Minum kopi punya kejutan tersendiri. Beberapa hari lalu, saat bernostalgia dengan kawan alumni ketua Perhimpunan Mahasiswa Ortopedagogik Indonesia dari Universitas Negeri Jakarta langsung berdiskusi singkat tentang perjuangan disabilitas demi kesetaraan yang cukup lama diperjuangkan.
Kami mendiskusikan persoalan arah perjuangan yang diusung selama ini.
Beberapa hal yang kami sepakati bahwa masih tingginya tindakan heroisme dari kalangan mahasiswa PLB dalam menyikapi isu disabilitas di Indonesia. Perjuangan untuk menghilangkan diskriminasi dan kesenjangan yang ada pada masyarakat Indonesia yang sering berdiri sendiri tanpa solidaritas dari organisasi lain khususnya organisasi penyandang disabilitas.
Terpisah dari kesadaran politik tentang penyandang disabilitas, mahasiswa PLB –sama halnya saat saya berstatus mahasiswa- tetap melakukan kampanye tanpa pernah mengajak atau melibatkan langsung penyandang disabilitas. Penilaian subjektif kami bahwa perjuangan ini seperti bertepuk sebelah
Terlepas dari hal bahwa kesadaran politik penyandang disabilitas secara umum sangat rendah karena tidak adanya tesis yang bisa jelaskan secara ilmiah bahwa kaitan antara hak pendidikan yang segera diraih dan pasca pendidikan yang tidak pernah dikampanyekan cukuplah berdampak pada masa depan penyandang disabilitas secara umum.
Selama ini gerakan yang dibangun hanyalah mengunakan bingkai untuk menarik simpati, tapi tidak untuk memaksimalkan pemenuhan hak secara ekonomi politik.
Mahasiswa umumnya masih sibuk kampanye persoalan diskriminasi dari segi pendidikan atau label yang menyebabkan mereka termarjinalkan tanpa ada riset ilmiah tentang kesadaran masyarakat luas bahwa keberadaan penyandang disabilitas merupakan tanggung jawab bersama untuk dipecahakan. Karena jika hal ini dilihat dari aspek ekonomi politik maka segera akan terang pula kita melihat akar persoalannya.
Menegasikan kehidupan penyandang disabilitas pasca sekolah atau setelah mendapatkan pendidikan di instansi yang selayaknya tidak juga mampu menjawab persoalan pokok kehidupan
Misalnya ranah kajian mahasiswa pendidikan luar biasa sangat khusus seputar pendidikan saja. Dalam sekian kasus yang ada, sering melupakan kemandirian hidup seorang penyandang disabilitas. Jika mengacu persoalan tersebut pandangan pendidikan tersebut cukup kaku karena penilaian kita menganggap dengan mendapatkan pendidikan atau berkat jenjang pendidikan yang ditempuh maka masa depan seorang penyandang disabilitas akan terjawab dengan sendirinya.
Dalam diskusi singkat tersebut kami menyepakati kalau umumnya intelektual atau akademisi dalam kampus menganggap isu disabilitas adalah isu yang cuma tersentral di perkotaan semata dan melupakan keberadaan penyandang disabilitas di desa-desa atau pelosok yang pastinya masih kental dengan budaya mistis.
Sebagai seorang alumni PLB ada beberapa kritik terhadap kurikulum saat di bangku kuliah. Pertama, bahwa mendudukkan pendidikan bagi penyandang disabilitas adalah kunci untuk mendapatkan kesetaraan adalah benar namun kurang tepat, karena jika kita menggunakan pendekatan ekonomi politik dalam melihat secara holistik tentang permasalahan disabilitas justeru akan memunculkan sintesis bahwa faktor ekonomi yang sangat mempengaruhi seorang penyandang disabilitas untuk mengakses pendidikan. Tidak berhenti sampai di situ pasca mengenyam pendidikan juga seorang penyandang disabilitas pastinya akan kembali ke ranah ekonomi produksi untuk kelangsungan hidupnya. Di sini yang menjadi kritik bahwa isu pendidikan bukanlah jalan keluar utama untuk mengejar kesetaraan melainkan soal ekonomi yang menjadi faktor determinan bagi penyandang disabilitas untuk tetap bisa bertahan hidup.
Kedua, kritik dalam aspek sosial di dunia kampus kurangnya riset atau kegiatan yang diupayakan untuk meleburkan sekat antara pendidik dan pelajar untuk mendiskusikan persoalan disabilitas dalam semua aspek secara komprehensif. Khususnya melakukan penelitian bersama untuk menemukan masalah serta memcahkannya bersama lalu diseminarkan ke pemerintah setempat sebagai upaya kampanye tentang persoalan yang mendasar bagi disabilitas dan meminta pertanggungjawaban negara untuk memenuhi hak dan melindungi kelompok rentan seperti disabilitas agar terjamin kehidupan masa sekarang dan masa akan datangnya.
Selain kritik kami juga melakukan otokritik terhadap gagasan yang cukup dan saat ini saja baru kami pikirkan yaitu untuk menjawab persoalan disabilitas perlunya kemitraan yang baik kepada organisasi non pemerintah skala nasional maupun internasional sebagai upaya memassifkan kampanye di segala tingkatan.
Demikian juga memasukkan isu disabilitas kepada organisasi yang konsisten memperjuangkan hak rakyat indonesia lewat beraliansi.
Karena isu disabilitas adalah isu yang cukup penting atas tidak adanya jaminan hidup yang layak bagi semua rakyat indonesia khsusnya penyandang disabilitas.
Ide dalam tulisan ini adalah refleksi lewat praktek advokasi perjuangan untuk mendapatkan aksesibilitas di suatu kota yang cukup panjang dan sangat heroik di mana aksi yang dilakukan sering berdiri sendiri tanpa adanya dukungan atau solidaritas dari organisasi rakyat yang juga sedang berusaha menuntut hak-haknya. Jika ditinjau secara seksama dukungan organisasi rakyat tertindas lainnya cukup berpengaruh untuk memperluas kampanye dan bersolidaritas dalam memenuhi tuntutan penyandang disabilitas selama ini.
sumber gambar: temuinklusi.sigab.or.id