusiasme anak-anak terhadap buku, saya lalu ingat sebuah penelitian yang dilakukan oleh Reading dan Literasi Discover Center of Cincinnati’s Children’s Hospital, mereka menemukan fakta melalui pemindaian otak, bahwa membaca meningkatkan perkembangan anak. Ternyata di area otak yang mengatur bahasa dan literasi bersinar merah pada pemindaian saat anak-anak membaca buku. Bahkan screen time, tidak membantu anak-anak meningkatkan otak anak dengan cara yang sama seperti buku.

Saya kemudian memikirkan bagaimana memfasilitasi gairah baca anak-anak yang memuncak. Sedang bangunan perpustakaan tidak memadai. Kondisinya berdebu, atapnya rapuh, dan suasananya remang-remang nan mistis, mengingat bangunan itu delapan tahun lebih tua dari saya. Menaruh buku di situ akan membuat anak enggan masuk membaca.

Saya berdiskusi dengan guru lainnya, meminta masukan dan pendapat. Bagaimana jika sekiranya perpustakaan kita pindahkan ke musala sekolah saja. Mengingat musalanya lapang dan sangat memadai untuk dijadikan perpustakaan.

Musala yang dibangun berkat swadaya masyarakat dan pihak sekolah ini, sangat bisa difungsikan sebagai perpustakaan. Apatahlagi mengingat selama ini, musala hanya digunakan sekali dalam sepekan, yaitu di hari Jumat untuk salat duha, sebab tak ada air yang bisa dipakai berwudu. Dalam pikiran saya, selain digunakan untuk salat, alangkah baik dan bergunanya jika manfanfaatkan pula untuk aktivitas literasi. Saat itu, di kepala saya bahkan sudah ada ide akronim, yaitu Pak Mus (Perpustakaan Musala) SDN 48 Kaloling.

Kala ide itu muncul, kepala sekolah sedang sakit, saya pun menghubungi beliau via telepon, yang langsung disetujui. Saya tidak ingin kehilangan momentum merevitalisasi perpustakaan sekolah. Gairah saya sungguh membara, melihat murid di sekolah antusias membaca.

Ketika izin sudah diperoleh, dibantu oleh guru kelas VI, Pak Ihwanul Muslimin, kami bersama murid-murid sekolah mengeluarkan lemari dari perpustakaan lama, lalu membersihkannya dari debu dan tanah rayap. Kemudian mengangkatnya masuk ke musala. Anak-anak sungguh bersemangat, mereka berlomba membantu.

Besoknya, saya lalu men-stempel dan menginventarisir buku-buku tersebut, membuat buku kunjungan, serta buku peminjaman-pengembalian buku. Hal tersebut dilakukan agar anak-anak bisa meminjam buku sesegera mungkin. Waktu di sekolah terbatas, sehingga mereka hanya bisa membaca di pagi hari sebelum apel, sekira 15 menit, dan di waktu istirahat sekitar 15 menitan pula. Sejauh pengamatan, seringkali mereka masih ingin membaca, tapi karena bel sudah berbunyi, terpaksa buku harus mereka simpan dulu, lalu masuk ke kelas masing-masing.

Di awal, saya hanya membolehkan murid meminjam satu buku, itu pun baru boleh diambil kala istirahat kedua. Sebab, saat itu belum banyak buku yang tersedia, hanya satu kardus buku yang kami buka—isinya sekira 50-an buku. Hal ini dilakukan agar anak lain yang hendak membaca di waktu istirahat pertama, punya lebih banyak opsi buku-buku. Dalam pikiran saya, kalau bukunya langsung diambil, maka anak yang lain tidak akan kebagian kesempatan membaca.

Memang, banyak anak yang bertanya, “Apakah boleh pinjam dua atau tiga buku, Pak?” yang saya sahuti dengan menanyakan alasan mau meminjam sejumlah itu. Katanya, jika hanya meminjam satu buku, seringkali mereka masih mau membaca, tapi bukunya sudah selesai.

Mendengarnya, saya lalu berinisiatif untuk membuka satu kardus buku lagi. Ada ketakutan berdosa jika tidak memfasilitasi anak-anak membaca. Buku kiriman Kemdikbud adalah amanah yang harus disalurkan cepat dan tepat. Apalagi jika melihat rapor pendidikan sekolah kami yang memosisikan kemampuan aspek literasi-numerasi yang masih di bawah rerata. Selama anak-anak mau membaca buku. Maka selama itu pulalah saya akan perjuangkan (hak) mereka mati-matian.

Penelitian yang diterbitkan oleh National Literacy Trust menunjukkan bahwa kaum muda yang menggunakan perpustakaan hampir dua kali lebih mungkin menjadi pembaca di atas rata-rata daripada anak-anak yang tidak. Maka tepatlah jika sedari kecil, saat masih muda belia, anak-anak sudah semestinya diakrabkan dengan buku-buku.

Syahdan, dampak hadirnya perpustakaan bisa disaksikan langsung. Akhir-akhir ini, saya tiba pada simpaian catatan, bahwa kehadiran perpustakaan ternyata bukan hanya perkara minat baca. Saya juga melihat perpustakaan ini menjadi medium anak-anak berlatih memfasihkan bacaan mereka, khususnya mereka yang berada di fase A (Kelas I—II) dan fase B (Kelas III—IV). Hal ini terlihat dari data buku peminjaman, yang mencatat bahwa justru murid-murid yang belum fasih membaca, adalah yang paling rajin berkunjung dan meminjam buku.

Sedang murid yang berada di fase C (kelas V—VI), butuh stimulus dan upaya lebih untuk meningkatkan antusiasme mereka berkunjung ke Pak Mus. Kami sudah merancang beberapa program mingguan dan bulanan, agar kegiatan di perpustakaan menjadi lebih variatif. Supaya perpustakaan menjadi lebih dekat dan akrab dengan kehidupan murid di sekolah, kini dan nanti.

Literasi generasi untuk generasi literasi.

  • (Suatu Tinjauan Sosiologi Kekerasan) Kawasan Timur Tengah kembali memanas pasca kelompok Hamas Palestina menggencarkan serangan mendadak ke Israel tidak jauh di perbatasan Gaza, Sabtu (7/10/23) dini hari waktu setempat. Akhir pekan yang berubah mencekam, karena serangan ribuan nuklir itu tepat ditujukan ke Tel Aviv dan Yerusalem, menembus sistem pertahanan Iron Dome menghancurkan banyak bangunan. Frank…

  • Aktivitas manusia di era sosial media adalah produksi dan distribusi konten. Konten quote-quote adalah konten yang paling banyak berseliweran. Quotation adalah sebuah kalimat atau syair pendek yang disampaikan dalam rangka memberi makna ataupun mengobati perasaan derita dalam hidup. Penderitaan divisualisasikan dan didistribusikan melalui quote pada jejaring sosial media dalam upaya agar setiap orang diharapkan dapat…

  • “Saya tidak memikirkan representasi kecantikan yang lebih baik daripada seseorang yang tidak takut menjadi dirinya sendiri.” Pernyataan Emma Stone ini memberi sugesti pada saya betapa cantiknya seorang perempuan yang dikisahkan oleh dosen-dosen filsafat, dan yang digambarkan dalam film Agora yang pernah saya tonton. Sekitar 8 Maret 415 Masehi, kota Alexandria (Mesir) telah menjadi saksi bisu…

  • “Cita-cita kamu apa?” Ini adalah sepenggal pertanyaan yang begitu membosankan bagiku. Aku masih, dan selalu ingat. Betapa orang-orang sering mengajukannya kala aku masih di Taman Kanak-Kanak. Mulai bapak dan ibu. Tante dan om. Nenek dan kakek. Juga sepupu yang usianya terlampau jauh di atasku. Di sekolah pun demikian. Para guru kerap melontarkan deretan kalimat ini.…

  • —mengenang 3 tahun kepergian Sapardi Djoko Damono SEJAK baheula manusia dikepung puisi. Sekira tahun 1.700 Sebelum Masehi di India, puisi sudah tengger di naskah kuno Veda dan Gathas. Puisi adalah ekspresi artistik mengenai pesona diri dan hidup. Ibarat bakul puisi mewadahi “benak” penyair, yang diperah dari peng-alam-an: imajinatif, emosional, dan intelektual—peng-alam-an ini dipahat penyair pada…


Kala Literasi

Jl. Pa’ Bentengang No.6, RT.01/RW.08, Mangasa Kec. Tamalate, Kota Makassar, Sulawesi Selatan 90221