Kemarin, 15 Februari 2025 adalah tepat 4 tahun Jalaluddin Rakhmat berpulang. Ia meninggal akibat Covid-19 di Rumah Sakit Sentosa, Bandung. Menyusul istrinya yang berpulang di tempat yang sama empat hari sebelumnya. Kepergian Kang Jalal–sapaan akrab Jalaluddin Rakhmat—meninggalkan rongga besar, bukan hanya di dada para pengagumnya, tapi juga bagi dunia pemikiran di Indonesia.
Kang Jalal merupakan salah satu penarik gerbong pemikiran Islam di Indonesia. Ceramahnya khas, tulisannya bernas. Ia bukan tipikal pendakwah yang repetitif, selalu ada hal baru dalam tiap untaian kata-katanya. Penguasaannya terhadap 5 bahasa memudahkannya menggali ilmu pengetahuan dari sumber primer. Pemikirannya membentang dari filsafat Barat, hingga Timur, dari khasanah Islam klasik hingga modernis, dari psikologi hingga tasawuf. Itulah yang membuatnya banyak disalahpahami, dituduh sesat, dan karena itu darahnya pernah halal ditumpahkan. Tatkala beliau meninggal, haters-nya pun bermunculan, mereka mengucap alhamdulillah, seolah mereka kenyang habis makan.
Saya harus mengakui, corak keberagaman saya sedikit banyak dipengaruhi oleh hasil bacaan terhadap buku-buku Kang Jalal. Salah satu yang sangat membekas adalah Jangan Bakar Taman Surgamu. Jangan tanyakan isinya, saya bagikan saja pengantar yang didedahkan Kang Jalal di buku tipis 119 halaman itu.
Waktu itu, Bang Buyung baru saja pulang umrah. Ia mengajak Kang Jalal berbincang tentang agama. “Abang sering pergi ke luar negeri,” jelas Bang Buyung. Di Inggris, jika kita menginjak kaki orang, sebelum kita minta maaf, ia lebih dahulu berkata, “Sorry!” Di depan Ka’bah, ketika Abang sujud di maqam Ibrahim, segerombolan orang mendesak posisi Abang sehingga miring menjauhi Ka’bah. Sebagian malah ada yang menendang kepala Abang. Tidak seorang pun mengatakan, sorry.
Abang saksikan jemaah dari berbagai negeri, kebanyakan dari negeri-negeri Dunia Ketiga, maaf, seperti kurang beradab. Mereka tidak bisa antri dengan tertib. Mereka saling dorong dan sikut, saling desak untuk memperebutkan kesempatan mencium Hajar Aswad atau mengambil tempat di masjid yang suci… Perilaku peziarah di Tanah Suci seakan-akan merepresentasikan umat islam di negerinya. Negara-negara Islam menduduki ranking tertinggi dalam korupsi, tindakan kekerasan, penindasan pada perempuan, kerakusan para elit, dan kebodohan orang alit.
“Tolong jawab, mengapa agama besar seperti Islam tidak berhasil mendidik umatnya untuk berakhlak mulia?” Tanya Bang Buyung. Kang Jalal tidak bisa menjawab, bukan karena pertanyaannya diajukan oleh ahli hukum yang mempersembahkan hidupnya untuk keadilan, tetapi karena memang ia tidak memiliki jawaban sama sekali.
Waktu ke waktu, majelis ke majelis, pengajian ke pengajian, Kang Jalal menyampaikan pertanyaan yang sama. Pertanyaan itu malah dijawab dengan pertanyaan lagi. Bahkan ada yang mengutip Al-Qur’an, lalu bertanya, “Mengapa orang yang khusyuk dalam salatnya juga khusyuk mengambil hak orang lain? Mengapa salatnya tidak mencegah pelakunya dari kekejian dan kemungkaran? Mengapa ada pengajar agama yang tidak segan-segan mengambil duit jamaah dan menggunakan uang zakat dan infak untuk memperkayar dirinya?”
Kang Jalal berupaya mencari jawaban, “Mengapa?” Akhirnya, dari renungan yang panjang, dari pembacaannya kembali terhadap teks-teks suci, dari khazanah para sufi. “Saya menemukan jawabannya,” akunya.
Menurut Kang Jalal, mereka seenaknya melakukan dosa, karena mereka meyakini bahwa amal-amal salehnya—terutama ibadah-ibadah ritualnya, akan menghapus dosa-dosa itu. Ada banyak hadis penghapus dosa yang sering diulang-ulang para pendakwah.
Melakukan puasa, haji, zikir, salat, dan doa akan menghapuskan dosa masa lalu dan dosa yang akan datang. Jadi, berbuat dosalah, lalu putihkanlah dengan beribadah sebanyak-banyaknya. Jadi, berbuat maksiatlah, nanti cucilah maksiat itu dengan istighfar yang banyak-banyak.
“Inilah paradigma yang populer,” tegasnya. Akhirnya agama menjadi pembenaran dan penghibur bagi pelaku-pelaku kezaliman. Maka, agama pun menjadi pameran kesalehan untuk menutupi akhlak yang buruk. Dalam paradigma ini, fokus keberagamaan adalah melakukan ibadah dan amal saleh. Inilah agama yang meninabobokkan pengikutnya dalam akhlak yang buruk. Inilah agama yang tidak berhasil mendidik pengikutnya untuk berakhlak baik.
Kang Jalal melalui bukunya hendak mengantar kita pada paradigma baru. Bahwa dosa-dosa akan menghapuskan pahala amal saleh kita, bukan sebaliknya. Menyakiti orang lain akan menghilangkan pahala puasa, haji, zikir, dan bacaan Al-Qur’an, bukan sebaliknya. Makan yang haram akan menghilangkan dampak positif salat, bukan sebaliknya. Dalam paradigma ini, kata Kang Jalal, fokus keberagamaan adalah menghindari dosa. Inilah agama yang mendidik pengikutnya untuk berakhlak baik.
Dua Rukun Takwa
Menghindari dosa dan melakukan ibadah adalah komponen takwa. Kang Jalal menyebut ada dua rukun takwa: pertama, menjauhi apa yang dibenci dan dimurkai Tuhan alias meninggalkan keburukan. Kedua, melakukan apa yang dicintai dan diridai Tuhan, yaitu melakukan kebaikan.
Bagi Kang Jalal, selama ini untuk bertakwa kita hanya fokus berbuat baik: salat, berzakat, berpuasa, berhaji/umrah, salat malam, berzikir, dan sejenisnya. Semuanya adalah rukun kedua takwa.
Mana yang harus didahulukan? Mana yang lebih baik? “Rukun pertama! Menjauhi keburukan,” tegas Kang Jalal sembari mengutip perkataan Imam Ali, “Ijtinab as-sayyi’at aula min iktisab al-hasanat. Menjauhi keburukan harus didahulukan dari melakukan kebaikan.”
Kang Jalal juga mengutip hadis, “Bersungguh-sungguhlah dan rajin-rajinlah dalam beramal. Jika tidak sanggup beramal baik, janganlah berbuat maksiat. Karena orang yang membangun dan tidak merusaknya, walaupun perlahan-lahan bangunannya akan tinggi juga, tetapi orang-orang yang membangun sambil merusak bangunannya, ia tidak akan menjadi tinggi.”
Nabi saw., juga bersabda, “Ibadah sambil makan yang haram seperti mendirikan bangunan di atas pasir atau air.” Hadis lain dari Imam Ja’far ash-Shadiq, “Akhlak yang buruk merusak amal seperti cuka merusak madu.”
Pada suatu hari, Nabi Musa melewati orang yang sedang menangis, merintih memohon ampunan. Ketika Musa kembali ke tempat yang sama, ia masih menemukan orang itu sedang menangis. “Tuhanku, hamba-Mu menangis karena takut kepada-Mu,” kata Musa. Tuhan menjawab langsung: “Wahai Musa, seandainya otaknya mengalir bersama linangan air matanya sekalipun, Aku tidak akan mengampuninya, karena ia sangat cinta dunia.”
Bukankah kecintaan kepada dunia bertakhta di hatimu? Apakah engkau putus asa dari kasih sayang Tuhan? Maukah kamu mengaku, berterus terang bahwa selama hidup ini kami digerakkan oleh kecintaan kepada dunia. Jadi, kalau kamu menangis bertobat, dengan air mata bercampur darah sekali pun, Tuhan tidak akan memaafkan kamu.
Jika hatimu menjerit karena hadis tadi, bacalah hadis qudsi yang lain.
Tuhan berkata kepada Musa, “Hai Musa, tahukah kamu bahwa ada seorang hamba-ku yang dosa-dosa dan kesalahannya mengisi seluruh sudut langit. Tapi aku ampuni dia. Aku tidak peduli dengan dosa-dosanya.”
“Ya Rabb, kaifa la tubali? Tuhanku, kenapa Engkai tidak peduli?”
“Karena satu perkara mulia yang ada pada diri orang itu, yang Aku cintai. Sebab kecintaannya kepada mukmin yang miskin. Ia bergaul dengan mereka, menyamakan dirinya dengan mereka, tidak menyombongkan dirinya di atas mereka, dan ketika ia berbuat begitu, Aku ampuni dosa-dosanya. Aku tidak peduli.”
Setelah dengan susah payah kamu jatuh pada dosa, kata Kang Jalal, berbuat baiklah, tidak dengan amal-amal yang hanya menguntungkan dirimu, tapi dengan amal yang menyebarkan kasih sayang kepada sesamamu.
Allah yarham ya Kang Jalal.