Masalah baik dan buruk senantiasa hangat diperbincangkan oleh para pencari kebenaran. Baik dan buruk merupakan hal yang bertentangan secara diametral dan sangat terasa kehadirannya bahkan begitu mempengaruhi kehidupan. Baik dan buruk adalah hal yang nyata hadir dalam kehidupan. Keduanya adalah fakta senyatanya yang tak terbantahkan. Sejauh baik dan buruk sebagai ejawantah yang hadir dalam kehidupan, tidak ada masalah dengannya. Namun, jika sudah menyentuh persoalan asal-usul baik dan buruk dalam perenungan mendalam, persoalan menjadi rumit dan krusial. Bagi orang yang meyakini Tuhan sebagai sumber segala sesuatu dan satu-satunya sumber, menyematkan kebaikan berasal dari Tuhan adalah hal yang semestinya. Namun, menyematkan Tuhan sebagai sumber keburukan bukan hanya merupakan hal yang tidak etis, namun juga tidak logis. Mungkinkah Tuhan sebagai sumber kebaikan sekaligus merupakan sumber keburukan?
Jika menggunakan logika linear, Tuhan adalah satu-satunya sumber dan sumber segala sesuatu, maka merupakan keharusan kebaikan dan keburukan berasal dari Tuhan. Logika ini mendemonstrasikan, pada tataran sumber dan ejawantah, bahwa kebaikan dan keburukan berasal dari Tuhan. Tuhan sebagai sumber kebaikan dan sekaligus sebagai sumber keburukan. Hal ini ini mengisyaratkan bahwa dalam diri Tuhan menyatu kebaikan dan keburukan sekaligus. Cara pandang semacam ini memang menggunakan logika yang lurus-lurus, namun sekaligus menginjak-injak prinsip logika, yaitu tidak mungkin berkumpul dalam satu sumber sesuatu yang bertentangan secara diametral dan baik dan buruk adalah pertentangan itu. Dalam logika ini, terkandung isyarat bahwa dalam diri Tuhan yang satu terjadi peperangan antara baik dan buruk, dan peperangan ini terefleksi dalam kehidupan sehari-hari. Cara pandang semacam ini melahirkan mazhab monoteisme semu, yaitu bertuhankan pada Tuhan yang tunggal namun penuh pertentangan dan kesamaran di dalamnya akibat tidak terurainya masalah baik dan buruk secara jelas dan gamblang dalam diri Tuhan.
Cara pandang lainnya adalah, karena baik dan buruk secara logis dan etis tidak dapat dipandang berasal dari sumber yang sama, oleh karena itu harus hadir kejamakan sumber. Kebaikan harus memiliki sumber tersendiri yang sama sekali berbeda dengan sumber keburukan. Oleh karena itu, secara logis harus ada Tuhan Kebaikan dan Tuhan Keburukan. Kedua jenis Tuhan ini berbeda dan terpisah satu dengan yang lain. Dalam tradisi bertuhan umat manusia dikenal dengan adanya Dewa Kebaikan dan Dewa Keburukan dengan berbagai nama khas yang disematkan pada dewa-dewa tersebut. Namun, cara pandang semacam ini memiliki dilema tersendiri, yaitu hadirnya dua Super Power atau lebih dalam mengatur dan berebut pengaruh dalam kehidupan—Tuhan Kebaikan dan Tuhan Keburukan. Dalam sudut pandang ini, manusia dan kehidupan hanyalah korban dari keinginan dua jenis Tuhan tersebut untuk mengejawantahkan diri, yaitu pembumian sifat-sifat Tuhan tersebut—kebaikan dan keburukan. Sudut pandang semacam ini merupakan akar dari kehadiran mazhab politeisme, yaitu bertuhankan pada Tuhan yang banyak, akibat dari konsistensi logis bahwa segala sesuatu harus ada sumbernya sesuai dengan citra tiap sesuatu itu. Harus ada Tuhan Kebaikan, Tuhan Keburukan, Tuhan Kasih Sayang, Tuhan Kebencian, Tuhan Pemelihara, Tuhan Penghancur dan lain sebagainya, dan setiap Tuhan tersebut berbeda satu dengan yang lainnya. Politeisme, bertuhan pada banyak Tuhan sebagai sumber dari berbagai citra yang ada.
Dalam kehidupan sehari-hari sering terdengar ungkapan: “Kalau ada kebaikan dan kebenaran maka itu datangnya dari Allah, namun jika ada keburukan dan kesalahan maka itu datangnya dari saya.” Ungkapan tersebut mengisyaratkan ada dua sumber, yaitu Allah sebagai sumber kebaikan dan kebenaran dan manusia sebagai sumber kesalahan dan keburukan. Penyematan kebenaran dan kebaikan berasal dari Allah tidak bermasalah dan memang semestinya, namun penyematan manusia sebagai sumber kesalahan dan keburukan menyisakan masalah serius. Jika dikatakan bahwa satu-satunya sumber segala sesuatu adalah Allah, lalu dari mana manusia mendapatkan kesumberannya atas kesalahan dan keburukan jika tidak disematkan pada Allah sebagai sumber? Mungkinkah manusia menjadi sumber keburukan dan kesalahan sementara dia sendiri berasal dari Allah? Oleh karena itu, jika ingin konsisten, kesalahan dan keburukan itu juga berasal dari Allah dan manusia hanya menjadi terminal saja. Terminal mewujudnya kesalahan dan keburukan yang sesungguhnya juga berasal dari Allah. Karena, tidak mungkin manusia menjadi sumber kesalahan dan keburukan sebab ia sendiri berasal dari Allah, berarti totalitas yang ada pada manusia juga berasal dari Allah, termasuk kesalahan dan keburukan. Masalah ini mengantarkan pada problem yang sama seperti yang telah diurai sebelumnya, yaitu dalam diri Tuhan bercampur kebaikan dan keburukan sekaligus. Paradoks. Lalu harus bagaimana?
Salah satu cara untuk menyibak krusialitas hubungan kebaikan dan keburukan dengan Tuhan adalah dengan mengurainya dalam sudut pandang Wahdatul Wujud. Doktrin Wahdatul Wujud mengatakan bahwa yang ada hanya wujud tunggal, selainnya tiada. Oleh karena itu hanya ada satu wujud yaitu Wujud Tunggal dan Wujud Tunggal inilah menjadi sumber dari segala keberadaan. Pada Wujud Tunggal berkumpul segenap kesempurnaan murni dan tidak ada pertentangan di dalamnya, sebab jika ada pertentangan, hal ini menunjukkan ketaksempurnaan Wujud Tunggal tersebut. Oleh karena itu yang memancar dari Wujud Tunggal hanyalah kesempurnaan semata, termasuk kebaikan dan kebenaran dan sama sekali tidak memungkinkan memancar dari Wujud Tunggal tersebut kekurangan dan keburukan, sebab kekurangan dan keburukan bukanlah kesempurnaan dan bukan bagian dari kesempurnaan secara hakiki yang ada pada Wujud Tunggal yang senantiasa sempurna secara azali.
Lantas dari mana asal ketaksempurnaan, termasuk keburukan dan kekurangan? Untuk hadir dalam kehidupan Wujud Tunggal memanifestasi, Allah mentajalli. Manifestasi dan tajaliat adalah pancaran cahaya kesempurnaan Wujud Tunggal, yaitu Allah SWT untuk mewujud dalam kehidupan. Segenap kesempurnaan yang ada pada Wujud Tunggal memancar memanifestasi atau mentajali dalam kehidupan dengan segenap tingkat kesempurnaannya sesuai dengan karakter dunia eksternal yang mewujud darinya. Pada tingkat inilah, tingkat manifestasi atau tajaliat ditemukan keberagaman wujud, termasuk wujud-wujud yang secara eksternal tampak bertentangan di samping yang harmonis berdampingan. Pada tingkat manifestasi inilah ditemukan keberadaan “kebaikan” dan “keburukan” yang tampak bertentangan itu.
Pancaran kesempurnaan, termasuk kebaikan di dalamnya, yang berasal dari Allah mentajali dalam kehidupan dengan berbagai tingkat kesempurnaannya. Sebenarnya yang memanifestasi adalah kesempurnaan tersebut dengan segenap tingkatannya, dalam sudut pandang ini, yang tampak adalah kesempurnaan yang menyempurna. Namun, dalam sudut pandang lain, dengan memandang manifestasi yang sama, sisi belum sempurna dari proses manifestasi kesempurnaan akan tampak sebagai ketaksempurnaan. Cara sudut pandang inilah yang menampakkan ketaksempurnaan dengan segenap detailnya.
Kebaikan yang memancar dari Allah memanifestasi dalam kehidupan dengan berbagai tingkat kesempurnaannya, akan tampak sebagai pancaran kebaikan. Namun jika dipandang dari sudut lain, sudut kebelumsempurnaannya dalam memanifestasi, maka yang tampak adalah keburukan. Jadi, keburukan hanyalah tampilan luar dari sisi belum sempurna kebaikan dalam memanifestasi, oleh karena itu yang memiliki wujud hakiki hanya kebaikan dan keburukan tak memiliki wujud hakiki tersebut. Keburukan hanya bayangan yang mewujud akibat dari sisi belum sempurnanya kebaikan dalam memanifestasi. Kebaikan adalah cahaya dan keburukan merupakan bayangan yang hadir akibat belum sempurnanya mewujud cahaya kebaikan tersebut secara total.
Dengan cara pandang di atas, keburukan tidak memiliki asal-usul atau sumber wujud hakiki, dia hadir karena efek dari kehadiran yang lain, yaitu kebaikan yang belum sempurna dalam mewujudkan diri dari total kesempurnaan potensi yang ia miliki. Oleh karena itu, yang memiliki sumber wujud hakiki hanya kebenaran dan keburukan tidak memiliki sumber wujud hakiki tersebut. Sehingga, hanya kebaikan yang bersumber dari Allah dan keburukan sama sekali tidak mungkin dinisbahkan bersumber dari Allah. Keburukan tak memiliki sumber hakiki karena ia hadir sekedar efek dari belum sempurnanya mewujud kebenaran secara total.
Kebaikan dengan keburukan ibarat cahaya dengan bayangan, cahaya memiliki wujud hakiki sementara bayangan hanya wujud yang hadir sementara karena belum sempurnanya cahaya dalam mewujudkan diri. Cahaya adalah kehadiran yang sesungguhnya dan bayangan hanya kehadiran semu. Begitu pun, kebaikan adalah kehadiran yang sesungguhnya, sementara itu keburukan hanya kehadiran bayangan, yang jika kebaikan mewujudkan diri secara sempurna maka bayangan keburukan akan sirna dengan sendirinya.
Sebagai salah satu contoh sederhana dalam kehidupan dalam hal ejawantah kebaikan dan keburukan, misalnya pelaksanaan salat. Salat adalah pancaran kebaikan dan salat memiliki tingkat-tingkat dan ragam dalam perwujudannya. Pelaksanaan salat secara keseluruhan merupakan cahaya kebaikan, namun kehadiran ujub, riya dan sejenisnya menutupi cahaya dan menghadirkan bayangan, menghadirkan keburukan dalam salat tersebut. Seiring dengan hilangnya ‘keakuan’ dalam salat tempat menempelnya ujub, riya dan lain sebagainya, seiring itu pula lenyap keburukan dalam salat, sehingga yang terejawantah hanyalah pancaran kebenaran salat tersebut. Begitu pun yang terjadi dengan pelaksanaan segenap kebaikan lainnya. Pada saat kebaikan menyata, maka keburukan akan sirna dengan sendirinya, karena keburukan hanyalah sisi belum sempurnanya perwujudan kebaikan.
Sumber gambar: http://www.hidayatullah.com/engine/files/image/2013/06/gal180046922.jpg